Tuban (Antaranews Jatim) - Sejumlah ibu-ibu dengan duduk berselonjor di lantai memainkan kayu di atas peralatan tenun yang dipenuhi dengan benang lawe.

Dari gerakan yang yang hampir sama para ibu-ibu dalam memainkan peralatan kayu di pangkuannya itu terdengar bersahut-sahutan  suara dok bergantian dari bambu yang disebut "kemplongan" yang ada di kanan kirinya saat kayu dirapatkan.

"Di tempat saya ada 15 perajin penenun kain tenun gedog," kata seorang pengelola kerajinan batik gedog di Dusun Kajoran, Desa Margorejo, Kecamatan Kerek, Tuban Nanik Hariningsih dalam perbincangan dengan Antara di kediamannya, Kamis (18/10).

Namun, sebagaimana dijelaskan pemilik UD Mekar Melati Mandiri itu, warga di sekitarnya yang bekerja menjadi penenun kain gedok yang bekerja secara lepas ada sekitar 60 perajin.

Produksi kain tenun gedog yang dihasilkan dari 15 perajin di tempatnya juga perajin tenun kain gedog yang dikerjakan di rumah warga masing-masing kemudian ditampung untuk dipasarkan tidak hanya lokal tapi juga luar negeri, melalui eksportir di Bali.

Namun, sebelumnya kain tenun gedog yang ditampung itu harus menjalani proses panjang karena harus dibatik di kediamannya.

"Kalau jumlah perajin khusus membatik ada sembilan orang," ucap Mohamad Thoha Machsum, suami Nanik Hariningsih menambahkan

Para perajin tenun kain gedog, kata Nanik, sebagian besar yang semuanya wanita sudah berusia lanjut, dan hanya sebagian kecil yang berusia muda.

"Penenun kain gedog di rumah saya yang tetap paling muda usianya 32 tahun," ucap Nanik yang juga Kepala TK Tuna Harapan Desa Jarorejo, Kecamatan Kerek.

Ia semula berpikiran bahwa batik tenun gedog akan punah, karena para perajin kain tenun gedog sebagian besar hanyalah orang tua.

Oleh karena itu, katanya, pada awal merintis batik tenun gedog pada 1998, para perajin kain gedog dikumpulkan diberi pengertian untuk tetap bekerja membuat tenun kain gedog.

"Penenun saya yakinkan bahwa produksinya akan saya beli dengan harga memadai. Ya akhirnya penenun kain tenun gedog masih ada sampai sekarang, bahkan anak-anak muda mulai menyukai menenun kain gedog," kata dia menjelaskan.

Menurut dia, memproses batik tenun gedog membutuhkan waktu yang cukup panjang. Untuk memintal benang lawe untuk satu potong yang siap untuk diproses menjadi kain tenun membutuhkan waktu tiga hari.

Proses menenun  menjadi satu lembar potong kain gedog dengan ukuran 3 meter lebar 90 centimeter membutuhkan waktu tujuh  hari.

"Proses membatiknya membutuhkan waktu juga tujuh hari," ucapnya.

Dari data yang ada di Dusun Kajoran, Desa Margorejo,Kedungrejo, dan Gaji, Kecamatan Kerek, banyak warga yang menanam  kapas yang dimanfaatkan untuk membuat "lawe". Oleh karena itu  kebutuhan kapas untuk pembuatan kain tenun gedog tidak pernah ada masalah.

Begitu pula dalam pewarnaan, menurut Nanik,  semua bahannya produksi lokal dari bahan alami berbagai macam jenis pohon.

"Saya memadukan pewarnaan alami dan sentetis untuk batik tenun gedog," ujarnya.

Untuk warna biru memanfaatkan daun indigo yang bertumbuhan di wilayah setempat. Sedangkan warna coklat bisa memanfaatkan kulit kayu mahoni, tinggi, secang jaranan yang tidak sulit di dapat di berbagai tempat.

Dengan kekhasan batik gedog yang tradisional itulah, semakin tahun keberadaannya diburu pembeli lokal dan luar negeri, di antaranya Jepang dan Belanda.

"Pembeli batik tenun gedog dari luar negeri seperti Jepang dan Belanda. Kalau di Bali harganya bisa mencapai Rp15 juta per potongnya," ucapnya.

Di tempatnya harga kain tenun gedog polos tanpa warna Rp300 ribu/lembar, tapi kalau sudah ada pola batiknya bisa mencapai Rp1,5 juta/lembar. Untuk produksi batik ia mematok mulai Rp70 ribu/lembar hingga untuk batik tulis halus seharga Rp400 ribu/lembar.

