Surabaya (Antara Jatim) - Berdasarkan survei Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebanyak 43 dari 81 hakim di Surabaya atau sekitar 53 persen mengakui perilaku hakim yang masih belum baik merupakan penyebab rendahnya kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

"Itu hasil survei yang menarik, karena mereka mengakui kekurangannya," kata Kabid Litbang LBH Surabaya Abdul Fatah dalam 'judicial education' yang diikuti sejumlah wartawan di Kantor LBH Surabaya, Senin.

Didampingi Kabid Penanganan Kasus LBH Surabaya Hosnan, ia menjelaskan di wilayah kehakiman Surabaya ada 100 hakim yakni 67 hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, 20 hakim di Pengadilan Agama (PA), dan 13 hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dari 100 hakim itu ada 81 hakim yang menjadi responden dalam survei yang dilakukan bersama Komisi Yudisial (KY) pada 13-18 Oktober 2014 untuk menjawab kuesioner tentang penyebab dan solusi untuk perbuatan yang dinilai merendahkan kehormatan/keluhuran hakim.

"Hasil survei menunjukkan 43 hakim menilai penyebab rendahnya kehormatan hakim adalah perilaku hakim sendiri, lalu 38 hakim menilai regulasi contempt of court (CoC) yang belum ada," katanya.

Selain itu, 27 hakim menyebut sistem pengamanan di pengadilan sebagai penyebab, 21 hakim menilai kesadaran hukum masyarakat yang kurang, 10 hakim menilai pelayanan pengadilan yang kurang, dan empat hakim menilai kualitas hakim yang kurang.

"Perilaku hakim yang dinilai belum baik, seperti ada hakim yang tertidur di persidangan, cenderung memihak, bertemu klien di luar ruang persidangan atau bahkan golf bersama, dan bentuk-bentuk perilaku lainnya," katanya.

Menurut dia, hasil survei itu sudah dikonfirmasi kepada pimpinan PN Surabaya dan ternyata tidak salah. "Waka PN membenarkan hakim masih belum bisa memunculkan rasa keadilan dan cenderung memihak," katanya.

Dalam survei itu juga diketahui perbuatan masyarakat yang dikategorikan merendahkan kehormatan/keluhuran hakim antara lain sikap onar di dalam ruang persidangan, pengabaian putusan berkekuatan hukum tetap, demonstrasi, teror/ancaman, dan komentar berlebihan terhadap putusan.

Sejumlah wartawan yang hadir dalam pertemuan itu menyarankan sejumlah langkah untuk mengatasi "contempt of court" (CoC) yakni Komisi Yudisial perlu melakukan pendidikan kode etik untuk hakim dan wartawan peliput masalah hukum, serta membuat buku panduan peliputan.

Selain itu, KY juga diharapkan melakukan evaluasi rutin tentang perilaku hakim dan hasilnya dipublikasikan kepada pers, lalu KY perlu bekerja sama dengan pers untuk mengangkat hakim-hakim yang baik untuk teladan. KY juga perlu membentuk humas di PN yang bukan dari hakim. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015