Surabaya (Antara Jatim) - Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol di Kota Surabaya akhirnya disahkan dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPRD Kota Surabaya, Selasa.
    
Ketua DPRD Surabaya Armuji menjelaskan raperda sudah disahkan menjadi perda pelarangan minuman beralkohol. Sehingga tugas DPRD Surabaya sudah selesai, dan akan diserahkan ke gubernur untuk mendaptkan pertimbangan.
    
"Jika selama tiga bulan sejak diserahkan tidak ada pertimbangan atau informasi dari gubernur, maka perda itu sudah bisa dijalankan," katanya.
    
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengaku dari awal tidak setuju mihol dijual bebas. Meskipun belum ada larangan, kata dia, pihaknya sering turun ke masyarakat melakukan operasi larangan minuman beralkohol.
    
Menurutnya, pelarangan minuman beralkohol di Surabaya merupakan kehendak masyarakat. Hanya saja, Risma tidak mau berkomentar mengenai langkahnya ketika draf raperda tersebut ditolak oleh Gubernur Jawa Timur.
    
"Nantilah saya tidak mau berandai-andai, pokoknya kalau minimarket dan supermarket harus dilarang," ujarnya.
    
Ketua Panitia Khusus (pansus) Pelarangan Minuman Beralkohol DPRD Surabaya Edi Rachmat menjelaskan pihaknya mengambil langkah diskresi atau pelarangan total karena melihat aspirasi warga Surabaya. Masyarakat kota pahlawan ingin kotanya bebas dari alkohol.
    
Politisi partai Hanura ini menegaskan, diskresi tidak melanggar Permendag Nomor 6 Tahun 2015. Hal itu dikarenakan permendag tersebut memberikan kebebasan kepada setiap daerah melarang atau memperbolehkan peredaran minuman beralkohol.
    
"Setelah konsultasi ke Bagian Hukum Kementerian Dalam Negeri, pelarangan atau tidak dikembalikan kepada kearifan lokal," ujarnya.
    
Selain Surabaya, beberapa daerah sudah melakukan pelarangan total, seperti Papua, Tangerang, dan Sukabumi. Edi menjelaskan, apapun alasannya, minuman alkohol tidak mengandung manfaat, malah menyebabkan mudharat.
    
Dalam draf raperda pelarangan mihol, ada sanksi tegas bagi para pelanggar. Sanksinya mulai dari teguran, denda administrasi, penutupan sementra sarana tempat usaha, pencabutan izin usaha atau operasiobal, dan penutupan sarana tempat usaha.

"Ada sanksi pidananya juga, dipidana kurungan tiga bulan atau denda paling banyak Rp50 juta," katanya.
    
Edi menampik pelarangan mihol berimbas terhadap usaha hiburan, hotel dan lainnya. Menurutnya, bisnis karaoke yang dijual adalah fasilitas bernyanyi, demikian pula dengam hotel dengan kamarnya. "Kalau usaha karaoke dan hotel bangkrut gara-gara raperda ini ya itu pikiran miring," ujarnya.
    
Edi meminta Pemkot Surabaya mengawal sampai ke tingkat gubernur supaya raperda disetujui. Jika ditolak gubernur, pihaknya akan mengambil langkah banding ke Departemen Dalam Negeri. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016