Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim bersama Unicef Indonesia terus mendukung pengembangan sistem perlindungan anak yang integratif serta holistik seiring masih tingginya angka kekerasan terhadap anak.

Ketua LPA Jatim Anwar Sholikhin di Surabaya, Kamis, mengatakan permodelan sistem perlindungan anak bagi para organisasi perangkat daerah (OPD) dan pemangku kepentingan perlindungan anak bisa dijadikan rujukan pada semua kabupaten/kota di Jatim.  

"Setidaknya dalam langkah awal ini, 14 kabupaten/kota di Jatim akan menjalani, nantinya harapannya bisa diikuti oleh daerah lain karena perlindungan anak ini bersifat holistik, jadi harus bisa dikembangkan oleh berbagai pihak," kata Anwar. 

Selain kekerasan anak, perkawinan anak di Jatim memang tinggi. Dia menyebut angka perkawinan anak di Jawa Timur yaitu 10,7 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata Nasional 10,35 persen, sementara pencatatan kelahiran untuk anak balita stagnan di 83 persen. 

Menurut dia, dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI maka upaya pencegahan kekerasan berbasis gender semakin kuat. 

Namun demikian, upaya-upaya tersebut harus dilakukan dengan strategi yang tepat, sistematis dan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai instansi atau lembaga dan pemangku kepentingan untuk mencegah dan menyediakan layanan bagi anak-anak yang rentan dan yang telah menjadi korban kekerasan. 

Berdasar fakta dan data masih tingginya kekerasan yang terjadi pada anak, maka upaya-upaya pencegahan, penyediaan layanan, respons cepat, tepat dan menyeluruh sangat dibutuhkan. Disisi lain anak-anak Jawa Timur memiliki hak-hak anak yang wajib dijamin, dihormati, dilindungi, dipenuhi dan punya hak untuk hidup di lingkungan yang memberikan rasa aman dan ramah anak.

Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Wilayah Jawa Naning Pudjijulianingsih mengatakan sistem perlindungan anak di Jatim sudah dikembangkan pada beberapa daerah, termasuk peningkatan kapasitas layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak, layanan di tingkat masyarakat/berbasis masyarakat, edukasi pengasuhan positif dan penguatan kapasitas anak sebagai pelopor dan pelapor. 

"Harapannya daerah-daerah lainnya bisa melakukan replikasi  pengembangan sistem perlindungan anak," kata dia.

Menurut dia, kekerasan pada anak sampai saat ini masih menjadi isu nasional yang butuh upaya luar biasa dan banyak kolaborasi semua pihak untuk bisa mencegahnya. Berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk membangun sistem perlindungan anak yang sudah dilakukan di berbagai daerah.

"Hal baik dalam sistem perlindungan anak bisa diadopsi serta dikembangkan ke berbagai daerah. Termasuk Jatim yang kini terus fokus dalam mewujudkan provinsi dan kabupaten/kota layak anak dan Gerakan 5 Stop dengan memperkuat sistem perlindungan anak," kata dia.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pelanggaran hak anak pada tahun 2021 menunjukkan angka masih cukup tinggi. Data pengaduan masyarakat, pada tahun 2019 terdapat 4.369 kasus, pada 2020 naik menjadi 6.519 kasus dan 2021 masih mencapai angka 5.953 kasus. 

Sementara itu data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada akhir tahun 2021, di Jawa Timur terdapat 1.283 korban kekerasan yang dilaporkan. Jumlah itu terdiri dari 873 anak perempuan dan 410 anak laki-laki serta 41 anak (semua laki-laki) yang berkonflik dengan hukum ditahan dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. 

 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022