Jember (Antaranews Jatim) - The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember meluncurkan buku berjudul Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia dan seminar dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia yang digelar di Gedung Rektorat Unej, Senin.
Menurut Ketua CHRM2 Unej Al-Khanif, peluncuran buku itu dilandasi kondisi internalisasi pelaksanaan nilai dan norma HAM di Indonesia yang masih belum maksimal dengan permasalahan yang disebabkan oleh realitas politik, kebijakan hukum, dan pengaruh agama, yang menyebabkan internalisasi dan pemajuan HAM di Indonesia menjadi kompleks, bahkan terkesan mundur.
"Di sisi lain, pelaksanaan norma HAM dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, sehingga memaksa negara menetapkan kebijakan politik yang tidak ramah terhadap HAM," katanya.
Ia mengatakan, CHRM2 Unej telah menerbitkan empat buku dan akan terus giat mempromosikan internalisasi HAM melalui berbagai kegiatan, seperti penerbitan buku, seminar dan pelatihan.
Buku Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia merupakan buku terbitan keempat dengan 12 penulis yang menyumbangkan pemikirannya dan terbagi dalam tiga bidang, yakni politik dan HAM, Hukum dan HAM, serta Agama dan HAM.
"Ke depan, kami di CHRM2 ingin meluaskan layanan dengan mulai memberikan layanan advokasi kepada masyarakat,” tutur dosen di Fakultas Hukum Unej yang juga Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM).
Tidak hanya meluncurkan buku, CHRM2 yang merupakan pusat penelitian mengenai HAM, multikulturalisme, serta imigrasi di Kampus Unej itu, sengaja menghadirkan dua pembicara guna memberikan refleksi atas pelaksanaan HAM di Indonesia. Mereka adalah Herlambang P. Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, dan Mirza Satria Buana dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Herlambang yang juga menjadi salah satu kontributor dalam buku Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia memaparkan data dan fakta, di mana penerapan HAM di lingkungan kampus pun masih menghadapi masalah.
"Dari riset yang saya lakukan di 49 lokasi di Indonesia, masih terjadi tekanan terhadap kebebasan akademik, semisal pelarangan seminar dan forum ilmiah, pelarangan buku, pelarangan metode belajar mengajar tertentu, hingga stigmatisasi terhadap ekspresi sivitas akademika," katanya.
Ia menemukan larangan kegiatan ilmiah di kampus terbanyak masih didominasi oleh larangan kegiatan ilmiah yang membahas komunisme, yang mencapai 37 persen.
Sementara itu pihak yang melarang kegiatan ilmiah di kampus masih didominasi oleh kepolisian sebanyak 48 persen, kelompok tertentu sebanyak 38 persen, serta pihak militer dan pihak internal kampus pada angka 6 persen.
"Masih adanya pelarangan terhadap kegiatan ilmiah yang membatasi kebebasan akademik itu tentunya sangat disayangkan, padahal kegiatan-kegiatan tersebut mengasah critical thinking sivitas akademika kampus. Jangan lupa orde baru berhasil ditumbangkan juga karena berawal dari kegiatan-kegiatan yang bersifat critical thinking," ujar lulusan Universitas Leiden itu.
Herlambang menduga pelarangan kegiatan ilmiah dikarenakan aturan dan implementasi perlindungan kebebasan akademik di Indonesia secara hukum masih lemah.
"Selain itu, karena masih bertahannya warisan otoritarianisme orde baru, komersialisme pendidikan yang menyebabkan korporatisme pendidikan yang membuahkan pendisiplinan atau bahkan pemecatan," ujarnya.
Jika dulu saat orde baru pelarangan didominasi aparat negara, maka pasca jatuhnya orde baru karakter ancaman kebebasan akademik karena tekanan pasar yang disponsori oleh negara, serta menguatnya kelompok paramiliter sehingga memberangus kebebasan akademik.
Pembicara kedua, Mirza Satria Buana, menyoroti pelaksanaan HAM di Indonesia, yang menurutnya yang belum menunjukkan perkembangan yang baik karena pandangan developmentalis yang mengutamakan kestabilan ekonomi dan politik, dibandingkan dengan penerapan nilai dan norma HAM serta pembangunan hukum masih kuat mendominasi.
"Indonesia masih menghadapi instabilitas politik, sistem presidensial minoritas dan menguatnya oligarki di tingkat pusat hingga daerah sehingga penuntasan berbagai kasus HAM beserta internalisasi norma HAM masih jalan di tempat," katanya.
