Bayi di bawah umur lima tahun (balita) bernama Agus (3,5) yang menderita gizi buruk dari Desa Dupok, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, belum lama ini, akhirnya meninggal dunia akibat kekurangan asupan gizi.
Tepat hari Selasa, 27 Februari 2017, Agus mengembuskan nafas terakhir di ICU lantai 2 di Rumah sakit Syarifah Ambami Rato Ebuh, Bangkalan. Ia meninggal dunia, setelah sempat dirawat selama dua hari di rumah sakit umum daerah milik Pemkab Bangkalan tersebut.
Hasil analisis dokter menyebutkan, penyakit yang diderita balita Agus, karena yang bersangkutan kekurangan asupan gizi alias menderita gizi buruk. Bayangkan, anak berumur 3,5 tahun tersebut hanya memiliki berat badan 9 kilogram. Padahal dengan umur 3,5 tahun seperti itu, seharusnya berat badan ideal sang balita antara 12,5 hingga 15,30 kilogram.
Kasus gizi buruk yang menimpa anak dari pasangan Naimah dan Ahmad ini merupakan satu dari ribuan anak yang menderita kasus gizi buruk di wilayah itu.
Berdasarkan data yang dirilis Dinkes Jawa Timur belum lama ini menyebutkan, Kabupaten Bangkalan termasuk enam kabupaten di Jawa Timur dengan angka gizi buruk tinggi.
Jumlah penderita gizi buruk di kabupaten paling barat di Pulau Garam Madura itu, tercatat sebanyak 3.247 balita, Kabupaten Probolinggo sebanyak 4.657 balita, Lamongan 4.403 balita, Sumenep sebanyak 3.319 balita, Sampang sebanyak 3.537 balita, dan Jember sebanyak 8.035 balita.
Banyaknya warga yang menderita kasus gizi buruk ini, berbanding lurus dengan kasus kekerdilan atau stunting.
Sebab, berdasarkan rilis dari Kepala Biro Humas Pemprov Jatim Benny Sampir Wanto belum lama ini menyebutkan, bahwa di daerah Jawa timur masih terdapat enam daerah dengan balita paling parah mengalami gizi buruk kronis, yaitu Sumenep, Sampang, Probolinggo, Lamongan, Jember, dan Bangkalan.
Jawa Timur dengan angka katai tinggi atau prevalensi lebih 40 persen hingga 44 persen. Lima daerah yang masih dalam data Pemprov Jatim dengan kasus katai tinggi itu adalah Kabupaten Jember, Sumenep, dan Bangkalan. Perinciannya, persentase katai di Kabupaten Jember sebesar 39,2 persen, Sumenep 32,5 persen dan Bangkalan sebesar 32,1 persen.
Dua daerah lain, yakni Kabupaten Probolinggo dan Lamongan dengan perincian, Probolinggo sebesar 25,5 persen dan Lamongan 25,2 persen.
Kurangnya Pengetahuan
Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Bangkalan Muzakki menjelaskan, kasus gizi buruk yang menimpa sejumlah balita di kabupaten itu, umumnya bukan karena faktor kemiskinan, akan tetapi juga disebabkan karena kurangnya kesadaran orang tua akan asupan gizi.
Di sebagian masyarakat, khusus di perdesaan, kebutuhan gizi balita, terutama saat bayi di dalam kandungan kurang diperhatikan, sehingga tidak sedikit bayi lahir sudah dalam keadaan kurang sehat.
Padahal kebutuhan asupan gizi, bukan saat setelah lahir saja, akan tetapi juga saat dalam kandungan.
Dinkes Bangkalan, sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dan program untuk mengatasi permasalah tersebut. Salah satunya melalui kegiatan pos pelaayanan terpadu ke pelosok-pelosok desa yang digelar secara rutin setiap seminggu sekali.
