Tanggal 23 Juli merupakan hari penting bagi anak-anak Indonesia. Pada 35 tahun silam, Presiden ke-2 RI Soeharto menetapkan pada tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1984.
Keppres tersebut di antaranya berbunyi bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karena itu, bekal untuk anak perlu dijamin dengan baik. Usaha pembinaan, khususnya orang tua, juga menjadi titik penting bagi anak.
Namun, 35 tahun setelah Keppres ditetapkan, upaya untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan anak seolah menemukan jalan terjal dan rintangan cukup besar. Jangankan mendapatkan perlindungan yang lebih baik, anak-anak justru kian rentan menjadi korban kekerasan.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2018, 2 dari 3 anak dan remaja di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, baik kekerasan seksual, emosional, dan kekerasan fisik, bahkan sebagian kekerasan dilakukan oleh lingkungan terdekat, termasuk keluarga.
Dalam survei tersebut, anak-anak tidak hanya menjadi korban, tetapi juga sebagai pelaku kekerasan. Tiga dari empat anak melaporkan pernah melakukan kekerasan emosional dan fisik terhadap teman sebaya.
Bahkan, kekerasan terhadap anak saat ini dalam posisi memprihatinkan. Oleh karena itu, semua pihak dimulai dari lingkungan keluarga harus bahu membahu menyelesaikan masalah kekerasan anak ini dan kondisi ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa adanya kerja sama dari berbagai elemen masyarakat.
Kekerasan terhadap anak tak ubahnya fenomena gunung es, sebab apa yang muncul di permukaan belum tentu sesuai fakta yang sesungguhnya dan tidak menutup kemungkinan angka kasus kekerasan terhadap anak jauh lebih banyak ketimbang yang tertuang dalam data.
Indonesia, juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada September 1990. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, termasuk memberikan perlindungan agar anak terhindar dari kekerasan.
Hanya saja, meski sudah hampir tiga dekade ratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut, anak-anak Indonesia masih belum terbebas dari kondisi darurat kekerasan, bahkan berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional, jumlahnya terus meningkat dan 52-58 persen kekerasan terhadap anak berkaitan dengan kekerasan seksual.
Selebihnya sekitar 48 persen merupakan kasus kekerasan dalam bentuk lain seperti penculikan, penganiayaan dan eksploitasi anak. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan oleh orang terdekat, sehingga mereka (anak-anak) menjadi tidak nyaman ketika berada dalam lingkungan keluarga, bahkan sekolah.
Kondisi ini tidak lepas dari semakin rapuhnya ketahanan keluarga, bahkan mulai tergerus dan pupus. Pola pengasuhan anak yang telah bergeser mengakibatkan keluarga tak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak, apalagi sekarang, anak-anak seolah tidak lagi membutuhkan pola pengasuhan yang terus diperhatikan, anak-anak lebih nyaman "bermain" dan berkomunikasi dengan gadgetnya.
Bagi anak-anak dan remaja dalam beberapa dasa warsa terakhir ini gadget atau "setan gepeng" posisinya justru lebih penting daripada keberadaan dan pendampingan orang tua, padahal seharusnya orang tua dan keluarga menjadi garda terdepan perlindungan anak.
35 tahun Ratifikasi "CEDAW"
Sementara itu, di tahun yang sama (1984) Pemerintah Indonesia bersama ratusan negara di dunia telah melakukan ratifikasi tehadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang dituangkan dalam perjanjian internasional oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1979.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, sebagai hasil ratifikasi perjanjian internasional tersebut berkewajiban untuk menerbitkan peraturan, program, tindakan khusus sementara, serta melakukan upaya-upaya lain guna menjamin terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kini, setelah 35 tahun Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian internasional tersebut, sudahkah kaum perempuan di Tanah Air mendapatkan posisi yang sama (kesetaraan gender) dengan kaum pria di segala bidang, termasuk perlindungan hukum, peluang bekerja, bahkan sebagai politikus yang mewakili rakyat di negeri ini.
Secara perlahan, agaknya kaum perempuan di Indonesia mulai memiliki peran penting dalam berbagai bidang dan mulai "berani" bersaing dengan kaum laki-laki. Hanya saja, di tengah kemampuan dan semakin menonjolnya kiprah kaum perempuan, masih saja kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap perempuan lainnya terus menyeruak ke permukaan.
Kiprah perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan itu sendiri belum berbanding lurus dengan keberhasilan peran perempuan yang sedikit terangkat dan menggeser dominasi kaum laki-laki.
Meski pemikiran perempuan sudah lebih maju dan modern, kaum perempuan masih belum mendapatkan "kemerdekaan" sepenuhnya. Perempuan masih sering dianggap sebagai "konco wingking" (teman di belakang) yang kesehariannya hanya disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak.
Padahal, tidak sedikit ide-ide cemerlang yang muncul dari perempuan. Itu artinya, kebebasan yang hakiki bagi kaum perempuan masih sebatas Undang-Undang, belum sepenuhnya menyentuh kehidupan riil dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan ranah-ranah lainnya, termasuk kesempatan untuk mengakses institusi pendidikan, fasilitas kesehatan maupun pekerjaan.
Selain itu, berbagai praktik kekerasan terhadap perempuan juga marak ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari perkawinan anak hingga viktimisasi korban kekerasan seksual. Lantas, apakah kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia telah gagal dalam mewujudkan ratifikasi konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita?
