Bojonegoro (Antaranews Jatim) - Menu kuliner belut bakar milik Eko Matkhoiri (34) di Desa Bendo, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, sudah terbukti diminati berbagai kalangan, bahkan sejumlah menteri pernah ikut menikmati gurihnya belut bakar di warungnya.
Warung dengan menu andalan belut bakar itu bernama "Waroeng Pondok Salak", karena di kawasan warung itu dipenuhi dengan pohon salak.
"Menteri yang makan disini banyak, salah satunya mantan Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar, termasuk Dessy Anwar juga pernah makan disini," kata dia dalam perbicangan dengan Antaranews Jatim, di Bojonegoro, Rabu (24/1).
Penikmat belut bakar di warungnya, sebagaimana disampaikan Eko, tidak ada yang mencela, bahkan Abdul Malik Fadjar justru menceramahi yang ikut bersama makan bahwa ijasah tidak mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan usaha untuk berbisnis.
"Saya berjualan belut bakar ya sekitar tahun 2012, tetapi sebelum itu di keluarga kami berjualan nasi pecel untuk melayani tetangga juga petani," ujarnya.
Pada awal merintis berjualan belut bakar, katanya, hanya mampu menjual 0,25 kilogram belut untuk dipepes. Tapi, sekarang dengan menu belut bakar juga digoreng rata-rata bisa mencapai 50 kilogram per hari.
Pembelinya, lanjut dia, tidak hanya warga lokal, tapi juga Gresik, Lamongan dan Surabaya, padahal untuk mencapai lokasi "waroeng Pondok Salak" bukan pekerjaan mudah, karena harus masuk ke pelosok perkampungan.
Kepada keluarganya juga para pekerja, ia menyampaikan di dalam melayani pembeli harus semaksimal mungkin, sebab untuk mencapai lokasi warung setempat bukan pekerjaan mudah.
"Selalu saya tekankan kalau orang bersusah payah datang untuk makan disini, ya kita harus memberikan pelayanan semaksimal mungkin," ucapnya menegaskan.
Salah satu bentuk pelayanannya, antara lain, di lokasi masuk warung selalu tersedia buah-buahan bisa pisang, atau salak yang bisa diambil gratis pengunjung.
Mengenai bahan baku belut, menurut dia, tidak sulit diperoleh karena sudah ada pedagang pemasok belut liar yang datang, tetapi kalau musim kemarau biasanya pasokan belut berkurang.
"Belut yang dipasok kesini semuanya belut liar tidak ada yang hasil ternak. Bahkan, saya ditawari belut liar asal Kalimatan tidak mau, sebab rasanya kalah dengan belut liar di Bojonegoro dan sekitarnya," kata dia menjelaskan.
Belut Sawah
Menurut dia, belut liar yang diperoleh pencari belut di areal persawahan juga tempat lainnya, rasanya berbeda dibandingkan dengan belut peliharaan yang biasa dijual di pasar.
"Belut liar rasa dagingnya gurih dan 'keset', tapi kalau belut peliharaan dagingnya 'mblenyek'," jelasnya.
Meracik menu belut bakar, menurut Eko, prosesnya tidak sulit yaitu belut dibakar di atas bara api dari kayu, kemudian dipotong-potong, baru kemudian digoreng.
Ia beralasan belut yang dibakar rasa amisnya akan hilang, selain aromanya juga berbeda, jika dibandingkan dengan belut yang hanya digoreng.
"Tapi kami juga menyediakan belut goreng, bagi pembeli yang tidak suka belut bakar," ucapnya.
Ditanya kemungkinan belut liar di persawahan habis, menurut Eko, bisa saja terjadi, karena belut sawah akan sulit berkembang kalau di sawah dipenuhi dengan pupuk organik.
Selain itu, di warung setempat juga tersedia menu lainnya, antara lain, gurami bakar/goreng, kare, juga makanan yang lainnya.
"Saya sekarang melengkapi minuman khas yaitu beras mener dengan harga Rp3.000 per gelas," ucapnya.
