Kediri (Antara Jatim) - Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar menegaskan pengosongan atau eksekusi di bekas lokalisasi semampir, Kota Kediri, Jawa Timur, akan dilakukan sesuai dengan jadwal.
     
"Eksekusi akan dilakukan sesuai jadwal. Kalaupun ada masalah hukum, kami jalani, tapi itu kan tanahnya pemkot," katanya di Kediri, Kamis.
     
Ia mengatakan, kebijakan penutupan lokalisasi yang sudah ada sejak dulu itu dilakukan oleh pemerintah kota pada 1999. 

Di era mantan Wali Kota H A Maschut, serta mantan Wali Kota Samsul Ashar dilakukan hal sama, salah satunya dengan adanya program alih profesi. Bahkan, pemerintah sudah membuat banyak program pelatihan pemberdayaan.
     
Beberapa pelatihan itu misalnya pelatihan keterampilan salon termasuk memberikan peralatannya, pelatihan keterampilan konveksi, sablon, membatik, "Handycraft", tata boga, hingga pembentukan koperasi.
     
Pihaknya juga sudah mengadakan pertemuan dengan para ulama dan tokoh masyarakat di Kota Kediri terkait dengan rencana penutupan bekas lokalisasi itu dan mereka mendukungnya.

"Tokoh agama, masyarakat mendukung gerakan penutupan lokalisasi itu, menjadi fasilitas sosial dan umum, sebab itu yang akan dilakukan pemkot," katanya.


Wali Kota menyebut, pemanfaatan bekas lokalisasi itu menjadi fasilitas umum, lebih dikarenakan di Kota Kediri masih kekurangan ruang terbuka hijau. Dengan adanya alih fungsi, nantinya masyarakat bisa lebih nyaman tinggal.

Selain itu, Gubernur Jatim juga membuat aturan melarang praktik prostitusi. Bahkan, Presiden juga melarang hal yang sama, sehingga pemkot membuat kebijakan tersebut. 

Ia berharap, masyarakat yang saat ini tinggal di bekas lokalisasi itu memahami. Mereka di tempat itu statusnya menyewa dan tanah itu murni milik pemkot. Selain itu, terdapat surat perjanjian yang isinya jelas misalnya bangunan di tempat itu tidak boleh permanen dan bila pemerintah daerah membutuhkan masyarakat harus menyerahkan.

Sementara itu, perwakilan MUI Kota Kediri Jamaludin mendukung penuh terkait rencana pemerintah itu. Namun, ia meminta agar pemerintah memerhatikan dampak sosial, salah satunya pendidikan anak-anak.
    
"Jika harus pindah, anak-anak sekolah, untuk keberlangsungan sekolahnya harus diperhatikan," kata Jamaludin. 
     
Pemkot memberikan batas waktu terakhir untuk pengosongan bekas lokalisasi itu hingga 9 Desember 2016, dan secara bertahap akan menghancurkan tempat itu dengan alat berat. 

Di tempat tersebut, setidaknya ada 288 bangunan dengan penghuni sekitar 660 jiwa. Mereka tersebar di empat RT, yaitu RT 29-32 di RW 5. 

Walaupun sudah ditutup, masih terdapat praktik prostitusi di tempat tersebut. Bahkan, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kediri mencatat, di lokasi itu terdapat 14 warga yang terkena HIV, dan beberapa masih aktif melakukan praktik prostitusi. Mayoritas, penghuni di tempat tersebut merupakan penduduk luar Kediri. (*)

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016