Penjelajahan ini bermula dari ide Ikatan Alumni SMA Negeri 1 Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, lulusan 1994, yang kompak dan rajin mengeksplorasi tempat-tempat wisata di kabupaten penghasil tapai dan kopi itu.
Alumni yang dikomandani Firman Fitriyadi ini merencanakan naik ke kawasan Kecamatan Ijen (dulu Kecamatan Sempol) pada Minggu (12/7) dan secara kebetulan pada Sabtu (11/7), Pemkab Bondowoso sudah membuka kembali objek wisata setelah sempat ditutup akibat pandemi COVID-19.
Kami janjian berkumpul di warung sate milik Siswantoro (alumni SMAN Tenggarang) di Sukosari. Dari Sukosari kami berangkat sekitar pukul 08:00 setelah terlebih dahulu menyeruput teh panas dan sarapan roti. Rombongan juga mampir sebentar ke rumah Sri Rahayu di Sukorejo untuk mengambil perbekalan makan siang.
Video HO-Alumni Smasga Bondowoso
Idealnya petualangan ini menggunakan motor jenis trail, tapi kami menggunakan motor seadanya. Perjalanan berkelok-kelok sudah mulai tampak ketika memasuki wilayah Kecamatan Sumberwringin. Setelah melewati kampung kopi Kluncing, Kecamatan Sumberwringin, pohon kopi mulai menghibur mata kami di kanan kiri jalan, kemudian memasuki kawasan hutan dengan pohon besar menjulang di kanak kiri. Jika beruntung, pengendara biasanya dihibur bunyi hewan tonggeret. Namun, kali ini kararowe, dalam bahasa Madura, itu absen bernyanyi.
Jalur mulai menanjak, laju motor mulai melambat, terutama yang menggunakan mesin bergigi. Berkali-kali pengendara yang berboncengan harus lihai menurun-naikkan perseneling ke gigi dua, bahkan satu.
Tujuan pertama adalah Puncak Megasari, tempat pemberangkatan paralayang. Beruntung, di perjalanan kami tidak berpapasan dengan pengunjung yang menggunakan mobil, sehingga tidak perlu menepi. Nur Saleh dengan motor matiknya memandu kami menelusuri jalanan ke Megasari dengan sangat lihai. Di antara peserta rombongan dia memang yang paling sering bepetualang mengeksplorasi wisata alam.
Tiba di lokasi, kami disuguhi pemandangan perkampungan di wilayah Kecamatan Ijen serta pepohonan menghijau di bagian bawah. Sementara latar belakang pegunungan dihiasai dengan awan putih menambah indah pemandangan langit yang biru bersih.
Kami berfoto-foto sebentar di tempat ini sambil menikmati bekal kopi. Kami kemudian kembali ke jalur utama Bondowoso - Ijen untuk menuju Blawan. Perkebunan kopi peninggalan masa penjajahan ini menjadi pemandangan khas perjalanan ke Blawan ini. Di jalan setelah tikungan menanjak kami berhenti untuk makan siang. Di tempat ini ada titik foto di ketinggian dengan tulisan Selamat Datang di Blawan. Kami naik dengan penuh hati-hati karena harus melewati batu-batu bekas letusan gunung berapi itu banyak yang berbentuk lancip.
Usai itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Galuh. Lokasi itu belum banyak dikunjungi wisatawan, sebagaimana Kawah Wurung yang dikenal dengan taman Teletabis dan sempat viral dengan keindahan hamparan bunga sawi milik warga yang disandingkan dengan keindahan taman bunga di Pulau Jeju, Korea Selatan. Setelah melewati pemandian air panas Blawan, kami bisa menikmati areal kebun tanaman kubis yang masih tampak sebagai bonggolan daun. Jalan berkelok-kelok dan menanjak juga memaksa pengendara untuk lihai memainkan perseneling agar laju kendaraan tetap stabil.
