Asuransi merupakan usaha yang dilakukan oleh banyak pihak untuk menghadapi ketidakpastian pada masa mendatang serta kemungkinan terjadinya risiko yang memunculkan kerugian, baik berupa kehilangan jiwa maupun kerugian barang.

Asuransi juga merupakan salah satu bentuk lembaga jasa keuangan, seperti yang tertuang dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Usaha kegiatan asuransi didasarkan atas adanya dua pihak atau lebih dan kemudian timbul suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung, berupa pembayaran premi secara tetap dengan jangka waktu yang diperjanjikan, serta adanya hak yang diterima oleh tertanggung dengan menerima penggantian atas kerugian yang diderita dengan adanya suatu peristiwa yang diperjanjikan, sehingga tertanggung mengalami kerugian.

Pada pelaksanaan asuransi, dasarnya pembayaran atas klaim yang diajukan oleh nasabah harus sesegera mungkin dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Dalam pasal 40 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah menyatakan bahwa perusahaan asuransi wajib membayar klaim sebagai bentuk manfaat dari polis asuransi, dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak adanya kesepakatan antara nasabah dengan perusahaan asuransi mengenai kepastian jumlah klaim yang harus dibayarkan.
 
Berdasarkan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016, telah diatur bahwa perusahaan asuransi berkewajiban membayar klaim asuransi yang diajukan oleh nasabah apabila nasabah sudah memenuhi semua syarat yang telah tertera dalam polis. 

Kasus asuransi yang baru saja terjadi di Indonesia adalah kasus gagal bayar oleh PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Kasus dimaksud mulai menjadi perhatian publik pada awal Oktober 2018, ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor perasuransian tersebut mengirimkan surat kepada bank mitra untuk menunda pembayaran polis jatuh tempo produk JS Saving Plan. 

Hasil audit investasi terhadap Jiwasraya di bulan yang sama menunjukkan gangguan likuiditas yang menyebabkan penundaan pembayaran klaim sebesar Rp802.000.000.000 pada November 2018, yang kemudian naik menjadi Rp12.400.000.000.000 pada akhir Tahun 2019.

Akibat dari kasus gagal bayar, total kerugian mencapai Rp16.810.000.000.000. Jumlah tersebut mengacu pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan berdampak pada ketersediaan dana untuk membayar klaim yang diajukan oleh nasabah. 

Terkait dengan hal tersebut, menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan asuransi yang ditimbulkan oleh pihak pengendali.

Pengendali yang dimaksud adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kompetensi menentukan direksi, dewan komisaris dalam badan hukum yang berbentuk koperasi atau usaha bersama. PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) berada di bawah BUMN, sehingga dalam kasus ini pihak pengendali adalah pemerintah.

Pemerintah yang merupakan perwakilan negara bertindak sebagai pengendali, karena PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah BUMN, dimana pemegang saham terbesarnya adalah pemerintah, sehingga dengan demikian pemerintah tidak dapat lepas tangan dari masalah PT. Asuransi Jiwasraya (Persero).
 
Kasus gagal bayar PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) sampai saat ini belum menemukan solusi yang dapat memuaskan para nasabah yang dirugikan, karena pengembalian dana belum menemukan jalan keluar. 

Berkaitan dengan kasus tersebut maka selayaknya dibutuhkan perlindungan hukum represif karena sudah terjadi pelanggaran. Bentuk perlindungan hukum yang bisa dilakukan terhadap nasabah yang dirugikan, yaitu: 

Pertama, perlindungan hukum dari aspek pidana, yaitu dengan menjalankan proses secara pidana pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya kerugian dalam tubuh Jiwasraya. Berdasarkan hasil putusan pengadilan menyatakan para pihak terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Proses pidana diperlukan untuk menghalangi pihak tertentu lepas dari tanggung jawab, melarikan diri atau melarikan aset.

Kedua, perlindungan hukum dari aspek perdata. Perlindungan terhadap nasabah asuransi menurut Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diterapkan dalam perjanjian asuransi, yaitu jika penanggung yang memiliki kewajiban memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang terhadap tertanggung ternyata melakukan ingkar janji, maka tertanggung bisa menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Pasal tersebut memaparkan bahwa jika perusahaan asuransi lalai atau tidak mampu membayarkan premi yang dijanjikan saat berakhirnya suatu perjanjian atau perikatan yang disepakati, seluruh kerugian yang diderita oleh nasabah karena adanya keterlambatan pembayaran, maka perusahaan asuransi wajib membayar seluruh kerugian yang diderita nasabah. 