Dinkes juga membentuk kader posyandu di masing-masing desa yang tersebar di 281 desa/kelurahan di 18 kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Tujuannya untuk memberikan penyadaran akan pentingnya asupan gizi dan menjaga pola hidup sehat sebagai ibu-ibu hamil dan balita di wilayah itu.
Upaya Pemerintah
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan hendak meningkatkan program gizi seimbang serta menyiapkan total anggaran sekitar Rp60 triliun untuk 12 kementerian/lembaga yang terlibat penanganan katai dan gizi buruk.
Hal ini dimaksudkan, karena kasus kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan. Dimulai pada masa awal kehamilan. Gejala katai baru tampak setelah anak berusia dua tahun.
Apalagi, kasus katai akan berdampak pada tingkat kecerdasan anak yang biasanya mengalami penurunan, kerentanan terhadap penyakit, dan penurunan produktivitas.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Puan Maharani, kerangka penanganan katai terbagi menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Kedua hal ini membutuhkan kerja sama pemerintah pusat dengan peran pemda dalam bentuk edukasi dan sosialisasi, makanan tambahan, suplemen, imunisasi, infrastruktur air bersih, infrastruktur sanitasi, dan bantuan keluarga miskin.
Program ini diharapkan bisa terwujud secara integratif pula di berbagai daerah di Indonesia, terutama di berbagai kabupaten dengan status kabupaten tertinggal yang jumlah penderita gizi buruk dan kekurangan gizi masih tinggi, termasuk kasus katai atau balita yang mengalami kekerdilan.
Kabupaten Bangkalan, tentu masuk dari sasaran program ini, apalagi, Bangkalan masuk dari enam kabupaten di Jawa Timur dengan angka katai tinggi, selain Jember, Probolinggi dan Kabupaten Sampang.
Program Terintegratif
Menurut Kepala Dinkes Pemkab Bangkalan Muzakki, pihaknya telah mencenangkan program terintegratif dalam bentuk percepatan perbaikan gizi melalui "Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)".
program ini, menekankan akan pentingnya kebutuhan asupan gizi bagi bayi, dan pentingnya memberikan air susu ibu (ASI).
Selain itu, pihaknya juga memberikan perhatian serius pada ibu hamil hingga melahirkan sampai usia bayi mencapai dua tahun.
Hal itu dilakukan, karena saat itu adalah masa pertumbuhan otak bersifat permanen, dan apabila seorang anak mengalami gangguan gizi di masa tersebut bersifat permanen dan tidak dapat pulih walaupun kebutuhan gizi di masa selanjutnya terpenuhi.
Khusus untuk melaksanakan program ini, Dinkes Bangkalan membentuk tim khusus dan pembinaan khusus kepada para bidan yang bertugas di masing-masing desa, baik di posyandu maupun polindes.
Ia menjelaskan, saat ini balita di Kabupaten Bangkalan yang terdata mengalami gizi buruk dan kekurangan gizi sesuai laporan dari masing-masing puskesmas sebanyak 240 orang.
Jumlah ini menurun, mengingat sebelumnya pernah mencapai 392 kasus dan penyebabnya, tidak hanya dari sisi kekurangan gizi saja, akan tetapi melibatkan banyak faktor.
Antara lain faktor kemiskinan, pola asuh anak yang salah, serta faktor pengetahuan orang tua dalam merawat anak. Faktor kemiskinan yang menyebabkan balita mengalami kekurangan gizi dan gizi buruk mencapi 31,6 persen, faktor pengetahuan ibu 29,4 persen, faktor pola asuhan yang salah, yaitu 18, 4 persen.
Faktor lainnya seperti berat badan lahir rendah sebanyak 4,4 persen faktor sakit, yakni 16,2 persen, dan untuk faktor lain tersebut, selain dari sisi kesehatan, kini pemkab telah membuat program pendukung, seperti bantuan untuk keluarga miskin, dan program keluarga harapan (PKH).