Permasalahan diskriminasi dan kesetaraan gender di Indonesia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Berbeda dengan kondisi kesetaraan gender di Indonesia dalam beberapa laporan pemerintah dinilai terus membaik setiap tahunnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Keppres tersebut di antaranya berbunyi bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karena itu, bekal untuk anak perlu dijamin dengan baik. Usaha pembinaan, khususnya orang tua, juga menjadi titik penting bagi anak.
Namun, 35 tahun setelah Keppres ditetapkan, upaya untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan anak seolah menemukan jalan terjal dan rintangan cukup besar. Jangankan mendapatkan perlindungan yang lebih baik, anak-anak justru kian rentan menjadi korban kekerasan.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2018, 2 dari 3 anak dan remaja di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, baik kekerasan seksual, emosional, dan kekerasan fisik, bahkan sebagian kekerasan dilakukan oleh lingkungan terdekat, termasuk keluarga.
Dalam survei tersebut, anak-anak tidak hanya menjadi korban, tetapi juga sebagai pelaku kekerasan. Tiga dari empat anak melaporkan pernah melakukan kekerasan emosional dan fisik terhadap teman sebaya.
Bahkan, kekerasan terhadap anak saat ini dalam posisi memprihatinkan. Oleh karena itu, semua pihak dimulai dari lingkungan keluarga harus bahu membahu menyelesaikan masalah kekerasan anak ini dan kondisi ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa adanya kerja sama dari berbagai elemen masyarakat.
Kekerasan terhadap anak tak ubahnya fenomena gunung es, sebab apa yang muncul di permukaan belum tentu sesuai fakta yang sesungguhnya dan tidak menutup kemungkinan angka kasus kekerasan terhadap anak jauh lebih banyak ketimbang yang tertuang dalam data.
Indonesia, juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada September 1990. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, termasuk memberikan perlindungan agar anak terhindar dari kekerasan.
Hanya saja, meski sudah hampir tiga dekade ratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut, anak-anak Indonesia masih belum terbebas dari kondisi darurat kekerasan, bahkan berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional, jumlahnya terus meningkat dan 52-58 persen kekerasan terhadap anak berkaitan dengan kekerasan seksual.
Selebihnya sekitar 48 persen merupakan kasus kekerasan dalam bentuk lain seperti penculikan, penganiayaan dan eksploitasi anak. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan oleh orang terdekat, sehingga mereka (anak-anak) menjadi tidak nyaman ketika berada dalam lingkungan keluarga, bahkan sekolah.
Kondisi ini tidak lepas dari semakin rapuhnya ketahanan keluarga, bahkan mulai tergerus dan pupus. Pola pengasuhan anak yang telah bergeser mengakibatkan keluarga tak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak, apalagi sekarang, anak-anak seolah tidak lagi membutuhkan pola pengasuhan yang terus diperhatikan, anak-anak lebih nyaman "bermain" dan berkomunikasi dengan gadgetnya.
Bagi anak-anak dan remaja dalam beberapa dasa warsa terakhir ini gadget atau "setan gepeng" posisinya justru lebih penting daripada keberadaan dan pendampingan orang tua, padahal seharusnya orang tua dan keluarga menjadi garda terdepan perlindungan anak.
35 tahun Ratifikasi "CEDAW"
Sementara itu, di tahun yang sama (1984) Pemerintah Indonesia bersama ratusan negara di dunia telah melakukan ratifikasi tehadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang dituangkan dalam perjanjian internasional oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1979.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, sebagai hasil ratifikasi perjanjian internasional tersebut berkewajiban untuk menerbitkan peraturan, program, tindakan khusus sementara, serta melakukan upaya-upaya lain guna menjamin terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kini, setelah 35 tahun Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian internasional tersebut, sudahkah kaum perempuan di Tanah Air mendapatkan posisi yang sama (kesetaraan gender) dengan kaum pria di segala bidang, termasuk perlindungan hukum, peluang bekerja, bahkan sebagai politikus yang mewakili rakyat di negeri ini.
Secara perlahan, agaknya kaum perempuan di Indonesia mulai memiliki peran penting dalam berbagai bidang dan mulai "berani" bersaing dengan kaum laki-laki. Hanya saja, di tengah kemampuan dan semakin menonjolnya kiprah kaum perempuan, masih saja kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap perempuan lainnya terus menyeruak ke permukaan.
Kiprah perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan itu sendiri belum berbanding lurus dengan keberhasilan peran perempuan yang sedikit terangkat dan menggeser dominasi kaum laki-laki.
Meski pemikiran perempuan sudah lebih maju dan modern, kaum perempuan masih belum mendapatkan "kemerdekaan" sepenuhnya. Perempuan masih sering dianggap sebagai "konco wingking" (teman di belakang) yang kesehariannya hanya disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak.
Padahal, tidak sedikit ide-ide cemerlang yang muncul dari perempuan. Itu artinya, kebebasan yang hakiki bagi kaum perempuan masih sebatas Undang-Undang, belum sepenuhnya menyentuh kehidupan riil dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan ranah-ranah lainnya, termasuk kesempatan untuk mengakses institusi pendidikan, fasilitas kesehatan maupun pekerjaan.
Selain itu, berbagai praktik kekerasan terhadap perempuan juga marak ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari perkawinan anak hingga viktimisasi korban kekerasan seksual. Lantas, apakah kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia telah gagal dalam mewujudkan ratifikasi konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita?
Permasalahan diskriminasi dan kesetaraan gender di Indonesia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Berbeda dengan kondisi kesetaraan gender di Indonesia dalam beberapa laporan pemerintah dinilai terus membaik setiap tahunnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019