Dipandu Haji Tajir, kami memasuki perkampungan penduduk di Kaligedang. Kami Shalat Zuhur di masjid kampung itu. Ketika berwudlu, airnya sangat dingin khas pegunungan. "Saya ndak berani kumur-kumur, gigi saya ngilu," kata Endri Erliyanto, salah seorang peserta, menggambarkan dinginnya air di masjid itu.
Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan. Kami mengira sudah dekat, ternyata perjalanan dari Kaligedang ini masih sekitar 1,5 jam dengan perjuangan sangat hebat. Selain melewati gundukan batu, kami juga melewati jalanan berdebu berkontur naik turun. Di jalur menurun ini, Akifah Qotrunnada yang berboncengan dengan Rizki Setya Novelia, terjatuh saat melewati jalan menurun. Beruntung Akifah yang baru lulus MA di sebuah pesantren terkemuka itu hanya lecet di atas mata kakinya. Kami masih melanjutkan perjalanan, dan rupanya di tengah kebun kopi kami kesasar. Tiba-tiba ada teriakan seperti orang marah dari sebuah saung yang terbuat dari kain terpal berwarna biru. Haji Tajir yang juga pegawai di Kantor Kecamatan Ijen mendatangi para pekerja kebun itu dan bertanya arah ke Taman Galuh.
Kami kembali dan mengambil arah kanan dari sebelumnya arah kiri. Lagi-lagi kami berjumpa dengan jalanan berbatu dan sesekali berdebu, silih berganti dengan jalan berpasir dan paving rusak. Kali ini yang jatuh Beni dengan isterinya karena tidak mampu menjaga gas motor saat terhenti karena bebatuan. Meskipun tidak cedera, Beni merasa sedikit keseleo lengan kirinya. Setelah sekitar 10 menit dari lokasi itu, kami berhenti untuk istirahat. Beni, istri dan Endri memutuskan tidak meneruskan perjalanan. Mereka menunggu anggota rombongan setelah kembali dari Puncak Taman Galuh.
Padahal perjalanan dari tempat istirahat itu ke tujuan hanya memakan waktu sekitar 15 menit dengan telebih dahulu melewati jalur yang ditanami banyak pohon jambu merah. Penjaga di lokasi itu menyuruh kami untuk mengambil buah jambu untuk dimakan. "Ambil saja nak, kami tidak jual kok. Halal," katanya.
Insya Allah, pahala besar yang akan diterima penanam pohon jambu itu yang mampu menyegarkan tenggorokan kami. Setelah kami melewati jalan yang hanya setapak dengan kanan kiri penuh ilalang, di depan sana mulai tampak areal pegunungan dengan rumput hijau pupus seperti permadani. Mirip dengan taman teletabis. Sungguh indah.
"Ya Allah, indahnya tempat ini," kata Umar, anggota rombongan.
Haji Tajir menjelaskan bahwa Taman Galuh itu berada di balik Kawah Ijen yang fenomena api birunya sangat kesohor ke mancanegara itu.
"Indah sekali, tapi cukup satu kali saja. Kalau suruh kembali jalannya masih susah begini, sudah tidak sanggup," kata beberapa anggota rombongan.
Melewati jalur berliku, berbatu-batu dan berdebu seperti itu, memancing komentar usil karena ada anggota yang baru beberapa tahun ini belajar naik motor. Salah satunya Endang yang menggunakan motor matik.
"Endang ini hebat juga ya, bisa nyampai ke lokasi Taman Galuh, padahal baru belajar naik motor tiga tahunan" kata Evy Yulis.
"Aslinya saya sudah tidak kuat, tangan gemetar dan sakit yang pegang setir, tapi teman-teman semua baik dan saling memberi semangat, akhirnya semua terbayar dengan suguhan pemandangan alam luar biasa seperti di film-film" kata guru matematika MAN Bondowoso ini.
