Surabaya (Antara Jatim) - Tiga tokoh perempuan yang juga "ibu" dari anak-anak jalanan, anak-anak eks-Lapas, dan anak-anak korban konflik (Poso), berbagi kiat "menaklukkan" anak-anak bermasalah dalam diskusi untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Diskusi yang digelar di Konsulat Jenderal AS di Surabaya, Senin, itu menghadirkan tiga tokoh perempuan, yakni Yuliati Umrah ("ibu" anak-anak jalanan Surabaya/pendiri Yayasan Arek Lintang atau ALIT Surabaya), Prof Yusti Probowati (pendiri Rumah Hati Jombang untuk menampung anak-anak eks-Lapas), dan Lian Gogali (penggagas Project Sophia untuk mengatasi trauma anak-anak korban konflik Poso). "Anak-anak di jalanan itu mengalami dilema, karena di jalanan mereka mengalami kekerasan dari Satpol PP, polisi, dan sebagainya, sedangkan bila pulang ke rumah tanpa membawa uang pun akan mengalami kekerasan. Bagi mereka, kekerasan menjadi hal lumrah," kata Yuliati Umrah. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan Pemkot Surabaya selama ini juga tidak "nyambung" karena diberi pembinaan dengan diberi seragam, padahal cara itu sama halnya menganggap anak-anak sebagai aset atau barang. "Cara yang sama juga dilakukan para orang tua yang menganggap anaknya nakal, lalu dimasukkan pesantren untuk belajar agama, padahal cara itu membuktikan kita tidak paham cara mengasuh anak," katanya. Dalam diskusi bertema "Make It Happen: Redefining the Past, Shaping the Future" itu, ia menegaskan bahwa anak-anak itu hanya perlu dipahami potensi mereka, lalu diberi wadah berkreativitas yang partisipatif dan tidak terkesan diatur. "Saya membuat wadah bagi anak-anak jalanan itu untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka, seperti seni, olahraga, dan kreativitas lain. Hasilnya, ada atlet SMP yang membawa nama baik Pemkot Surabaya dalam lempar lembing dan lompat jauh," katanya. Sementara itu, pendiri Rumah Hati Jombang untuk menampung anak-anak eks-Lapas, Prof Yusti Probowati, menyatakan penyebab anak berhadapan dengan hukum (ABH) adalah keluarga tidak utuh dan rekan sebaya yang negatif. "Untuk menangani mereka bukan dengan penjara atau lapas, karena cara itu tidak efektif. Buktinya, ABH penghuni Lapas Anak itu rata-rata sudah 3-4 kali masuk lapas. Karena itu, saya dan beberapa rekan mendirikan Rumah Hati untuk konseling, terapi trauma, kewirausahaan," katanya. Sementara itu, penggagas Project Sophia untuk mengatasi trauma anak-anak korban konflik Poso, Lian Gogali, menyatakan dirinya merupakan peneliti yang sering menemui pengungsi korban konflik Poso. "Di situ, saya melihat anak-anak mengalami trauma atas apa yang dilihat dan dialami. Mereka suka warna merah dan hitam yang merupakan simbol pengalaman mereka dengan kebakaran dan senjata api, sehingga mereka sulit bertemu dengan kelompok yang berbeda dengan dirinya," katanya. Oleh karena itu, pihaknya mencari media bertemu yang lintas agama dan lintas suku yang akhirnya bertemu media buku yang mampu menyatukan mereka, karena buku memang tidak beragama dan bersuku. "Target saya, anak-anak akan menjadi perajut perdamaian," katanya. Dalam kesempatan itu, Humas Konjen AS Carolina Escalera, mengatakan Hari Perempuan Internasional merupakan "start" untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan advokasi hak untuk perempuan. "Hari ini, kita peringati dengan pencapaian luar biasa dari perempuan," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015