Surabaya (Antaranews Jatim) - Badan Pembentukan Perda (BPP) DPRD Kota Surabaya mulai membahas rencana revisi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai besaran pajaknya memberatkan warga Kota Surabaya, Jatim.
"Rapat internal BPP sudah dilaksanakan, targetnya tarif PBB harus disesuaikan berdasar kondisi jenis pemanfaatan lahan dan bangunan," kata Ketua BPP DPRD Kota Surabaya, Moch Machmud di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, saat ini banyak masyarakat Surabaya yang mengeluh karena besaran kenaikan tarif PBB yang diterapkan Pemerintah Kota Surabaya dinilai besar.
"Saya sudah cek di lapangan, di kawasan Surabaya Barat itu PBB untuk lahan yang dimanfaatkan sebagai apartemen dan rumah mewah disamakan dengan PBB untuk warga asli yang rumahnya sederhana. Ini kan tidak adil meskipun berada di kawasan yang sama," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, saat reses beberapa waktu lalu, ia mengaku mendapat banyak keluhan dari masyarakat terkait soal besaran tarif PBB ini seperti halnya warga di Kendungrejo, Gadel, Sambikerep, Lontar dan sekitarnya.
"Warga setempat mengaku kaget sebab kalau sebelumnya membayar PBB hanya sebesar Rp800 ribu, tiba-tiba tahun berikutnya tarifnya melonjak menjadi Rp3 juta," ujarnya.
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan ini tidak hanya terjadi di wilayah Surabaya barat saja tetapi juga berlaku di kawasan lainnya. Untuk itu, kata dia, perda lama yang mengatur PBB ini harus direvisi secepatnya.
Machmud mengatakan pihaknya beberapa kali sudah melakukan rapat terkait rencana revisi perda PBB dengan mengundang Kabag Hukum Pemkot Surabaya Ira Tursilowati dan Dewan Pakar DPRD Kota Surabaya.
Rencananya, kata dia, pada Jumat (28/9), BPP kembali mengagendakan rapat terkait revisi perda PBB ini dengan mengundang Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Yusron Sumartono dan komisi B DPRD Surabaya yang mengusulkan revisi perda ini.
"Nantinya kalau draf sudah final, raperda ini akan dibawa ke rapat paripurna. Kalau sudah disetujui di rapat paripurna, draf perda ini akan dikirim ke wali kota. Bila wali kota berkenan ada revisi besaran tarif PBB ini, maka draf tersebut akan dikembalikan ke DPRD," ujarnya.
Hanya saja belum tentu isi kalimat di draf tersebut akan disetujui oleh Wali Kota Surabaya. Kalau tidak disetujui, kata Machmud, maka raperda revisi perda ini tidak dikembalikan ke DPRD.
Sebaliknya kalau disetujui maka selanjutnya ketua DPRD Surabaya akan menunjuk panitian khusus (pansus) yang ditugasi untuk membahas masalah ini. Bisa jadi pansusnya diserahkan ke komisi B yang mengusulkan adanya revisi perda ini atau komisi yang lainnya.
"Kami ingin agar tarif PBB ini tidak mahal tetapi yang pro rakyat. Kasihan warga kecil," ujarnya.
Anggota Fraksi PKS DPRD Surabaya Achmad Zakaria sebelumnya mengatakan usulan perubahan perda PBB yang diprakarsainya tersebut dikarenakan masyarakat keberatan terhadap kebijakan Pemkot Surabaya yang menaikkan NJOP PBB setiap tahun dengan alasan pembangunan.
Namun, lanjut dia, NJOP rumah tinggal di kampung dan permukiman yang ada di sekitar objek yang ada pembangunan seperti halnya hotel baru, jalan baru, mal baru dan lainnya juga ikut naik.
Ia mencontohknya jika NJOP semula dibawah Rp1 miliar, terus dinaikkan pemkot menjadi diatas Rp1 miliar, maka PBB-nya naik drastis bisa dua-tiga kali lipat karena tarif pajaknya naik dari 0,1 persen ke 0,2 persen.