Puas menikmati pemandangan itu kami kembali. Sebagai hadiahnya buat tubuh yang letih dan penuh debu, kami memanjakan badan dengan berendam di pemandian air panas Blawan. Suhu air belerang yang panas benar-benar membantu kami memulihkan badan yang remuk redam. Apalagi sehabis mandi kami menikmati makan sore ditambah suguhan kopi panas.
Perjalanan pulang tak kalah seru. Saat adzan magrib kami masih di daerah Blawan, afdeling (wilayah administrasi) ketiga setelah Pelalangan dan Afdeling Sempol. Kami menikmati perjalanan pulang dalam gelap gulita melewati perkebunan dan hutan lebat. Alhasil jam 8 malam kami baru sampai di rumah masing-masing.
Keseruan perjalanan itu rupanya belum selesai. Foto dan video perjalanan dishare di grup alumni sekolah itu. Mereka yang tidak sempat ikut karena berada di luar daerah, bahkan di luar negeri, mengaku iri karena tidak bisa bergabung.
"Adduuu kah, saya kok jadi ngiler pingin ke sana juga ya. Tahun depan diagendakan lagi ya. Ini anak saya lihat videonya juga minta ikut," kata Ririn, alumni yang kini bermukim di Dubai.
"Kepingin juga kanak, anak saya laki-laki semua juga kepingin berpetualang juga. Mungkin baru tiga tahun lagi bisa mudik dan berpetualang bersama" Kata Eko Tutik, alumni yang kini tinggal di Malaysia, ini. Maklum, sebagai seorang aktivis pencinta alam, seperti sebagian besar rombongan ini saat masih SMA, dia juga pasti tergiur dengan wisata-wisata keindahan alam.
"Tolong lah, kegiatan sudah usai. Tidak usah share-share lagi di grup. Hargai perasaan saya yang tidak bisa ikut, tapi pingin sampai meneteskan air liur," kata Juned, alumni yang tinggal di Bekasi, dengan emoticon menangis. Karena berkomentar demikian, maka semakin deraslah foto dan video yang kami luncurkan ke grup alumni SMA. Silahkan, silahkan saja iri dengan keseruan dan kekompakan kami. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Alumni yang dikomandani Firman Fitriyadi ini merencanakan naik ke kawasan Kecamatan Ijen (dulu Kecamatan Sempol) pada Minggu (12/7) dan secara kebetulan pada Sabtu (11/7), Pemkab Bondowoso sudah membuka kembali objek wisata setelah sempat ditutup akibat pandemi COVID-19.
Kami janjian berkumpul di warung sate milik Siswantoro (alumni SMAN Tenggarang) di Sukosari. Dari Sukosari kami berangkat sekitar pukul 08:00 setelah terlebih dahulu menyeruput teh panas dan sarapan roti. Rombongan juga mampir sebentar ke rumah Sri Rahayu di Sukorejo untuk mengambil perbekalan makan siang.
Video HO-Alumni Smasga Bondowoso
Idealnya petualangan ini menggunakan motor jenis trail, tapi kami menggunakan motor seadanya. Perjalanan berkelok-kelok sudah mulai tampak ketika memasuki wilayah Kecamatan Sumberwringin. Setelah melewati kampung kopi Kluncing, Kecamatan Sumberwringin, pohon kopi mulai menghibur mata kami di kanan kiri jalan, kemudian memasuki kawasan hutan dengan pohon besar menjulang di kanak kiri. Jika beruntung, pengendara biasanya dihibur bunyi hewan tonggeret. Namun, kali ini kararowe, dalam bahasa Madura, itu absen bernyanyi.
Jalur mulai menanjak, laju motor mulai melambat, terutama yang menggunakan mesin bergigi. Berkali-kali pengendara yang berboncengan harus lihai menurun-naikkan perseneling ke gigi dua, bahkan satu.
