Banyuwangi (Antara Jatim) - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada 2015 mengembangkan tanaman padi dengan "system of rice intensification" (SRI) pada lahan seluas 2.500 hektare.
     
"Program pengembangan SRI ini menelan biaya Rp4 miliar bantuan dari pemerintah pusat setelah melihat kesuksesan program tersebut di Banyuwangi," kata Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi Ikrori Hudanto di Banyuwangi, Minggu.
     
Pada panen raya padi di Desa Sumber Agung, Pesanggaran, itu dia menjelaskan bahwa SRI adalah teknik budi daya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara.
     
Dia mengatakan bahwa saat ini ada 59 kelompok tani di 18 kecamatan yang masuk dalam pengembangan program SRI dengan hasil yang sangat menggembirakan karena mengalami peningkatan produksi dari biasanya.
     
Bupati Abdullah Azwar Anas yang ikut dalam panen raya menyambut gembira kesuksesan petani dalam meningkatan hasil produksi padi dengan sistem SRI. Menurut Anas ini merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
     
"Kami sangat gembira dengan kemajuan yang didapatkan oleh petani. Namun tidak semua petani dapat didampingi oleh pemerintah daerah, maka di sinilah peran swasta untuk berkontribusi dengan menyalurkan CSR-nya di bidang pertanian dan ikut menyejahterakan petani," ujarnya.
     
Sementara Ketua Kelompok Tani Sekar Arum, Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Nyono Subagio, mengatakan petani di kelompoknya mampu menghasilkan produksi hingga 8,3 ton per hektare, lebih tinggi sekitar 37 persen dari produksi biasanya yang hanya sekitar 6,1 ton per hektare.
     
Peningkatan produksi ini, kata dia, karena petani setempat menggunakan teknologi pertanian dengan SRI pada lahan percobaan mereka.
     
Nyono mengatakan, lahan yang dikelola dengan sistem SRI yang dipanen kali ini seluas 1,25 hektare. Dengan metode SRI, satu bulir benih bisa menghasilkan 157 anakan atau lebih optimal dari sistem biasa.
     
Menurut dia, metode tanam SRI memiliki beberapa keunggulan, yakni biayanya lebih hemat karena penggunaan benih yang lebih sedikit dari biasanya. Jika pada pola tanam konvensional membutuhkan benih sampai 50 kg per hektare, dengan SRI maksimal hanya 5 kg per hektare.
     
"Benih yang ditanam adalah benih muda, yakni 5 -12 hari setelah semai, dan waktu panen akan lebih awal. Penanaman benihnya dengan sistem jajar legowo yaitu jarak tanam yang lebih renggang 20 x 35 cm. Hasilnya lebih bagus karena tanaman padi mendapatkan udara dan sinar matahari yang lebih baik," katanya.
     
Dengan sistem ini, katanya, air juga tidak perlu menggenangi tanaman terus, tapi berselang dan hanya setinggi 2 cm, juga ada periode pengeringan sampai tanah retak yang dikenal dengan irigasi terputus.
     
Teknologi ini dia nilai juga ramah lingkungan karena tidak menggunaan bahan kimia. Pupuk yang digunakan adalah kompos, kandang dan mikro-oragisme lokal, termasuk penggunaan pestisidanya.
     
"Jadi kami tidak tergantung pada produk pabrik karena sebagian besar pupuknya organik, begitu juga untuk pembasmi hamanya. Bahan-bahan untuk pupuk dan pestisida pakai bahan-bahan lokal jadi tidak keluar biaya banyak," kata Nyono.
     
Nyono melanjutkan, melalui sistem ini kesuburan tanah dikembalikan sehingga daur-daur ekologis dapat kembali berlangsung dengan baik dengan memanfaatkan mikro organisme tanah sebagai penyedia produk metabolit untuk nutrisi tanaman.
     
"Melalui metode ini diharapkan kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik, demikian juga dengan produk akhir yang dihasilkan, yang notabene lebih sehat bagi konsumen karena terbebas dari paparan zat kimia berbahaya," ujarnya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Akhmad Munir


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015