Pelengkap menu belut bakar di warung setempat yaitu sambal terasi dengan lalapan kemangi dan tambahan lauk kerupuk. Menyantap menu belut bakar, juga bisa dilakukan langsung di dalam warung, juga bisa memilih tempat lainnya, dengan duduk lesehan di antara kebun salak.
Di warung setempat, harga menu belut bakar, sudah termasuk nasi yang ditempatkan di bakul bambu dan sambal terasi lengkap dengan kemangi, ditambah minuman hanya Rp16 ribu/porsi."Tapi kalau gurami Rp60.000/porsi, sebab guraminya besar bisa dimakan orang empat," katanya.
Warung belut bakar itu lokasinya berada di pelosok pedesaan, sejauh sekitar 8 kilometer dari Kota Bojonegoro, sehingga untuk menemukan warung belut bakar itu tidak mudah.
Tidak ada petunjuk pasti lokasi "waroeng Pondok Salak", tapi kalau sudah mencapai Pasar Mojoranu, Kecamatan Dander, warga di daerah setempat dengan ramah akan memberi tahu lokasi warung belut bakar.
"Saya sengaja tidak memasang gapura besar-besar, agar pengunjung bisa berkomunikasi dengan masyarakat," ucapnya menambahkan.
Meski demikian pengunjung yang datang ke warung setempat tidak hanya perseorang atau keluarga, bahkan bisa berombongan baik dari warga lokal maupun luar daerah. Tidak bisa dihitung Bupati Bojonegoro Suyoto selalu membawa tamunya dari Jakarta, juga Jawa Timur, untuk makan bersama menyantap gurihnya belut bakar di "Waroeng Pondok Salak".
Untuk menunjang pengembangan warungnya, sebagaimana dikatakan Eko, dirinya mengembangkan berbagai aneka tanaman di sekitar warung hasil pembenihannya sendiri, mulai tanaman obat-obatan, juga buah-buahan yang bisa dibeli pengunjung.
"Harapan saya lokasi warung saya tidak hanya sebatas untuk makan, tetapi juga bisa lokasi wisata bagi warga yang jenuh dengan kebisingan kota," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Warung dengan menu andalan belut bakar itu bernama "Waroeng Pondok Salak", karena di kawasan warung itu dipenuhi dengan pohon salak.
"Menteri yang makan disini banyak, salah satunya mantan Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar, termasuk Dessy Anwar juga pernah makan disini," kata dia dalam perbicangan dengan Antaranews Jatim, di Bojonegoro, Rabu (24/1).
Penikmat belut bakar di warungnya, sebagaimana disampaikan Eko, tidak ada yang mencela, bahkan Abdul Malik Fadjar justru menceramahi yang ikut bersama makan bahwa ijasah tidak mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan usaha untuk berbisnis.
"Saya berjualan belut bakar ya sekitar tahun 2012, tetapi sebelum itu di keluarga kami berjualan nasi pecel untuk melayani tetangga juga petani," ujarnya.
Pada awal merintis berjualan belut bakar, katanya, hanya mampu menjual 0,25 kilogram belut untuk dipepes. Tapi, sekarang dengan menu belut bakar juga digoreng rata-rata bisa mencapai 50 kilogram per hari.
Pembelinya, lanjut dia, tidak hanya warga lokal, tapi juga Gresik, Lamongan dan Surabaya, padahal untuk mencapai lokasi "waroeng Pondok Salak" bukan pekerjaan mudah, karena harus masuk ke pelosok perkampungan.
Kepada keluarganya juga para pekerja, ia menyampaikan di dalam melayani pembeli harus semaksimal mungkin, sebab untuk mencapai lokasi warung setempat bukan pekerjaan mudah.
"Selalu saya tekankan kalau orang bersusah payah datang untuk makan disini, ya kita harus memberikan pelayanan semaksimal mungkin," ucapnya menegaskan.
Salah satu bentuk pelayanannya, antara lain, di lokasi masuk warung selalu tersedia buah-buahan bisa pisang, atau salak yang bisa diambil gratis pengunjung.