Nasabah asuransi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata dengan menyatakan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) terhadap penggugat atas pembayaran polis yang sudah jatuh tempo dan juga menuntut PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) untuk membayar ganti kerugian baik materiil maupun immateriil.

Kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) penting untuk ditentukan apakah para direksi dan para manajer investasi dalam kasus tersebut telah mengelola dan menempatkan dana investasi sesuai dengan prinsip kehati-hatian. 

Direksi memiliki tanggung jawab hukum atas kelalaian, gagal bayar atau kecurangan, khususnya sejauh ada bukti hubungan langsung antara kerugian yang dialami dengan kelalaian dan kecurangan yang dilakukan. 

Dalam menyelesaikan persoalan ini pemerintah haruslah memegang prinsip dan asas bertindak yang cermat. Hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam menangani kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah mendorong proses hukum pidana yang terjadi dalam pengelolaan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero), mengganti pengurus atau direksi BUMN dan mendukung program-program direksi baru, termasuk melakukan penyelamatan. 
Pemerintah dapat melakukan penyelamatan terhadap dana nasabah melalui beberapa opsi, yaitu: (1) restrukturisasi dan (2) privatisasi. Dalam kasus ini pengembalian dana nasabah harus menjadi prioritas pemerintah.
 
Rencana penyelesaian kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero), direksi baru bersama pemerintah mengambil langkah restrukturisasi polis demi meminimalisir risiko dan kerugian yang akan diterima oleh nasabah, sehingga manfaat polis masih terus berlanjut. 

Pelaksanaan restrukturisasi polis ini dilaksanakan sesuai dengan landasan hukum yang berlaku, yakni UU perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Namun fakta yang terjadi di lapangan sampai saat ini restrukturisasi belum selesai dan dana nasabah belum menemui kejelasan. Pemerintah perlu mengawal kepastian akan keamanan dana nasabah dan prioritas dana bisa kembali. 

Belajar dari kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero), reformasi Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB), khususnya industri perasuransian perlu dilakukan. Reformasi itu, antara lain mencakup; (a) pengaturan, (b) pengawasan dan (c) manajemen risiko, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada LKNB khususnya perusahaan asuransi. 

Selain itu, DPR RI perlu mempertimbangkan untuk merevisi UU Otoritas Jasa Keuangan yang materi substansinya mengatur industri non-bank, khususnya usaha asuransi. Perlindungan konsumen asuransi sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan juga perlu diperjelas agar keamanan dana nasabah terjamin.

Kasus salah kelola PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi di Indonesia. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, khususnya OJK, dalam mengatur dan menata industri perasuransian ke depan dan mengambil solusi yang terbaik dalam penyelesaiannya.

Penyelamatan dana nasabah dan investor, merupakan upaya yang mendesak untuk dilakukan pemerintah. Perlu terus dilakukan pengawasan intensif guna menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya industri perasuransian.

Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, harus segera direalisasikan oleh pemerintah dengan membentuk Lembaga Penyelenggara Program Penjaminan Polis. 

Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung atau peserta dari perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. 

Selain itu, keberadaan program penjaminan polis ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian pada umumnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan jasa asuransi.
Lembaga Penyelenggara Program Penjaminan Polis sesuai Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian seharusnya sudah dibentuk paling lama tiga tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, yaitu selambat-lambatnya pada Tahun 2017. 

Kenyataannya sampai dengan saat ini amanat Undang-Undang dimaksud belum dilaksanakan, sehingga komitmen pemerintah memberikan perlindungan hukum pada pemegang polis asuransi patut dipertanyakan.


*) Penulis adalah praktisi rumah sakit, sehari-hari menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Citra Medika Sidoarjo, aktif di berbagai organisasi profesi dan sosial, antara lain PERSI Jatim, Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, anggota Persit Kartika Chandra Kirana dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister hukum, konsentrasi hukum kesehatan di Universitas Hang Tuah Surabaya.

Pewarta: dr. Wahidah Rachmaniyah, M.Kes*)

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022