"Hal ini yang memberatkan masyarakat," kata anggota Komisi B DPRD Surabaya ini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Rapat internal BPP sudah dilaksanakan, targetnya tarif PBB harus disesuaikan berdasar kondisi jenis pemanfaatan lahan dan bangunan," kata Ketua BPP DPRD Kota Surabaya, Moch Machmud di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, saat ini banyak masyarakat Surabaya yang mengeluh karena besaran kenaikan tarif PBB yang diterapkan Pemerintah Kota Surabaya dinilai besar.
"Saya sudah cek di lapangan, di kawasan Surabaya Barat itu PBB untuk lahan yang dimanfaatkan sebagai apartemen dan rumah mewah disamakan dengan PBB untuk warga asli yang rumahnya sederhana. Ini kan tidak adil meskipun berada di kawasan yang sama," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, saat reses beberapa waktu lalu, ia mengaku mendapat banyak keluhan dari masyarakat terkait soal besaran tarif PBB ini seperti halnya warga di Kendungrejo, Gadel, Sambikerep, Lontar dan sekitarnya.
"Warga setempat mengaku kaget sebab kalau sebelumnya membayar PBB hanya sebesar Rp800 ribu, tiba-tiba tahun berikutnya tarifnya melonjak menjadi Rp3 juta," ujarnya.
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan ini tidak hanya terjadi di wilayah Surabaya barat saja tetapi juga berlaku di kawasan lainnya. Untuk itu, kata dia, perda lama yang mengatur PBB ini harus direvisi secepatnya.
Machmud mengatakan pihaknya beberapa kali sudah melakukan rapat terkait rencana revisi perda PBB dengan mengundang Kabag Hukum Pemkot Surabaya Ira Tursilowati dan Dewan Pakar DPRD Kota Surabaya.
Rencananya, kata dia, pada Jumat (28/9), BPP kembali mengagendakan rapat terkait revisi perda PBB ini dengan mengundang Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Yusron Sumartono dan komisi B DPRD Surabaya yang mengusulkan revisi perda ini.
"Nantinya kalau draf sudah final, raperda ini akan dibawa ke rapat paripurna. Kalau sudah disetujui di rapat paripurna, draf perda ini akan dikirim ke wali kota. Bila wali kota berkenan ada revisi besaran tarif PBB ini, maka draf tersebut akan dikembalikan ke DPRD," ujarnya.
Hanya saja belum tentu isi kalimat di draf tersebut akan disetujui oleh Wali Kota Surabaya. Kalau tidak disetujui, kata Machmud, maka raperda revisi perda ini tidak dikembalikan ke DPRD.
Sebaliknya kalau disetujui maka selanjutnya ketua DPRD Surabaya akan menunjuk panitian khusus (pansus) yang ditugasi untuk membahas masalah ini. Bisa jadi pansusnya diserahkan ke komisi B yang mengusulkan adanya revisi perda ini atau komisi yang lainnya.
"Kami ingin agar tarif PBB ini tidak mahal tetapi yang pro rakyat. Kasihan warga kecil," ujarnya.
Anggota Fraksi PKS DPRD Surabaya Achmad Zakaria sebelumnya mengatakan usulan perubahan perda PBB yang diprakarsainya tersebut dikarenakan masyarakat keberatan terhadap kebijakan Pemkot Surabaya yang menaikkan NJOP PBB setiap tahun dengan alasan pembangunan.
Namun, lanjut dia, NJOP rumah tinggal di kampung dan permukiman yang ada di sekitar objek yang ada pembangunan seperti halnya hotel baru, jalan baru, mal baru dan lainnya juga ikut naik.
Ia mencontohknya jika NJOP semula dibawah Rp1 miliar, terus dinaikkan pemkot menjadi diatas Rp1 miliar, maka PBB-nya naik drastis bisa dua-tiga kali lipat karena tarif pajaknya naik dari 0,1 persen ke 0,2 persen.
"Hal ini yang memberatkan masyarakat," kata anggota Komisi B DPRD Surabaya ini. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018