Mirza juga mengingatkan ancaman disintegrasi, sentimen rasis serta paham populisme sebagai ideologi, serta bangkitnya politisi Orde Baru sebagai hal yang wajib diwaspadai. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Menurut Ketua CHRM2 Unej Al-Khanif, peluncuran buku itu dilandasi kondisi internalisasi pelaksanaan nilai dan norma HAM di Indonesia yang masih belum maksimal dengan permasalahan yang disebabkan oleh realitas politik, kebijakan hukum, dan pengaruh agama, yang menyebabkan internalisasi dan pemajuan HAM di Indonesia menjadi kompleks, bahkan terkesan mundur.
"Di sisi lain, pelaksanaan norma HAM dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, sehingga memaksa negara menetapkan kebijakan politik yang tidak ramah terhadap HAM," katanya.
Ia mengatakan, CHRM2 Unej telah menerbitkan empat buku dan akan terus giat mempromosikan internalisasi HAM melalui berbagai kegiatan, seperti penerbitan buku, seminar dan pelatihan.
Buku Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia merupakan buku terbitan keempat dengan 12 penulis yang menyumbangkan pemikirannya dan terbagi dalam tiga bidang, yakni politik dan HAM, Hukum dan HAM, serta Agama dan HAM.
"Ke depan, kami di CHRM2 ingin meluaskan layanan dengan mulai memberikan layanan advokasi kepada masyarakat,” tutur dosen di Fakultas Hukum Unej yang juga Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM).
Tidak hanya meluncurkan buku, CHRM2 yang merupakan pusat penelitian mengenai HAM, multikulturalisme, serta imigrasi di Kampus Unej itu, sengaja menghadirkan dua pembicara guna memberikan refleksi atas pelaksanaan HAM di Indonesia. Mereka adalah Herlambang P. Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, dan Mirza Satria Buana dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Herlambang yang juga menjadi salah satu kontributor dalam buku Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia memaparkan data dan fakta, di mana penerapan HAM di lingkungan kampus pun masih menghadapi masalah.
"Dari riset yang saya lakukan di 49 lokasi di Indonesia, masih terjadi tekanan terhadap kebebasan akademik, semisal pelarangan seminar dan forum ilmiah, pelarangan buku, pelarangan metode belajar mengajar tertentu, hingga stigmatisasi terhadap ekspresi sivitas akademika," katanya.
Ia menemukan larangan kegiatan ilmiah di kampus terbanyak masih didominasi oleh larangan kegiatan ilmiah yang membahas komunisme, yang mencapai 37 persen.
Sementara itu pihak yang melarang kegiatan ilmiah di kampus masih didominasi oleh kepolisian sebanyak 48 persen, kelompok tertentu sebanyak 38 persen, serta pihak militer dan pihak internal kampus pada angka 6 persen.
"Masih adanya pelarangan terhadap kegiatan ilmiah yang membatasi kebebasan akademik itu tentunya sangat disayangkan, padahal kegiatan-kegiatan tersebut mengasah critical thinking sivitas akademika kampus. Jangan lupa orde baru berhasil ditumbangkan juga karena berawal dari kegiatan-kegiatan yang bersifat critical thinking," ujar lulusan Universitas Leiden itu.
Herlambang menduga pelarangan kegiatan ilmiah dikarenakan aturan dan implementasi perlindungan kebebasan akademik di Indonesia secara hukum masih lemah.
"Selain itu, karena masih bertahannya warisan otoritarianisme orde baru, komersialisme pendidikan yang menyebabkan korporatisme pendidikan yang membuahkan pendisiplinan atau bahkan pemecatan," ujarnya.
Jika dulu saat orde baru pelarangan didominasi aparat negara, maka pasca jatuhnya orde baru karakter ancaman kebebasan akademik karena tekanan pasar yang disponsori oleh negara, serta menguatnya kelompok paramiliter sehingga memberangus kebebasan akademik.
Pembicara kedua, Mirza Satria Buana, menyoroti pelaksanaan HAM di Indonesia, yang menurutnya yang belum menunjukkan perkembangan yang baik karena pandangan developmentalis yang mengutamakan kestabilan ekonomi dan politik, dibandingkan dengan penerapan nilai dan norma HAM serta pembangunan hukum masih kuat mendominasi.
"Indonesia masih menghadapi instabilitas politik, sistem presidensial minoritas dan menguatnya oligarki di tingkat pusat hingga daerah sehingga penuntasan berbagai kasus HAM beserta internalisasi norma HAM masih jalan di tempat," katanya.
Mirza juga mengingatkan ancaman disintegrasi, sentimen rasis serta paham populisme sebagai ideologi, serta bangkitnya politisi Orde Baru sebagai hal yang wajib diwaspadai. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018