Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dr R. Herlambang Perdana Wiratraman SH MA dikenal sebagai salah satu sosok yang sering membela hak asasi kaum marjinal, bahkan ia rela memberikan jasa konsultasi secara cuma-cuma atau gratis kepada warga yang membutuhkan pendampingan hukum.

Publik banyak berharap dengan naiknya Joko Widodo sebagai Presiden RI akan mendorong upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, namun ia menilai harapan itu sepertinya jauh panggang dari api karena impunitas, kekerasan, dan penindasan HAM, masih terus terjadi.

Di era pemerintahan Presiden Jokowi, lanjutnya, HAM terlihat tidak menjadi agenda prioritas, apalagi sungguh-sungguh diupayakan penyelesaiannya. Kekerasan, penyingkiran hak-hak petani, buruh, dan masyarakat miskin, semakin jelas dibiarkan. 

Di Jatim, lanjut dia, sejumlah kepala daerah justru membiarkan, dan bahkan menikmati situasi kekerasan dan penyingkiran tersebut. Terang-terangan sikapnya manipulatif, ditunjukkan membela penindasan tersebut, menjadi pelumas bekerjanya kaum pemodal.

"Seperti dalam konflik tanah di Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi, perkebunan sengon di Blitar, dan banyak kasus tanah lain yang berhadapan dengan militer, perusahaan perkebunan negara maupun swasta, serta Perhutani, seakan tidak pernah diupayakan penyelesaiannya," ucap Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Unair itu.

Bahkan, seperti kasus warga Rembang yang berhadapan dengan PT Semen Indonesia, sekalipun warga telah menempuh jalur hukum formal, dan menang, realitasnya tetap saja warga yang menolak hadirnya industri semen diintimidasi, difitnah, bahkan dengan rezim hukum administrasi, dipakai alat melegitimasi menyingkirkan keadilan sosial. 

"Hukum dan bekerjanya hukum, kian melayani kepentingan penindasan yang disokong oleh gagasan pasar, birokrasi politik yang korup, dan premanisme," kata Herlambang yang juga anggota majelis etik Aliansi Jurnalis Independen  (AJI) Jember itu.

Sebagai akademisi, menurutnya banyak banyak yang bisa dikerjakan dari kampus untuk menghadapi situasi itu, tentu dengan segala keterbatasannya.  Kampus itu menjalankan mandat tri dharma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. 

Dalam keseharian, pria yang tinggal di Jember itu senantiasa menyeimbangkan hal ketiganya. Melalui pendidikan hukum, ia juga mengajak mahasiswa untuk terus berpikir kritis, mengajak peka terhadap realitas sosial, dan memiliki nalar hukum yang tajam. 

"Saya tidak akan pernah sekadar mengajarkan masalah kemudian dicari-cari pasalnya, melainkan mahasiswa harus bisa menjelaskan mengapa pasal-pasal tersebut dibentuk, apa tujuannya, dan apakah sesuai dengan tujuannya, sehingga mahasiswa harus paham konteks, baik konteks hukum maupun konteks masalah" ujarnya.

Selain pendidikan, Herlambang juga menyediakan diri untuk membantu memberikan nasihat hukum bagi kaum miskin, terutama mereka yang kehidupannya dihancurkan oleh elit korup dan pemodal.

"Setiap mendapat kesempatan undangan memberi seminar atau memberi kuliah di luar negeri, saya selalu menyisihkan sebagian uang itu untuk bepergian ke kampung, membuat pertemuan dengan komunitas, atau juga melakukan eksaminasi atas kasus-kasus hukum yang punya kepentingan publik besar dan menghancurkan ekologi dan sistem sosial, seperti eksaminasi kasus PTUN yang menghadapkan warga dengan Gubernur Jateng," katanya.

Koordinator Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia itu menilai kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir sangatlah penting dikawal hingga para aktor yang membunuh Munir bisa terkuak dan dimintai pertanggungjawaban, sehingga ia pun menyanggupi untuk melakukan eksaminasi putusan hakim yang dinilai merugikan kepentingan pencari informasi tersebut.

Untuk itu, Herlambang berharap pemerintah harus berani memangkas dan memutus mata rantai impunitas. "Jangan mengaku negara hukum demokratis kalau urusan penjahat HAM masih bisa melenggang bebas, dan bahkan ikut membajak politik hukum di republik ini," katanya menegaskan. 

Selain itu, lanjutnya, fungsi-fungsi protektif lembaga negara harus diperkuat dan dijamin kinerjanya sekalipun berhadapan dengan kekuatan mesin birokrasi politik tertentu yakni kelembagaan seperti Komnas HAM, LPSK, KPK, menjadi penting mendapat perlindungan untuk membuka kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi.

"Independensi kekuasaan kehakiman perlu dijaga marwah dan martabatnya, melalui proses yang meminimalisir kepentingan politisasi. Keterlibatan lembaga peradilan dalam kasus suap dan seterusnya, menjadi pondasi negara hukum Indonesia yang melindungi kesewenang-wenangan penguasa," tuturnya.

Pemerintah harus menjamin kebebasan warga negaranya untuk berekpresi, berpendapat, dan meneguhkan kebebasan pers sebagai strategi penting masyarakat sipil mengawal proses pertanggungjawaban negara. 

"Presiden Jokowi harus memiliki komitmen politik yang besar, utamanya dalam merealisasikan nawa citanya. Ia tidak boleh tunduk dengan kaum pemodal dan birokrat korup karena komitmen itu perlu untuk melawan premanisme, baik itu premanisme massa, premanisme media sosial yang kerjaannya sebar fitnah, mengadu domba, dan 'hoax'," ujarnya.

Selain itu, ada juga premanisme intelektual yakni akademisi bersarang di kampus dan mudah dibeli untuk kepentingan pemodal dan perusahaan tambang, yang kemudian pemikirannya keluar sesuai pesanan. 

"Saya melihat ini tantangan bagi pemerintah untuk lebih memikirkan keseimbangan antara kebebasan akademik, pengembangkan studi dan keilmuan," katanya menambahkan. (*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017