Kepala Dinkes Bangkalan yakin, dengan adanya program terintegratif yang didukung oleh dinas-dinas lain tersebut, pihaknya yakin, kasus gizi buruk dan katai di Kabupaten Bangkalan dalam waktu dekat bisa segera teratasi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Tepat hari Selasa, 27 Februari 2017, Agus mengembuskan nafas terakhir di ICU lantai 2 di Rumah sakit Syarifah Ambami Rato Ebuh, Bangkalan. Ia meninggal dunia, setelah sempat dirawat selama dua hari di rumah sakit umum daerah milik Pemkab Bangkalan tersebut.
Hasil analisis dokter menyebutkan, penyakit yang diderita balita Agus, karena yang bersangkutan kekurangan asupan gizi alias menderita gizi buruk. Bayangkan, anak berumur 3,5 tahun tersebut hanya memiliki berat badan 9 kilogram. Padahal dengan umur 3,5 tahun seperti itu, seharusnya berat badan ideal sang balita antara 12,5 hingga 15,30 kilogram.
Kasus gizi buruk yang menimpa anak dari pasangan Naimah dan Ahmad ini merupakan satu dari ribuan anak yang menderita kasus gizi buruk di wilayah itu.
Berdasarkan data yang dirilis Dinkes Jawa Timur belum lama ini menyebutkan, Kabupaten Bangkalan termasuk enam kabupaten di Jawa Timur dengan angka gizi buruk tinggi.
Jumlah penderita gizi buruk di kabupaten paling barat di Pulau Garam Madura itu, tercatat sebanyak 3.247 balita, Kabupaten Probolinggo sebanyak 4.657 balita, Lamongan 4.403 balita, Sumenep sebanyak 3.319 balita, Sampang sebanyak 3.537 balita, dan Jember sebanyak 8.035 balita.
Banyaknya warga yang menderita kasus gizi buruk ini, berbanding lurus dengan kasus kekerdilan atau stunting.
Sebab, berdasarkan rilis dari Kepala Biro Humas Pemprov Jatim Benny Sampir Wanto belum lama ini menyebutkan, bahwa di daerah Jawa timur masih terdapat enam daerah dengan balita paling parah mengalami gizi buruk kronis, yaitu Sumenep, Sampang, Probolinggo, Lamongan, Jember, dan Bangkalan.
Jawa Timur dengan angka katai tinggi atau prevalensi lebih 40 persen hingga 44 persen. Lima daerah yang masih dalam data Pemprov Jatim dengan kasus katai tinggi itu adalah Kabupaten Jember, Sumenep, dan Bangkalan. Perinciannya, persentase katai di Kabupaten Jember sebesar 39,2 persen, Sumenep 32,5 persen dan Bangkalan sebesar 32,1 persen.
Dua daerah lain, yakni Kabupaten Probolinggo dan Lamongan dengan perincian, Probolinggo sebesar 25,5 persen dan Lamongan 25,2 persen.
Kurangnya Pengetahuan
Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Bangkalan Muzakki menjelaskan, kasus gizi buruk yang menimpa sejumlah balita di kabupaten itu, umumnya bukan karena faktor kemiskinan, akan tetapi juga disebabkan karena kurangnya kesadaran orang tua akan asupan gizi.
Di sebagian masyarakat, khusus di perdesaan, kebutuhan gizi balita, terutama saat bayi di dalam kandungan kurang diperhatikan, sehingga tidak sedikit bayi lahir sudah dalam keadaan kurang sehat.
Padahal kebutuhan asupan gizi, bukan saat setelah lahir saja, akan tetapi juga saat dalam kandungan.
Dinkes Bangkalan, sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dan program untuk mengatasi permasalah tersebut. Salah satunya melalui kegiatan pos pelaayanan terpadu ke pelosok-pelosok desa yang digelar secara rutin setiap seminggu sekali.
Dinkes juga membentuk kader posyandu di masing-masing desa yang tersebar di 281 desa/kelurahan di 18 kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Tujuannya untuk memberikan penyadaran akan pentingnya asupan gizi dan menjaga pola hidup sehat sebagai ibu-ibu hamil dan balita di wilayah itu.