Ia memperkirakan omzet batik tenun gedog produksinya rata-rata bisa mencapai Rp80 juta/bulan, baik yang dibeli pembeli lokal maupun dikirim ke Bali.

"Saya rata-rata bisa memasarkan batik tenun gedog sekitar 300 lembar per bulan ke Bali. Dalam waktu dekat ini ada wisatawan manca negara (wisman) yang akan datang ke tempat saya untuk mempelajari proses batik tenun gedog," kata dia menjelaskan.  

Mengembangkan Batik Gedog
Dalam mengembangkan batik tenun gedog, sebagaimana diutarakan Nanik, bukanlah tanpa kesulitan, karena harus mengawali dengan modal sendiri sebesar Rp500 ribu sejak 1998.

"Saya belum pernah mengambil pinjaman di bank dalam mengembangkan usaha batik tenun gedog. Saya pernah mencoba meminjam di bank tapi gagal," kata dia menjelaskan.

Oleh karena itu, ia  lebih memilih memanfaatkan modal sendiri, selain memperoleh pinjaman uang dari PT Semen Indonesia, di Tuban, untuk pengembangan batik gedog.

Pinjaman di PT Semen Indonesia di Tuban, yang pernah dilakukan mulai terendah Rp20 juta sampai tertinggi Rp100 juta dengan bunga yang sangat rendah.  Hal itu dilakukan apabila  memperoleh pesanan batik dengan jumlah banyak, sedangkan modal yang dimiliki tidak mencukupi.

"Saya bisa membatik secara otodidak melihat orang tua saya yang juga bisa membatik," ucapnya.

Ia mengaku dalam membatik tidak menekuni secara langsung, tapi tahu dasar-dasarnya. Namun, Nanik mampu menciptakan karya batik, salah satunya,  motif Batik Gedog Kembang Kluwih Kedelai Kecer, yang sudah didaftarkan di Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia.

Sertifikat hak cipta yang diterima itu, untuk pengajuannya difalisitasi PT Semen Indonesia di Tuban, untuk pengajuan permohonannya tertanggal 13 Agustus 2015.

"Kalau motif batik karya saya cukup banyak bisa ribuan. Yang saya daftarkan untuk memperoleh hak cipta hanya satu motif," kata dia menjelaskan.

Menjawab pertanyaan, ia optimistis batik tenun gedog akan tetap bertahan, sebab proses regenerasi membatik di sejumlah desa di Kecamatan Kerek, yang menjadi sentra kerajinan batik berjalan dengan baik.

"Sejak TK, sampai SLTA anak-anak secara alamiah belajar membatik. Bahkan, kalau pada hari libur anak-anak ikut membatik dan memperoleh uang. Kami tidak mempekerjakan anak-anak lho ya," tuturnya.

Yang jelas, sebagaimana disampaikan Nanik, motif batik karyanya tidak meninggalkan khas batik Tuban, yaitu gambar burung Hong dengan perpaduan corak "ririnan" mirip dedaunan.

"Saya mencipta motif batik berusaha berbeda dengan motif batik yang sudah ada. Saya memilih pola klasik agar berbeda dengan motif batik lainnya," ucapnya.

Ia berpendapat pengertian batik gedog yaitu batik tenun gedog, sedangkan batik lainnya produksi yang tidak memanfaatkan kain tenun gedog, bukan batik gedog.

"Tapi motifnya tetap batik gedog," ujarnya.

Dalam buku "Batik Fabled Cloth of Java" karangan Inger McCabe Elliot tertulis, ada kemiripan batik gedog Tuban dengan batik Cirebon, yang tumbuh pertengahan abad XIX. Kemiripan ini terjadi pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan.

Perbedaannya, batik gedog Tuban tetap bertahan dan terus berkembang dengan warna khas nila, kegelap-gelapan. Sedangkan batik Cirebon, mengalami perubahan, karena adanya perubahan Kota Cirebon sendiri dalam berbagai bidang.

Gambar burung pada motif batik tulis Tuban, sangat kuat dipengaruhi budaya Tiongkok, dengan adanya gambar burung Hong yang tidak ada di Tuban.

Melihat kiprah Nanik tidak terlalu berlebihan dalam acara pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank Annual Meetings di Nusa Dua Bali, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.

"Karena itu peran perempuan dalam sebuah pekerjaan harus ditingkatkan," ujarnya. (*)

Video Oleh Slamet Agus Sudarmojo
 

Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018