Mengenai bahan baku belut, menurut dia, tidak sulit diperoleh karena sudah ada pedagang pemasok belut liar yang datang, tetapi kalau musim kemarau biasanya pasokan belut berkurang.
"Belut yang dipasok kesini semuanya belut liar tidak ada yang hasil ternak. Bahkan, saya ditawari belut liar asal Kalimatan tidak mau, sebab rasanya kalah dengan belut liar di Bojonegoro dan sekitarnya," kata dia menjelaskan.
Belut Sawah
Menurut dia, belut liar yang diperoleh pencari belut di areal persawahan juga tempat lainnya, rasanya berbeda dibandingkan dengan belut peliharaan yang biasa dijual di pasar.
"Belut liar rasa dagingnya gurih dan 'keset', tapi kalau belut peliharaan dagingnya 'mblenyek'," jelasnya.
Meracik menu belut bakar, menurut Eko, prosesnya tidak sulit yaitu belut dibakar di atas bara api dari kayu, kemudian dipotong-potong, baru kemudian digoreng.
Ia beralasan belut yang dibakar rasa amisnya akan hilang, selain aromanya juga berbeda, jika dibandingkan dengan belut yang hanya digoreng.
"Tapi kami juga menyediakan belut goreng, bagi pembeli yang tidak suka belut bakar," ucapnya.
Ditanya kemungkinan belut liar di persawahan habis, menurut Eko, bisa saja terjadi, karena belut sawah akan sulit berkembang kalau di sawah dipenuhi dengan pupuk organik.
Selain itu, di warung setempat juga tersedia menu lainnya, antara lain, gurami bakar/goreng, kare, juga makanan yang lainnya.
"Saya sekarang melengkapi minuman khas yaitu beras mener dengan harga Rp3.000 per gelas," ucapnya.
Pelengkap menu belut bakar di warung setempat yaitu sambal terasi dengan lalapan kemangi dan tambahan lauk kerupuk. Menyantap menu belut bakar, juga bisa dilakukan langsung di dalam warung, juga bisa memilih tempat lainnya, dengan duduk lesehan di antara kebun salak.
Di warung setempat, harga menu belut bakar, sudah termasuk nasi yang ditempatkan di bakul bambu dan sambal terasi lengkap dengan kemangi, ditambah minuman hanya Rp16 ribu/porsi."Tapi kalau gurami Rp60.000/porsi, sebab guraminya besar bisa dimakan orang empat," katanya.
Warung belut bakar itu lokasinya berada di pelosok pedesaan, sejauh sekitar 8 kilometer dari Kota Bojonegoro, sehingga untuk menemukan warung belut bakar itu tidak mudah.
Tidak ada petunjuk pasti lokasi "waroeng Pondok Salak", tapi kalau sudah mencapai Pasar Mojoranu, Kecamatan Dander, warga di daerah setempat dengan ramah akan memberi tahu lokasi warung belut bakar.
"Saya sengaja tidak memasang gapura besar-besar, agar pengunjung bisa berkomunikasi dengan masyarakat," ucapnya menambahkan.
Meski demikian pengunjung yang datang ke warung setempat tidak hanya perseorang atau keluarga, bahkan bisa berombongan baik dari warga lokal maupun luar daerah. Tidak bisa dihitung Bupati Bojonegoro Suyoto selalu membawa tamunya dari Jakarta, juga Jawa Timur, untuk makan bersama menyantap gurihnya belut bakar di "Waroeng Pondok Salak".
Untuk menunjang pengembangan warungnya, sebagaimana dikatakan Eko, dirinya mengembangkan berbagai aneka tanaman di sekitar warung hasil pembenihannya sendiri, mulai tanaman obat-obatan, juga buah-buahan yang bisa dibeli pengunjung.
"Harapan saya lokasi warung saya tidak hanya sebatas untuk makan, tetapi juga bisa lokasi wisata bagi warga yang jenuh dengan kebisingan kota," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018