Ratusan guru dan perwakilan SMP swasta yang tergabung dalam Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP swasta melakukan demonstrasi di Pemkot Surabaya, Jatim, Selasa, memprotes sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang merugikan lembaga pendidikannya.
"Carut marut pendidikan di Kota Surabaya sebenarnya sudah berlangsung selama 3 tahun, dimana aturan yang dibuat Dinas Pendidikan Surabaya tidak melibatkan SMP Swasta dalam pengambilan keputusan. Kondisi SMP Swasta mengalami ketimpangan," kata Ketua MKKS SMP Swasta Surabaya Erwin Darmogo.
Ratusan guru itu juga membawa berbagai spanduk dan poster bertuliskan "Sekolah Swasta Tuntut Keadilan", "Murid Swasta Habis Ditarik Sekolah Negeri", "Bu Wali, Dengar Keluhan kami".
Salah satu perwakilan guru swasta dari Perguruaan Muhammadiyah mengatakan sekolah swasta mengeluh saat ini mereka tidak dapat murid. Dari semula dapat 5 kelas kini 1 kelas. Sementara pagu SMP negeri, dari pagu 325 menjadi 521.
"Sebaiknya Pak Ikhsan (Kepala Dinas Pendidikan Surabaya) mundur. Pak Ikhsan bikin komitmen mundur sekarang juga," kata Imam Safari.
Menurut Erwin Darmogo, sekolah swasta adalah institusi yang dikelola oleh masyarakat yang dijamin Undang-Undang yang terbukti bertahun-tahun telah banyak berjasa kepada pemerintah dalam rangka membantu pelayanan wajib dasar yaitu pelayanan Pendidikan.
Sampai hari ini pun, lanjut dia, Pemkot Surabaya masih membutuhkan peran sekolah swasta dalam menuntaskan kewajibannya kepada warga kota. Terbukti kurang lebih dari setengah jumlah anak usia sekolah tidak seluruhnya mampu ditampung oleh sekolah negeri, mereka berada dalam asuhan sekolah swasta.
Anehnya, kata dia, SMP swasta bukannya malah dihargai jerih payahnya, dibina dan dilindungi eksistensinya oleh dinas pendidikan akan tetapi semakin hari kebijakan yang dibuat semakin memperburuk kondisi SMP swasta.
Menurut dia, tidak kurang dalam 3 tahun terakhir ini kebijakan Dispendik cukup merepotkan SMP swasta, mulai dari raport daring yang rumit dan menyita waktu, kebijakan mitra warga yang merugikan swasta, dan utamanya PPDB baik PPDB Danem maupun PPDB zonasi yang selalu melanggar Permendikbud yang berdampak pada berkurangnya siswa di SMP swasta.
Erwin Darmogo menuturkan, hingga saat ini masih 30 persen seluruh total pagu sekolah swasta yang terisi. "Kebutuhan siswa kami adalah sekitar 23.000. Kini masih sekitar 16.000. Tapi itu tidak merata karena ada sekolah yang saat ini hanya mendapat 5 siswa baru," kata Erwin.
Kondisi itu, lanjut dia, akibat kebijakan Dipendik Surabaya yang menambah pagu SMP negeri dari pagu SMPN semula 16.000 ditambah menjadi 25.000. "Ini berdampak serius pada SMP swasta," katanya.
Menurutnya, SMP swasta selama 3 tahun terakhir berusaha untuk menahan diri dan berharap mendapatkan kebijakan yang lebih adil dari kepala Dispendik. Akan tetapi justru pada PPDB Zonasi 2019, yang di dalam Permendikbud-nya ada secercah harapan bagi kelangsungan hidup SMP swasta juga dilanggar aturannya dengan bermacam dalih yang tidak relevan.
Dinas Pendidikan, kata dia, diduga tidak mengelola pelaksanaan PPDB zonasi dengan baik yang berakibat pada dilanggarnya jumlah pagu yang telah ditetapkan oleh Mendikbud dan kesepakatan bersama antara Dispendik, DPRD Kota Surabaya, MKKS SMP Swasta pada 27 April 2019.
"Kami menyadari sepenuhnya bahwa matinya SMP swasta akan dapat berdampak sosial yang panjang di antaranya sulitnya guru-guru yang telah tersertifikasi untuk dapat menunaikan kewajiban minimalnya dalam jumlah jam mengajar, adanya PHK guru besar-besaran dan tutupnya SMP swasta, yang mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil yang tidak sedikit di masyarakat," katanya.
