Ponorogo (Antara Jatim) - Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memiliki sejarah besar di masa lalu yang salah satu tandanya bisa dilihat dari masjid dan bekas Pondok Pesantren Tegalsari di Kecamatan Jetis.
Di kompleks yang kini banyak diziarahi umat Islam itu masih berdiri bangunan asli saat Pesantren Tegalsari dipimpin oleh Kiai Mohammad Besari dan penerus atau cucunya Kiai Kasan Besari.
Kiai Kasan Besari memiliki murid yang dikenal sebagai pujangga terkemuka di Kasunanan Surakarta, yakni Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Ronggowarsito melahirkan karya berjudul Serat Kalatida yang isinya masih sangat relevan untuk diambil pelajaran dalam situasi saat ini. Terjemahan bebas karyanya sebagai berikut:
Menyaksikan zaman gila
Serba susah dalam bertindak
Ikut gila tidak akan tahan
Tapi kalau tidak mengikuti (gila)
Tidak akan mendapat bagian
Kelaparan pada akhirnya
Namun telah menjadi kehendak Allah
Seberuntung-beruntungnya orang yang lalai
Akan lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.
Untuk mengenang nama besarnya, salah satu sekolah formal di bawah yayasan di kompleks Tegalsari diberi nama pujangga bernama asli Raden Bagus Burhan itu, yakni Madrasah Aliyah Ronggowarsito.
Camat Jetis Fadhlal Kirom yang menemani Antara ke kompleks itu mengemukakan bahwa pada hari tertentu peziarah bisa berjumlah ribuan. Bahkan ada pondok pesantren yang rutin setiap malam Jumat Kliwon datang untuk berdoa bersama di makam tokoh-tokoh Islam masa lalu itu.
"Kalau malam Jumat Kliwon bisa mencapai 3.500 hingga 4.000 lebih santri yang datang dan malam Jumat lainnya sekitar 1.000 orang," katanya.
Banyaknya pengunjung ke kompleks itu membawa berkah tersendiri bagi penduduk sekitar, misalnya dari tarif parkir atau orang yang berjualan untuk memenuhi keperluan para peziarah ke lokasi yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kota Ponorogo ini.
Tidak hanya peziarah lokal dan dari berbagai daerah di Indonesia. Ada peziarah khusus yang dari kerajaan di Selangor, Malaysia. Menurut Budi Utomo, juru kunci makam Kiai Ageng Mohammad Besari, raja di Selangor masih keturunan tokoh Islam tersebut.
Budi menyebut Kiai Zainal Abidin (anak dari Kiai Mohammad Besari) menjadi raja di Selangor. Karena itu anak turunnya di Malaysia masih sering berziarah ke lokasi itu. Makam yang terletak di sebelah barat masjid terdiri atas Kiai Mohammad Besari dan keluarga, Kiai Mohammad Ilyas (putera Kiai Mohammad Besari) dan keluarga dan Kiai Kasan Besari (putra Kiai Mohammad Ilyas) dan keluarga. Selain itu juga terdapat makam anak cucu lainnya dari Kiai Mohammad Besari.
Selain makam, di sebelah timur masjid terdapat rumah Kiai Kasan Besari yang bangunannya masih terpelihara bagus. Rumah itu dipelihara dan ditempati oleh Setyo Wacono bersama istri.
Sony, panggilan akrab Setyo yang juga turunan ketujuh Kiai Kasan Besari, menempati salah satu dari kamar dari rumah besar itu. Di bagian tengah terdapat ranjang kayu peninggalan Kiai Kasan Besari yang tidak ditempati, namun tetap terpelihara. Di bagian lain terdapat meja berukuran pendek ditutupi kain hijau kuning, selaras dengan sprei di ranjang itu.
Sebelum memasuki rumah itu terdapat pondok dari kayu dengan menggunakan kaki yang diduga sebagai langgar tempat santri tinggal. Namun ada yang menyebut bangunan kayu itu sebagai musala di zaman dulu.
Di bagian utara masjid adalah kompleks pondok pesantren yang kini sudah dipugar menjadi bangunan bertembok. Hanya rumah dan bangunan kayu yang tetap dibiarkan sebagaimana aslinya.
Selain pemugaran beberapa bangunan, warisan berharga yang tidak ditemui di kompleks itu adalah buku atau kitab-kitab kuno peninggalan Kiai Mohammad Besari maupun Kiai Kasan Besari. Menurut Sony, kitab-kitab itu justru ada di Belanda. Sementara Camat Jetis Fadhlal mengemukakan ada sejumlah masyarakat di Jetis ada yang memiliki kitab kuno itu.
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo MHum mengemukakan hakikat ziarah ke makam itu adalah dalam konteks berdzikir juga, yakni semakin menguatkan ingatan tentang kematian. Maka yang dibaca oleh para peziarah adalah doa-doa untuk para leluhur dan para tokoh besar itu.
