Surabaya (Antara Jatim) - Dosen Jurusan Arsitektur institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Dr. Arina Hayati ST.,MT mengatakan selama ini konstruksi sebuah bangunan di Surabaya masih mengacuhkan penyandang disabilitas.

"Selama ini banyak konstruksi bangunan yang masih belum memikirkan penyandang disabilitas karena mereka dianggap sebagai kaum minoritas. Padahal sebagai seorang arsitek harus memiliki rasa empati, bukan hanya rasa simpati, kata Dr. Arina Hayati ST.,MT seusai menghadiri bedah buku "Living Dignity bagi Difable" di Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, Jumat.

Ia mengatakan, seorang arsitek harus memiliki keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dahulu pada keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain, seperti penyandang disabilitas.

"Kita lihat bahwa konstruksi bangunan di tempat terbuka, seperti mall, taman, apartemen, hotel, dan lainnya masih belum ada fasilitas pendukung untuk penyandang disabilitas karena untuk ada fasilitas tersebut memang membutuhkan biaya yang cukup mahal," tuturnya yang juga menyandang disabilitas.

Menurut dia, hal ini sangat disayangkan karena ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membangun sebuah bangunan, penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan, sehingga fasilitas bagi penyandang disabilitas di Surabaya masih kurang.

"Seperti halnya di Taman Bungkul, saya pernah mencoba kemiringan tangga disana, namun saya terlalu lelah karena kemiringannya itu lebih dari 10 persen, padahal seharusnya kemiringan tangga kurang dari 7 persen. Jika ada penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, ketika ia naik, maka susah karena terlalu tinggi, sedangkan ketika turun, maka akan berjalan terlalu kencang," paparnya.

Di sisi lain, Kepala Bidang Sejarah dan Arsitektur UKP Surabaya, Ir. Lukito Kartono mengatakan semua fasilitas publik seharusnya bisa dikatakan ideal jika para penyandang disabilitas tidak bersusah payah untuk menikmati konstruksi bangunan yang ada.

"Seharusnya lift itu tombolnya harus bisa diraba oleh penyandang tuna netra, pintunya juga harus bisa disesuaikan dengan orang lumpuh yang menggunakan kursi roda dengan lebar minimal 90 cm, kemudian tangga juga disediakan ram dan memikirkan ketinggian tangga yang tidak boleh lebih dari 7 persen," tuturnya.

Selain itu, penyandang disabilitas tuna netra, Tutus Setiawan mengatakan paska pengesahan Konvensi PBB Tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Person with Disability UN CRPD) dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2011, pada kenyataannya regulasi tersebut hanya sekedar wacana.

"Sudah ada peraturannya, namun regulasi tersebut pada kenyatannya masih sekedar wacana saja serta tidak adanya pengawasan dari pejabat pemerintah dalam hal ini karena masih dianggap sebagai kaum minoritas, padahal Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini merupakan seorang arsitektur, jadi seharusnya beliau juga mengetahuinya," tandasnya. (*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015