Malang (Antara Jatim) - Pakar transportasi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Prof Achmad Wicaksono, menyatakan gondola atau kereta gantung tidak cocok untuk alat transportasi massal di Kota Malang karena tidak sesuai karakteristik dan mobilitas masyarakat setempat.
"Kereta gantung akan lebih cocok dan lebih tepat digunakan untuk kota wiasata, seperti Batu, dan tidak cocok untuk angkutan massal yang mobilitas masyarakatnya cukup tinggi. Oleh karena itu, saya lebih cenderung komuter atau monorel untuk angkutan massal di Kota Malang," kata Prof Wicaksono di Malang, Jumat.
Menurut dia, prinsip transportasi massal adalah ketepatan waktu, keamanan dan kenyamanan. Sedangkan kereta gantung masih belum memenuhi syarat itu, apalagi kereta gantung berada di ketinggian, jika macet proses evakuasinya juga sangat sulit dan membutuhkan waktu lama.
Ia mengakui investasi pembangunan kereta gantung memang lebih murah jika dibandingkan monorel, namun dari segi kecepatan dan keamanan, monorel lebih bagus daripada kereta gantung. Oleh karenanya, kereta gantung lebih tepat dan cocok digunakan sebagai alat transportasi di wilayah wisata.
"Saya rasa kalau Pemkot Batu menggagas kereta gantung untuk transportasi wisatawan itu sudah tepat, tetapi kalau di Kota Malang, lebih baik menggunakan alat transportasi massal lainnya karena karakteristik wilayah dan masyarakatnya yang dinamis, kurang cocok," ujarnya.
Belum lama ini Kepala Bappeda Kota Malang, Wasto, mengatakan pemkot tetap ingin mengembangkan transportasi massal berupa kereta gantung. Selain membuat kajian untuk pengembangan kereta gantung, Pemkot Malang juga membuat kajian untuk monorel sebagai alternatif yang memungkinkan untuk diterapkan di daerah itu.
"Sekarang kami sedang membuat kajian untuk mengembangan transportasi monorel dan kereta gantung, mana yang berpeluang, akan kami terapkan, apalagi kalau keduanya bisa diwujudkan," ucapnya.
Sebab, lanjutnya, dari segi pendanaan dua alat transportasi massal itu berbeda, pendanaan monorel bisa dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), sedangkan kereta gantung dari investor atau pihak ketiga.
Wasto mengatakan, pembangunan transportasi ini harus terintegrasi di wilayah Malang raya, artinya harus melibatkan Kabupaten Malang dan Kota Batu, dimana kajiannya juga dilakukan bersama-sama.
"Sebenarnya saya sudah membuat agenda untuk melakukan pertemuan dengan Kepala Bappeda Kota Batu maupun Kabupaten Malang, namun masih belum terlaksana karena kesibukan masing-masing," katanya.
Hanya saja, Kemenhub belum lama ini justru mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan transportasi massal kereta api di dalam kota, bahkan mendorong untuk melakukan reaktivasi rel KA peninggalan Kolonial Belanda, seperti yang bakal diterapkan di Surabaya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015