Malang (Antara Jatim) - Rektor IKIP Budi Utomo (IBU) Malang, Jawa Timur, Nurcholis Sunuyeko mengemukakan sekitar 50 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswanya berasal dari wilayah timur Indonesia, yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor atau Flobamora.
"Mereka lebih senang jika disebut dari Flobamora daripada Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat di sana pun juga lebih nyaman disebut dengan Flobamora. Hal itu bisa dilihat dari batas etnis atau suku di masing-masing pulau tersebut," kata Nurcholis ketika mempertahankan disertasinya di hadapan promotor dan penyanggah untuk meraih gelar doktor di Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Kamis.
Pada sidang terbuka promosi doktor yang dipromotori oleh Prof Agus Sholahudin dan Prof Sebastian Koto itu, Nurcholis mempresentasikan disertasi dengan judul "Interaksi Mahasiswa Rantau (Kajian Adaptasi dan Akulturasi Mahasiswa Asal Flobamora di Sebuah Perguruan Tinggi Swasta Multi-Etnik Kota Malang)".
Lebih lanjut, Nurcholis mengatakan keberadaan serta kehadiran mahasiswa yang multi-etnis, bahkan sebagai miniaturnya Indonesia tersebut, menimbulkan adanya interaksi sosial antaretnis di kampus IBU, bahkan selanjutnya disertai dengan proses adaptasi dan akulturasi budaya di Kota Malang.
Menurut dia, roses adaptasi dan akukturasi, memiliki sifat karakteristik yang berbeda. Perbedaannya adalah adaptasi lebih ke arah individu masing-masing, sedangkan akulturasi bukan percampuran antara dua budaya, namun lebih kepada perubahan, dan sedikit menyesuaikan dengan budaya baru.
Menyinggung pemberitaan media terkait konflik antaretnis yang terjadi antaroknum mahasiswa dari kawasan timur Indonesia di Kota Malang, Nurcholis mengatakan berdasarkan penelitian yang ia lakukan, hal tersebut tidak pernah terjadi. "Jangan menyebutkan konflik etnis lagi, karena secara logis empiris ini tidak terbukti," paparnya.
Ia mengatakan selama ini yang terjadi di lapangan lebih mengarah pada faktor individual dan kejadian itu bukan merupakan cerminan bahwa satu etnis tertentu, suka dengan kekerasan. "Biasanya diawali sengan singgung-singgungan, dan konflik itu seringkali hanya karena urusan cewek, rebutan pacar," bebernya.
Jika konflik individu itu kemudian diikuti dengan kelompok massa, ujarnya, itu semua sifatnya temporer dan bisa diselesaikan dengan segera. Oleh karena itu, "stempel" tukang bikin onar yang melekat pada etnis tertentu harus di jauhkan, karena itu sifatnya individu dan bukan ciri khas dari suatu etnis.
Sementara itu Rektor Unmer Malang Prof Dr Anwar Sanusi menyatakan bahwa Nurcholis berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan.
"Dengan ini kami memutuskan Drs. Nurcholis Sunuyeko M.Si, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dan kepadanya diberikan hak gelar doktor ilmu sosial," kata Anwar.
Dr Nurcholis Sunuyeko merupakan doktor ke-309 di kampus Unmer Malang dan doktor ke-200 di bidang Ilmu Sosial Pascasarjana Unmer Malang. Kampus tersebut rata-rata meluluskan seorang doktor 10-15 orang per semester, namun yang paling banyak adalah doktor ilmu sosial.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
"Mereka lebih senang jika disebut dari Flobamora daripada Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat di sana pun juga lebih nyaman disebut dengan Flobamora. Hal itu bisa dilihat dari batas etnis atau suku di masing-masing pulau tersebut," kata Nurcholis ketika mempertahankan disertasinya di hadapan promotor dan penyanggah untuk meraih gelar doktor di Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Kamis.
Pada sidang terbuka promosi doktor yang dipromotori oleh Prof Agus Sholahudin dan Prof Sebastian Koto itu, Nurcholis mempresentasikan disertasi dengan judul "Interaksi Mahasiswa Rantau (Kajian Adaptasi dan Akulturasi Mahasiswa Asal Flobamora di Sebuah Perguruan Tinggi Swasta Multi-Etnik Kota Malang)".
Lebih lanjut, Nurcholis mengatakan keberadaan serta kehadiran mahasiswa yang multi-etnis, bahkan sebagai miniaturnya Indonesia tersebut, menimbulkan adanya interaksi sosial antaretnis di kampus IBU, bahkan selanjutnya disertai dengan proses adaptasi dan akulturasi budaya di Kota Malang.
Menurut dia, roses adaptasi dan akukturasi, memiliki sifat karakteristik yang berbeda. Perbedaannya adalah adaptasi lebih ke arah individu masing-masing, sedangkan akulturasi bukan percampuran antara dua budaya, namun lebih kepada perubahan, dan sedikit menyesuaikan dengan budaya baru.
Menyinggung pemberitaan media terkait konflik antaretnis yang terjadi antaroknum mahasiswa dari kawasan timur Indonesia di Kota Malang, Nurcholis mengatakan berdasarkan penelitian yang ia lakukan, hal tersebut tidak pernah terjadi. "Jangan menyebutkan konflik etnis lagi, karena secara logis empiris ini tidak terbukti," paparnya.
Ia mengatakan selama ini yang terjadi di lapangan lebih mengarah pada faktor individual dan kejadian itu bukan merupakan cerminan bahwa satu etnis tertentu, suka dengan kekerasan. "Biasanya diawali sengan singgung-singgungan, dan konflik itu seringkali hanya karena urusan cewek, rebutan pacar," bebernya.
Jika konflik individu itu kemudian diikuti dengan kelompok massa, ujarnya, itu semua sifatnya temporer dan bisa diselesaikan dengan segera. Oleh karena itu, "stempel" tukang bikin onar yang melekat pada etnis tertentu harus di jauhkan, karena itu sifatnya individu dan bukan ciri khas dari suatu etnis.
Sementara itu Rektor Unmer Malang Prof Dr Anwar Sanusi menyatakan bahwa Nurcholis berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan.
"Dengan ini kami memutuskan Drs. Nurcholis Sunuyeko M.Si, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dan kepadanya diberikan hak gelar doktor ilmu sosial," kata Anwar.
Dr Nurcholis Sunuyeko merupakan doktor ke-309 di kampus Unmer Malang dan doktor ke-200 di bidang Ilmu Sosial Pascasarjana Unmer Malang. Kampus tersebut rata-rata meluluskan seorang doktor 10-15 orang per semester, namun yang paling banyak adalah doktor ilmu sosial.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016