Surabaya (Antara Jatim) - Kelompok warga yang menamakan Ikatan Masyarakat Surabaya, Kamis siang berunjuk rasa di depan kantor Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk menolak pengelolaan SMA/SMK di bawah Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Koordinator aksi, Sabar Suwastono mengatakan, aksi tersebut dilandasi kekecewaan warga karena muncul statement dari Dinas Pendidikan Jawa Timur saat membaca berita di media massa bahwa biaya sekolah setingkat SMA dan SMK tidak lagi gratis.
"Ibu-ibu spontan datang berbondong-bondong tadi pagi karena kaget. Saya saja baru izin di kepolisian tadi pagi. Ini kemauan warga, bahwasanya warga merasa tersinggung. di Surabaya ini semuanya gratis, hanya tinggal surat pengantar dari RT-RW selsai," katanya.
Sabar meminta Pemerntah Provinsi Jawa Timur jangan hanya berbicara tentang kebijakan, tapi terlebih dahulu pikirkan lulusan SMA-SMK bisa bekerja. Menurutnya masih banyak lulusan setingkat SMA-SMK yang masih menganggur.
"Pemerintah kota Surabaya telah membuktikan mampu menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas. Hal itu dirasakan oleh warga Surabaya yang menikmati pendidikan gratis mulai jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK," tambahnya.
Sabar mengatakan kasihan warga terombang-ambing dengan kebijakan yang membingungkan dan membuat warga semakin resah. Sabar berjani akan tetap melakukan aksi sampai di tingkat kementrian.
"Kalau nanti dipegang provinsi tetap bayar, sampai di manapun saya akan bersama warga Surabaya, mengkoordinir mereka melakukan aksi agar pendidikan di Surabaya gratis," jelasya.
Terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi, dirinya mengatakan bahwa undang-undang hanya bikinan manusia.
"Saya menolak UUD. Itu hanya buatan manusia. UUD tak mewakili karakter. Yang terpenting adalah karakter. Harusnya provinsi adalah koordinator yang mendorong kabupaten-kabupaten agar maju bersama," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rahman mengatakan, masyarakat tersebut adalah bagian dari shock culture. "Jadi dari budaya kabupaten/kota dan pindah ke provinsi, tentunya mereka kaget dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat," katanya.
Dia menegaskan, secara normatif, pengelolaan SMA-SMK tersebut adalah amanat undang-undang dan tidak bisa dipungkiri lagi. Menurutnya, semua urusan politik sudah selesai dengan undang-undang itu.
"Undang-undang dibuat sudah jadi karena sudah final di pusat. Sebenarnya undang-undang tersebut aplikasinya tak hanya di pendidikan saja, tapi memang paling nampak adalah di pendidikan," paparnya.
Bagi Saiful, semuanya sudah proporsional. Dirinya pun sudah memantau pelaksanaannya di tinggkat nasional. "Selama ini Surabaya paling getol mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, dan sampai sekarang MK belum ada putusan. Jadi tetap aja kita normatif menjalankan perintah undang-undang," pungkasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Koordinator aksi, Sabar Suwastono mengatakan, aksi tersebut dilandasi kekecewaan warga karena muncul statement dari Dinas Pendidikan Jawa Timur saat membaca berita di media massa bahwa biaya sekolah setingkat SMA dan SMK tidak lagi gratis.
"Ibu-ibu spontan datang berbondong-bondong tadi pagi karena kaget. Saya saja baru izin di kepolisian tadi pagi. Ini kemauan warga, bahwasanya warga merasa tersinggung. di Surabaya ini semuanya gratis, hanya tinggal surat pengantar dari RT-RW selsai," katanya.
Sabar meminta Pemerntah Provinsi Jawa Timur jangan hanya berbicara tentang kebijakan, tapi terlebih dahulu pikirkan lulusan SMA-SMK bisa bekerja. Menurutnya masih banyak lulusan setingkat SMA-SMK yang masih menganggur.
"Pemerintah kota Surabaya telah membuktikan mampu menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas. Hal itu dirasakan oleh warga Surabaya yang menikmati pendidikan gratis mulai jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK," tambahnya.
Sabar mengatakan kasihan warga terombang-ambing dengan kebijakan yang membingungkan dan membuat warga semakin resah. Sabar berjani akan tetap melakukan aksi sampai di tingkat kementrian.
"Kalau nanti dipegang provinsi tetap bayar, sampai di manapun saya akan bersama warga Surabaya, mengkoordinir mereka melakukan aksi agar pendidikan di Surabaya gratis," jelasya.
Terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi, dirinya mengatakan bahwa undang-undang hanya bikinan manusia.
"Saya menolak UUD. Itu hanya buatan manusia. UUD tak mewakili karakter. Yang terpenting adalah karakter. Harusnya provinsi adalah koordinator yang mendorong kabupaten-kabupaten agar maju bersama," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rahman mengatakan, masyarakat tersebut adalah bagian dari shock culture. "Jadi dari budaya kabupaten/kota dan pindah ke provinsi, tentunya mereka kaget dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat," katanya.
Dia menegaskan, secara normatif, pengelolaan SMA-SMK tersebut adalah amanat undang-undang dan tidak bisa dipungkiri lagi. Menurutnya, semua urusan politik sudah selesai dengan undang-undang itu.
"Undang-undang dibuat sudah jadi karena sudah final di pusat. Sebenarnya undang-undang tersebut aplikasinya tak hanya di pendidikan saja, tapi memang paling nampak adalah di pendidikan," paparnya.
Bagi Saiful, semuanya sudah proporsional. Dirinya pun sudah memantau pelaksanaannya di tinggkat nasional. "Selama ini Surabaya paling getol mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, dan sampai sekarang MK belum ada putusan. Jadi tetap aja kita normatif menjalankan perintah undang-undang," pungkasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016