Surabaya (Antara Jatim) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Timur mengingatkan pemerintah daerah di provinsi setempat untuk menyosialisasikan surat edaran standar perusahaan pers yang diterbitkan dewan pers.
"Masih ada di daerah tertentu yang pemerintah kota/kabupatennya tidak disiplin menyebarkan surat edaran pers," ujar Ketua PWI Jatim Akhmad Munir di sela seminar pers bertema "Menegakkan Kembali Peran Pers sebagai Pilar Keempat Demokrasi untuk Menunjang Pembangunan di Jawa Timur" di Kantor Kominfo Jatim di Surabaya, Selasa.
Ia menjelaskan ada dua surat edaran standar perusahaan pers di Indonesia yang dilahirkan dan diberlakukan pada 2006, namun digencarkan kembali sejak Februari 2014.
Pertama, dalam surat edaran ditegaskan bahwa seluruh perusahaan pers harus berbadan hukum atau menjadi Perseoran Terbatas (PT), dengan harapan ingin mengajak perusahaan pers untuk sehat.
Ciri-ciri perusahaan pers yang sehat, kata dia, antara lain rutin membayar gaji wartawan dengan standar perusahaan, membayar pajak, memberikan THR, intensif, bonus, asuransi kesehatan dan lainnya.
"Ini semacam 'pemaksaan' agar perusahaan sehat, meski kecil. Jadi jangan sampai liar," kata Kepala Perum LKBN Antara Biro Jatim tersebut.
Pihaknya menjelaskan keuntungan berbadan hukum dan sesuai standar perusahaan pers yakni, produk jurnalistiknya masuk ke delik hukum pers sehingga saat terjadi sengketa pers akibat aduan publik maka yang diberlakukan terhadap wartawan bersangkutan adalah Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Jadi, wartawan merasa terlindungi karena penyelesaiannya berdasarkan UU, di antaranya penggunaan hak jawab, hak koreksi, kemudian somasi dan diselesaikan di dewan pers melalui semangat permusyawaratan," tukasnya.
Berdasarkan catatan PWI Jatim, sejak 2009 dewan pers telah mengalami 400 kasus laporan dari publik yang merasa dirugikan pemberitaannya, namun tidak satupun kasus diselesaikan ke jalur hukum karena tuntas melalui musyawarah.
Namun, lanjut dia, jika perusahaan pers tak berstandar sesuai aturan berlaku, kemudian terjadi kasus sengketa pemberitaan maka dianggap bulan produk jurnalistik dan penyelesaiannya melalui peraturan sesuai KUHP dan jalur hukum.
Wartawan senior tersebut mencontohkan kasus "Obor Rakyat" yang mengemuka menjelang Pemilihan Presiden 2014.
"Setelah melalui berbagai penelusuran, ternyata Obor Rakyat tidak tercatat sebagai perusahaan pers sesuai standar dan bukan dianggap produk jurnalistik sehingga diselesaikan sesuai hukum KUHP," tuturnya.
Sementara itu, surat edaran pers kedua yakni sertifikasi wartawan melalui uji kompetensi wartawan (UKW) yang menjadi kewajiban bagi pekerja jurnalistik.
"Wartawan Indonesia harus bersertifikasi untuk menghindari dan mengurangi wartawan yang kerjanya meminta uang, memeras dan mengancam narasumber untuk kepentingan tertentu, khususnya di daerah," ucapnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015