Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali mempertanyakan independensi
lembaga peradilan saat menjadi salah satu penguji disertasi untuk gelar
Doktor anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Adies Kadir di Kampus
Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Sabtu.
Hatta mengatakan butuh waktu 34 tahun bagi lembaga peradilan di Indonesia hingga akhirnya bisa menjadi benar-benar independen seperti sekarang.
Dia merujuk pada perjalanan panjang perundang-undangan tentang Kehakiman di Indonesia.
Setelah era reformasi, dia menerangkan terbit Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor X Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
"Kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan waktu itu luntur karena dugaan intervensi lembaga eksekutif sehingga TAP MPR Nomor X tahun 1998 salah satunya memutuskan perlunya reformasi masalah peradilan," katanya.
Maka, lanjut dia, lahirlah Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
"Dalam UU 35 Tahun 1999 ada satu-dua pasal yang menekankan perlu diundangkan sendiri hal-hal terkait lembaga peradilan yang intinya tidak perlu ada lagi campur tangan dari pihak eksekutif," ujarnya.
Hingga akhirnya lahirlah UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan jajaran harus terpisah dari instansi lain.
"Sejak itulah lembaga peradilan berdiri terpisah, tidak lagi berada di bawah Kementerian Kehakiman seperti di masa sebelumnya karena dikhawatirkan terjadi campur tangan dari pihak eksekutif," katanya.
Persoalannya, Hatta menambahkan, saat ini ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi lembaga peradilan.
"Apakah independensi lembaga peradilan tidak terganggu dengan adanya KY?," ucapnya.
Namum Hatta tidak meminta Adies Kadir untuk menjawab pertanyaan itu dalam sidang disertasinya yang digelar terbuka.
"Ini hanya untuk direnungkan saja. Kebetulan Pak Adies adalah anggota Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum dan juga banyak rekan dari Komisi III DPR RI yang juga hadir di sini," katanya.
Dalam ujian terbuka yang berlangsung selama hampir dua jam itu, Adies Kadir memaparkan disertasinya yang berjudul "Konsep Hakim sebagai Pejabat Negara dalam Perspektif `Ius Constitutum dan `Ius Constituendum` di Indonesia".
Ketua MA Muhammad Hatta Ali tampil sebagai salah satu penguji akademis bersama sembilan profesor lannya dari Kampus Untag Surabaya.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur I, yang meliputi wilayah Surabaya dan Sidoarjo itu, akhirnya dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan.
Rektor Untag Surabaya Prof. Dr. drg. Hj. Ida Aju Brahmasari, Dipl.DHE, MPA mengaku turut bangga Adies Kadir akhirnya berhasil meraih gelar doktor setelah menempuh kuliah S3 selama 12 semester di kampus yang dipimpinnya.
"Seandainya beliau menyelesaikannya selama tujuh semester, kelulusannya ini berpredikat cumlaude. Tapi ini sudah bagus, di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR RI, beliau masih menyempatkan menyusun disertasi," katanya. (*)
Video oleh Hanif N
Hatta mengatakan butuh waktu 34 tahun bagi lembaga peradilan di Indonesia hingga akhirnya bisa menjadi benar-benar independen seperti sekarang.
Dia merujuk pada perjalanan panjang perundang-undangan tentang Kehakiman di Indonesia.
Setelah era reformasi, dia menerangkan terbit Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor X Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
"Kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan waktu itu luntur karena dugaan intervensi lembaga eksekutif sehingga TAP MPR Nomor X tahun 1998 salah satunya memutuskan perlunya reformasi masalah peradilan," katanya.
Maka, lanjut dia, lahirlah Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
"Dalam UU 35 Tahun 1999 ada satu-dua pasal yang menekankan perlu diundangkan sendiri hal-hal terkait lembaga peradilan yang intinya tidak perlu ada lagi campur tangan dari pihak eksekutif," ujarnya.
Hingga akhirnya lahirlah UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan jajaran harus terpisah dari instansi lain.
"Sejak itulah lembaga peradilan berdiri terpisah, tidak lagi berada di bawah Kementerian Kehakiman seperti di masa sebelumnya karena dikhawatirkan terjadi campur tangan dari pihak eksekutif," katanya.
Persoalannya, Hatta menambahkan, saat ini ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi lembaga peradilan.
"Apakah independensi lembaga peradilan tidak terganggu dengan adanya KY?," ucapnya.
Namum Hatta tidak meminta Adies Kadir untuk menjawab pertanyaan itu dalam sidang disertasinya yang digelar terbuka.
"Ini hanya untuk direnungkan saja. Kebetulan Pak Adies adalah anggota Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum dan juga banyak rekan dari Komisi III DPR RI yang juga hadir di sini," katanya.
Dalam ujian terbuka yang berlangsung selama hampir dua jam itu, Adies Kadir memaparkan disertasinya yang berjudul "Konsep Hakim sebagai Pejabat Negara dalam Perspektif `Ius Constitutum dan `Ius Constituendum` di Indonesia".
Ketua MA Muhammad Hatta Ali tampil sebagai salah satu penguji akademis bersama sembilan profesor lannya dari Kampus Untag Surabaya.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur I, yang meliputi wilayah Surabaya dan Sidoarjo itu, akhirnya dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan.
Rektor Untag Surabaya Prof. Dr. drg. Hj. Ida Aju Brahmasari, Dipl.DHE, MPA mengaku turut bangga Adies Kadir akhirnya berhasil meraih gelar doktor setelah menempuh kuliah S3 selama 12 semester di kampus yang dipimpinnya.
"Seandainya beliau menyelesaikannya selama tujuh semester, kelulusannya ini berpredikat cumlaude. Tapi ini sudah bagus, di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR RI, beliau masih menyempatkan menyusun disertasi," katanya. (*)
Video oleh Hanif N
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017