Tujuan pertama adalah Puncak Megasari, tempat pemberangkatan paralayang. Beruntung, di perjalanan kami tidak berpapasan dengan pengunjung yang menggunakan mobil, sehingga tidak perlu menepi. Nur Saleh dengan motor matiknya memandu kami menelusuri jalanan ke Megasari dengan sangat lihai. Di antara peserta rombongan dia memang yang paling sering bepetualang mengeksplorasi wisata alam.
Tiba di lokasi, kami disuguhi pemandangan perkampungan di wilayah Kecamatan Ijen serta pepohonan menghijau di bagian bawah. Sementara latar belakang pegunungan dihiasai dengan awan putih menambah indah pemandangan langit yang biru bersih.
Kami berfoto-foto sebentar di tempat ini sambil menikmati bekal kopi. Kami kemudian kembali ke jalur utama Bondowoso - Ijen untuk menuju Blawan. Perkebunan kopi peninggalan masa penjajahan ini menjadi pemandangan khas perjalanan ke Blawan ini. Di jalan setelah tikungan menanjak kami berhenti untuk makan siang. Di tempat ini ada titik foto di ketinggian dengan tulisan Selamat Datang di Blawan. Kami naik dengan penuh hati-hati karena harus melewati batu-batu bekas letusan gunung berapi itu banyak yang berbentuk lancip.
Usai itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Galuh. Lokasi itu belum banyak dikunjungi wisatawan, sebagaimana Kawah Wurung yang dikenal dengan taman Teletabis dan sempat viral dengan keindahan hamparan bunga sawi milik warga yang disandingkan dengan keindahan taman bunga di Pulau Jeju, Korea Selatan. Setelah melewati pemandian air panas Blawan, kami bisa menikmati areal kebun tanaman kubis yang masih tampak sebagai bonggolan daun. Jalan berkelok-kelok dan menanjak juga memaksa pengendara untuk lihai memainkan perseneling agar laju kendaraan tetap stabil.
Dipandu Haji Tajir, kami memasuki perkampungan penduduk di Kaligedang. Kami Shalat Zuhur di masjid kampung itu. Ketika berwudlu, airnya sangat dingin khas pegunungan. "Saya ndak berani kumur-kumur, gigi saya ngilu," kata Endri Erliyanto, salah seorang peserta, menggambarkan dinginnya air di masjid itu.
Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan. Kami mengira sudah dekat, ternyata perjalanan dari Kaligedang ini masih sekitar 1,5 jam dengan perjuangan sangat hebat. Selain melewati gundukan batu, kami juga melewati jalanan berdebu berkontur naik turun. Di jalur menurun ini, Akifah Qotrunnada yang berboncengan dengan Rizki Setya Novelia, terjatuh saat melewati jalan menurun. Beruntung Akifah yang baru lulus MA di sebuah pesantren terkemuka itu hanya lecet di atas mata kakinya. Kami masih melanjutkan perjalanan, dan rupanya di tengah kebun kopi kami kesasar. Tiba-tiba ada teriakan seperti orang marah dari sebuah saung yang terbuat dari kain terpal berwarna biru. Haji Tajir yang juga pegawai di Kantor Kecamatan Ijen mendatangi para pekerja kebun itu dan bertanya arah ke Taman Galuh.
Kami kembali dan mengambil arah kanan dari sebelumnya arah kiri. Lagi-lagi kami berjumpa dengan jalanan berbatu dan sesekali berdebu, silih berganti dengan jalan berpasir dan paving rusak. Kali ini yang jatuh Beni dengan isterinya karena tidak mampu menjaga gas motor saat terhenti karena bebatuan. Meskipun tidak cedera, Beni merasa sedikit keseleo lengan kirinya. Setelah sekitar 10 menit dari lokasi itu, kami berhenti untuk istirahat. Beni, istri dan Endri memutuskan tidak meneruskan perjalanan. Mereka menunggu anggota rombongan setelah kembali dari Puncak Taman Galuh.