Upaya Pemerintah
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan hendak meningkatkan program gizi seimbang serta menyiapkan total anggaran sekitar Rp60 triliun untuk 12 kementerian/lembaga yang terlibat penanganan katai dan gizi buruk.
Hal ini dimaksudkan, karena kasus kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan. Dimulai pada masa awal kehamilan. Gejala katai baru tampak setelah anak berusia dua tahun.
Apalagi, kasus katai akan berdampak pada tingkat kecerdasan anak yang biasanya mengalami penurunan, kerentanan terhadap penyakit, dan penurunan produktivitas.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Puan Maharani, kerangka penanganan katai terbagi menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Kedua hal ini membutuhkan kerja sama pemerintah pusat dengan peran pemda dalam bentuk edukasi dan sosialisasi, makanan tambahan, suplemen, imunisasi, infrastruktur air bersih, infrastruktur sanitasi, dan bantuan keluarga miskin.
Program ini diharapkan bisa terwujud secara integratif pula di berbagai daerah di Indonesia, terutama di berbagai kabupaten dengan status kabupaten tertinggal yang jumlah penderita gizi buruk dan kekurangan gizi masih tinggi, termasuk kasus katai atau balita yang mengalami kekerdilan.
Kabupaten Bangkalan, tentu masuk dari sasaran program ini, apalagi, Bangkalan masuk dari enam kabupaten di Jawa Timur dengan angka katai tinggi, selain Jember, Probolinggi dan Kabupaten Sampang.
Program Terintegratif
Menurut Kepala Dinkes Pemkab Bangkalan Muzakki, pihaknya telah mencenangkan program terintegratif dalam bentuk percepatan perbaikan gizi melalui "Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)".
program ini, menekankan akan pentingnya kebutuhan asupan gizi bagi bayi, dan pentingnya memberikan air susu ibu (ASI).
Selain itu, pihaknya juga memberikan perhatian serius pada ibu hamil hingga melahirkan sampai usia bayi mencapai dua tahun.
Hal itu dilakukan, karena saat itu adalah masa pertumbuhan otak bersifat permanen, dan apabila seorang anak mengalami gangguan gizi di masa tersebut bersifat permanen dan tidak dapat pulih walaupun kebutuhan gizi di masa selanjutnya terpenuhi.
Khusus untuk melaksanakan program ini, Dinkes Bangkalan membentuk tim khusus dan pembinaan khusus kepada para bidan yang bertugas di masing-masing desa, baik di posyandu maupun polindes.
Ia menjelaskan, saat ini balita di Kabupaten Bangkalan yang terdata mengalami gizi buruk dan kekurangan gizi sesuai laporan dari masing-masing puskesmas sebanyak 240 orang.
Jumlah ini menurun, mengingat sebelumnya pernah mencapai 392 kasus dan penyebabnya, tidak hanya dari sisi kekurangan gizi saja, akan tetapi melibatkan banyak faktor.
Antara lain faktor kemiskinan, pola asuh anak yang salah, serta faktor pengetahuan orang tua dalam merawat anak. Faktor kemiskinan yang menyebabkan balita mengalami kekurangan gizi dan gizi buruk mencapi 31,6 persen, faktor pengetahuan ibu 29,4 persen, faktor pola asuhan yang salah, yaitu 18, 4 persen.
Faktor lainnya seperti berat badan lahir rendah sebanyak 4,4 persen faktor sakit, yakni 16,2 persen, dan untuk faktor lain tersebut, selain dari sisi kesehatan, kini pemkab telah membuat program pendukung, seperti bantuan untuk keluarga miskin, dan program keluarga harapan (PKH).
Kepala Dinkes Bangkalan yakin, dengan adanya program terintegratif yang didukung oleh dinas-dinas lain tersebut, pihaknya yakin, kasus gizi buruk dan katai di Kabupaten Bangkalan dalam waktu dekat bisa segera teratasi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018