Makam para tokoh menjadi tempat ziarah karena semasa hidupnya banyak memberikan kemanfaatan besar bagi orang banyak dan ketika jasadnya sudah di alam kubur juga masih terus dikenang dan terus menebarkan manfaat dalam bentuk lain.
"Dengan banyaknya peziarah yang datang juga memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Yang terlihat adalah pengelolaan parkir kendaraan, penjual makanan dan kegiatan sosial," kata Ketua Penelitian dan Pengembangan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Ponorogo ini.
Sementara tokoh muda Ponorogo Fathur Rochman Effendie yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Hikmah Kauman, Kota Lama, Ponorogo, mengemukakan bahwa ziarah kubur tidak hanya sarat spiritual tapi juga sebagai bentuk memelihara budaya dan ajaran-ajaran leluhur.
Ziarah, kata lelaki yang akrab disapa Gus Fathur ini, adalah sarana ampuh untuk mengingat mati karena sebesar apapun cita-cita, pangkat dan derajatnya, manusia harus terus menerus diingatkan tentang keniscayaan, yakni mati.
"Karena yang diziarahi adalah para wali dan para guru (masyayeh) maka ziarah juga bermakna 'ngalap' berkah lewat para guru itu. Prosesnya bisa dimaknai permohonan kepada Allah SWT dengan berberwasilah dengan makam para guru dan para wali. Jadi hal ini bukanlah praktik syirik, tapi tawassul sebagai upaya menyambung rasa dan asal usul ilmu dengan guru yang diziarahi," katanya.
Selain itu, kata dosen manajemen di Institut Sunan Giri (Insuri) Ponorogo ini, kalau berziarah ke Tegalsari, maka siapapun dapat membaca tentang semangat Islam akulturasi yang saat ini dikenal sebagai Islam Nusantara.
"Pondok Pesantren Tegalsari yang hidup di kurun Kerajaan Mataram mempunyai keunikan kurikulum yang membaurkan atau akulturasi Islam dan budaya Jawa sebagai upaya meredam persitegangan antara Islam dan kejawen 'warisan' konflik Raden Bathoro Katong dan Ki Ageng Kutu," katanya.
Pondok Pesantren Tegalsari, kata dia, melahirkan kiai-kiai besar se-Jawa yang kini tersebar di Ponpes Gontor, Tebuireng, Lirboyo, Ploso, Bendo, Jampes dan lainnya yang merupakan anak turun dari sesepuh Tegalsari. (*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Di kompleks yang kini banyak diziarahi umat Islam itu masih berdiri bangunan asli saat Pesantren Tegalsari dipimpin oleh Kiai Mohammad Besari dan penerus atau cucunya Kiai Kasan Besari.
Kiai Kasan Besari memiliki murid yang dikenal sebagai pujangga terkemuka di Kasunanan Surakarta, yakni Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Ronggowarsito melahirkan karya berjudul Serat Kalatida yang isinya masih sangat relevan untuk diambil pelajaran dalam situasi saat ini. Terjemahan bebas karyanya sebagai berikut:
Menyaksikan zaman gila
Serba susah dalam bertindak
Ikut gila tidak akan tahan
Tapi kalau tidak mengikuti (gila)
Tidak akan mendapat bagian
Kelaparan pada akhirnya
Namun telah menjadi kehendak Allah
Seberuntung-beruntungnya orang yang lalai
Akan lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.
Untuk mengenang nama besarnya, salah satu sekolah formal di bawah yayasan di kompleks Tegalsari diberi nama pujangga bernama asli Raden Bagus Burhan itu, yakni Madrasah Aliyah Ronggowarsito.
Camat Jetis Fadhlal Kirom yang menemani Antara ke kompleks itu mengemukakan bahwa pada hari tertentu peziarah bisa berjumlah ribuan. Bahkan ada pondok pesantren yang rutin setiap malam Jumat Kliwon datang untuk berdoa bersama di makam tokoh-tokoh Islam masa lalu itu.
"Kalau malam Jumat Kliwon bisa mencapai 3.500 hingga 4.000 lebih santri yang datang dan malam Jumat lainnya sekitar 1.000 orang," katanya.
Banyaknya pengunjung ke kompleks itu membawa berkah tersendiri bagi penduduk sekitar, misalnya dari tarif parkir atau orang yang berjualan untuk memenuhi keperluan para peziarah ke lokasi yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kota Ponorogo ini.
Tidak hanya peziarah lokal dan dari berbagai daerah di Indonesia. Ada peziarah khusus yang dari kerajaan di Selangor, Malaysia. Menurut Budi Utomo, juru kunci makam Kiai Ageng Mohammad Besari, raja di Selangor masih keturunan tokoh Islam tersebut.