Padahal perjalanan dari tempat istirahat itu ke tujuan hanya memakan waktu sekitar 15 menit dengan telebih dahulu melewati jalur yang ditanami banyak pohon jambu merah. Penjaga di lokasi itu menyuruh kami untuk mengambil buah jambu untuk dimakan. "Ambil saja nak, kami tidak jual kok. Halal," katanya.
Insya Allah, pahala besar yang akan diterima penanam pohon jambu itu yang mampu menyegarkan tenggorokan kami. Setelah kami melewati jalan yang hanya setapak dengan kanan kiri penuh ilalang, di depan sana mulai tampak areal pegunungan dengan rumput hijau pupus seperti permadani. Mirip dengan taman teletabis. Sungguh indah.
"Ya Allah, indahnya tempat ini," kata Umar, anggota rombongan.
Haji Tajir menjelaskan bahwa Taman Galuh itu berada di balik Kawah Ijen yang fenomena api birunya sangat kesohor ke mancanegara itu.
"Indah sekali, tapi cukup satu kali saja. Kalau suruh kembali jalannya masih susah begini, sudah tidak sanggup," kata beberapa anggota rombongan.
Melewati jalur berliku, berbatu-batu dan berdebu seperti itu, memancing komentar usil karena ada anggota yang baru beberapa tahun ini belajar naik motor. Salah satunya Endang yang menggunakan motor matik.
"Endang ini hebat juga ya, bisa nyampai ke lokasi Taman Galuh, padahal baru belajar naik motor tiga tahunan" kata Evy Yulis.
"Aslinya saya sudah tidak kuat, tangan gemetar dan sakit yang pegang setir, tapi teman-teman semua baik dan saling memberi semangat, akhirnya semua terbayar dengan suguhan pemandangan alam luar biasa seperti di film-film" kata guru matematika MAN Bondowoso ini.
Puas menikmati pemandangan itu kami kembali. Sebagai hadiahnya buat tubuh yang letih dan penuh debu, kami memanjakan badan dengan berendam di pemandian air panas Blawan. Suhu air belerang yang panas benar-benar membantu kami memulihkan badan yang remuk redam. Apalagi sehabis mandi kami menikmati makan sore ditambah suguhan kopi panas.
Perjalanan pulang tak kalah seru. Saat adzan magrib kami masih di daerah Blawan, afdeling (wilayah administrasi) ketiga setelah Pelalangan dan Afdeling Sempol. Kami menikmati perjalanan pulang dalam gelap gulita melewati perkebunan dan hutan lebat. Alhasil jam 8 malam kami baru sampai di rumah masing-masing.
Keseruan perjalanan itu rupanya belum selesai. Foto dan video perjalanan dishare di grup alumni sekolah itu. Mereka yang tidak sempat ikut karena berada di luar daerah, bahkan di luar negeri, mengaku iri karena tidak bisa bergabung.
"Adduuu kah, saya kok jadi ngiler pingin ke sana juga ya. Tahun depan diagendakan lagi ya. Ini anak saya lihat videonya juga minta ikut," kata Ririn, alumni yang kini bermukim di Dubai.
"Kepingin juga kanak, anak saya laki-laki semua juga kepingin berpetualang juga. Mungkin baru tiga tahun lagi bisa mudik dan berpetualang bersama" Kata Eko Tutik, alumni yang kini tinggal di Malaysia, ini. Maklum, sebagai seorang aktivis pencinta alam, seperti sebagian besar rombongan ini saat masih SMA, dia juga pasti tergiur dengan wisata-wisata keindahan alam.
"Tolong lah, kegiatan sudah usai. Tidak usah share-share lagi di grup. Hargai perasaan saya yang tidak bisa ikut, tapi pingin sampai meneteskan air liur," kata Juned, alumni yang tinggal di Bekasi, dengan emoticon menangis. Karena berkomentar demikian, maka semakin deraslah foto dan video yang kami luncurkan ke grup alumni SMA. Silahkan, silahkan saja iri dengan keseruan dan kekompakan kami. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020