Sejumlah perwakilan guru SMP swasta tersebut akhirnya ditemui Kepala Badan Penangulangan Bencana (BPB) Linmas Surabaya Edi Christijanto dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Beppeko) Surabaya Eri Cahyadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Carut marut pendidikan di Kota Surabaya sebenarnya sudah berlangsung selama 3 tahun, dimana aturan yang dibuat Dinas Pendidikan Surabaya tidak melibatkan SMP Swasta dalam pengambilan keputusan. Kondisi SMP Swasta mengalami ketimpangan," kata Ketua MKKS SMP Swasta Surabaya Erwin Darmogo.
Ratusan guru itu juga membawa berbagai spanduk dan poster bertuliskan "Sekolah Swasta Tuntut Keadilan", "Murid Swasta Habis Ditarik Sekolah Negeri", "Bu Wali, Dengar Keluhan kami".
Salah satu perwakilan guru swasta dari Perguruaan Muhammadiyah mengatakan sekolah swasta mengeluh saat ini mereka tidak dapat murid. Dari semula dapat 5 kelas kini 1 kelas. Sementara pagu SMP negeri, dari pagu 325 menjadi 521.
"Sebaiknya Pak Ikhsan (Kepala Dinas Pendidikan Surabaya) mundur. Pak Ikhsan bikin komitmen mundur sekarang juga," kata Imam Safari.
Menurut Erwin Darmogo, sekolah swasta adalah institusi yang dikelola oleh masyarakat yang dijamin Undang-Undang yang terbukti bertahun-tahun telah banyak berjasa kepada pemerintah dalam rangka membantu pelayanan wajib dasar yaitu pelayanan Pendidikan.
Sampai hari ini pun, lanjut dia, Pemkot Surabaya masih membutuhkan peran sekolah swasta dalam menuntaskan kewajibannya kepada warga kota. Terbukti kurang lebih dari setengah jumlah anak usia sekolah tidak seluruhnya mampu ditampung oleh sekolah negeri, mereka berada dalam asuhan sekolah swasta.
Anehnya, kata dia, SMP swasta bukannya malah dihargai jerih payahnya, dibina dan dilindungi eksistensinya oleh dinas pendidikan akan tetapi semakin hari kebijakan yang dibuat semakin memperburuk kondisi SMP swasta.
Menurut dia, tidak kurang dalam 3 tahun terakhir ini kebijakan Dispendik cukup merepotkan SMP swasta, mulai dari raport daring yang rumit dan menyita waktu, kebijakan mitra warga yang merugikan swasta, dan utamanya PPDB baik PPDB Danem maupun PPDB zonasi yang selalu melanggar Permendikbud yang berdampak pada berkurangnya siswa di SMP swasta.
Erwin Darmogo menuturkan, hingga saat ini masih 30 persen seluruh total pagu sekolah swasta yang terisi. "Kebutuhan siswa kami adalah sekitar 23.000. Kini masih sekitar 16.000. Tapi itu tidak merata karena ada sekolah yang saat ini hanya mendapat 5 siswa baru," kata Erwin.
Kondisi itu, lanjut dia, akibat kebijakan Dipendik Surabaya yang menambah pagu SMP negeri dari pagu SMPN semula 16.000 ditambah menjadi 25.000. "Ini berdampak serius pada SMP swasta," katanya.
Menurutnya, SMP swasta selama 3 tahun terakhir berusaha untuk menahan diri dan berharap mendapatkan kebijakan yang lebih adil dari kepala Dispendik. Akan tetapi justru pada PPDB Zonasi 2019, yang di dalam Permendikbud-nya ada secercah harapan bagi kelangsungan hidup SMP swasta juga dilanggar aturannya dengan bermacam dalih yang tidak relevan.
Dinas Pendidikan, kata dia, diduga tidak mengelola pelaksanaan PPDB zonasi dengan baik yang berakibat pada dilanggarnya jumlah pagu yang telah ditetapkan oleh Mendikbud dan kesepakatan bersama antara Dispendik, DPRD Kota Surabaya, MKKS SMP Swasta pada 27 April 2019.
"Kami menyadari sepenuhnya bahwa matinya SMP swasta akan dapat berdampak sosial yang panjang di antaranya sulitnya guru-guru yang telah tersertifikasi untuk dapat menunaikan kewajiban minimalnya dalam jumlah jam mengajar, adanya PHK guru besar-besaran dan tutupnya SMP swasta, yang mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil yang tidak sedikit di masyarakat," katanya.
Sejumlah perwakilan guru SMP swasta tersebut akhirnya ditemui Kepala Badan Penangulangan Bencana (BPB) Linmas Surabaya Edi Christijanto dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Beppeko) Surabaya Eri Cahyadi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019