Budi menyebut Kiai Zainal Abidin (anak dari Kiai Mohammad Besari) menjadi raja di Selangor. Karena itu anak turunnya di Malaysia masih sering berziarah ke lokasi itu. Makam yang terletak di sebelah barat masjid terdiri atas Kiai Mohammad Besari dan keluarga, Kiai Mohammad Ilyas (putera Kiai Mohammad Besari) dan keluarga dan Kiai Kasan Besari (putra Kiai Mohammad Ilyas) dan keluarga. Selain itu juga terdapat makam anak cucu lainnya dari Kiai Mohammad Besari.
Selain makam, di sebelah timur masjid terdapat rumah Kiai Kasan Besari yang bangunannya masih terpelihara bagus. Rumah itu dipelihara dan ditempati oleh Setyo Wacono bersama istri.
Sony, panggilan akrab Setyo yang juga turunan ketujuh Kiai Kasan Besari, menempati salah satu dari kamar dari rumah besar itu. Di bagian tengah terdapat ranjang kayu peninggalan Kiai Kasan Besari yang tidak ditempati, namun tetap terpelihara. Di bagian lain terdapat meja berukuran pendek ditutupi kain hijau kuning, selaras dengan sprei di ranjang itu.
Sebelum memasuki rumah itu terdapat pondok dari kayu dengan menggunakan kaki yang diduga sebagai langgar tempat santri tinggal. Namun ada yang menyebut bangunan kayu itu sebagai musala di zaman dulu.
Di bagian utara masjid adalah kompleks pondok pesantren yang kini sudah dipugar menjadi bangunan bertembok. Hanya rumah dan bangunan kayu yang tetap dibiarkan sebagaimana aslinya.
Selain pemugaran beberapa bangunan, warisan berharga yang tidak ditemui di kompleks itu adalah buku atau kitab-kitab kuno peninggalan Kiai Mohammad Besari maupun Kiai Kasan Besari. Menurut Sony, kitab-kitab itu justru ada di Belanda. Sementara Camat Jetis Fadhlal mengemukakan ada sejumlah masyarakat di Jetis ada yang memiliki kitab kuno itu.
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo MHum mengemukakan hakikat ziarah ke makam itu adalah dalam konteks berdzikir juga, yakni semakin menguatkan ingatan tentang kematian. Maka yang dibaca oleh para peziarah adalah doa-doa untuk para leluhur dan para tokoh besar itu.
Makam para tokoh menjadi tempat ziarah karena semasa hidupnya banyak memberikan kemanfaatan besar bagi orang banyak dan ketika jasadnya sudah di alam kubur juga masih terus dikenang dan terus menebarkan manfaat dalam bentuk lain.
"Dengan banyaknya peziarah yang datang juga memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Yang terlihat adalah pengelolaan parkir kendaraan, penjual makanan dan kegiatan sosial," kata Ketua Penelitian dan Pengembangan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Ponorogo ini.
Sementara tokoh muda Ponorogo Fathur Rochman Effendie yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Hikmah Kauman, Kota Lama, Ponorogo, mengemukakan bahwa ziarah kubur tidak hanya sarat spiritual tapi juga sebagai bentuk memelihara budaya dan ajaran-ajaran leluhur.
Ziarah, kata lelaki yang akrab disapa Gus Fathur ini, adalah sarana ampuh untuk mengingat mati karena sebesar apapun cita-cita, pangkat dan derajatnya, manusia harus terus menerus diingatkan tentang keniscayaan, yakni mati.
"Karena yang diziarahi adalah para wali dan para guru (masyayeh) maka ziarah juga bermakna 'ngalap' berkah lewat para guru itu. Prosesnya bisa dimaknai permohonan kepada Allah SWT dengan berberwasilah dengan makam para guru dan para wali. Jadi hal ini bukanlah praktik syirik, tapi tawassul sebagai upaya menyambung rasa dan asal usul ilmu dengan guru yang diziarahi," katanya.
Selain itu, kata dosen manajemen di Institut Sunan Giri (Insuri) Ponorogo ini, kalau berziarah ke Tegalsari, maka siapapun dapat membaca tentang semangat Islam akulturasi yang saat ini dikenal sebagai Islam Nusantara.
"Pondok Pesantren Tegalsari yang hidup di kurun Kerajaan Mataram mempunyai keunikan kurikulum yang membaurkan atau akulturasi Islam dan budaya Jawa sebagai upaya meredam persitegangan antara Islam dan kejawen 'warisan' konflik Raden Bathoro Katong dan Ki Ageng Kutu," katanya.
Pondok Pesantren Tegalsari, kata dia, melahirkan kiai-kiai besar se-Jawa yang kini tersebar di Ponpes Gontor, Tebuireng, Lirboyo, Ploso, Bendo, Jampes dan lainnya yang merupakan anak turun dari sesepuh Tegalsari. (*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015