Surabaya (Antara Jatim) - Pertamina mengungkap tiga alasan kenaikan harga elpiji 12 kilogram yakni hasil audit BPK terkait temuan kerugian negara, pengabaian temuan BPK bisa mendorong pimpinan Pertamina berurusan dengan KPK, dan UU BUMN mengatur BUMN tidak boleh rugi. "Temuan BPK menunjukkan kerugian Pertamina terkait subsidi untuk elpiji 12 kilogram itu mencapai Rp5,3 triliun pada tahun lalu atau dalam lima tahun terakhir mencapai Rp17 triliun," kata Manajer Media Pertamina, Adiatma Sardjito, di Surabaya, Senin. Dalam Sosialisasi Gas Elpiji 12 Kilogram di kampus B Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bersama Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, ia menjelaskan "perintah" BPK itu harus dipenuhi dan bila tidak dipenuhi akan berurusan dengan KPK. "Apalagi, UU 19/2003 tentang BUMN mengatur BUMN itu tidak boleh rugi, karena itu kami melakukan penyesuaian harga dan hal itu dilakukan hanya untuk elpiji 12 kilogram, sedangkan elpiji 3 kilogram tidak ada penyesuaian harga sama sekali," katanya. Menurut dia, potensi kerugian negara itu akan diatasi dengan penyesuaian harga secara bertahap dalam 3-4 kali kenaikan per semester. "Kenaikannya berkisar Rp1.500 hingga Rp2.000 per kilogram," katanya. Dengan kenaikan harga sebesar itu, maka kenaikan tahap pertama untuk harga elpiji 12 kilogram berkisar dari Rp95 ribu menjadi Rp120 ribu. Untuk gas elpiji lainnya tidak ada kenaikan harga, karena Pertamina secara umum sebenarnya sudah untung. Namun, pihaknya belum dapat menentukan waktu untuk kenaikan harga itu. "Kami hanya bisa pastikan bahwa kenaikan akan dilakukan dalam waktu dekat, bisa jadi tahun ini," katanya dalam acara yang diawali dengan paparan dari Tim Sosialisasi Penyesuaian Harga Elpiji 12 Kg, Willy Kurniawan dan Arif Rahman. Tentang dampak kenaikan harga elpiji 12 kilogram, ia menyatakan dampak kenaikan harga elpiji 12 kilogram itu tidak akan berpengaruh besar, karena pengguna elpiji 12 kilogram hanya 17,5 persen dan umumnya dari kalangan menengah ke atas. "Yang akan kita antisipasi adalah kemungkinan migrasi dari pengguna elpiji 12 kilogram ke 3 kilogram, karena itu kami akan melakukan sistem monitor elpiji 12 kilogram atau disingkat simolek melalui sebuah tim. Kami juga berharap laporan masyarakat lewat 021-500-000," katanya. Selain itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk mendeteksi dan menyelidikan tindak kriminal, seperti penimbunan, oplosan, atau penyuntikan tabung elpiji dari 3 kilogram ke 12 kilogram. Sementara itu, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan kenaikan harga elpiji 12 kilogram harus diikuti dengan perbaikan tata niaga, misalnya penjualan elpiji tertentu dalam pasar tertutup, disparitas harga diperkecil dengan PSO, dan perbaikan jalur distribusi. "Perbaikan jalur distribusi itu bisa dilakukan dengan pembangunan kilang minyak untuk mengantisipasi naiknya impor akibat kebutuhan yang mencapai 1,3 juta barel gas perhari dibandingkan dengan ketersediaan Pertamina yang hanya 800 ribu barel gas perhari," katanya. Namun, rencana pembangunan kilang minyak itu "dipotong" pemain asing yang ingin mengeruk keuntungan dari "pasar" Indonesia melalui kerja sama dengan menteri atau pejabat terkait, meski pemerintah sudah menyediakan anggaran Rp130 triliun untuk kilang itu, tapi tiba-tiba dibatalkan. "Selain itu, perbaikan jalur distribusi juga harus dilakukan dengan pembangunan stasiun gas terdekat, sehingga jangan sampai kebutuhan gas untuk Papua dipasok dari Surabaya, sehingga biaya transportasi menjadi mahal, mungkin bisa dari wilayah yang lebih dekat. Bisa juga pemerintah memberikan PSO untuk wilayah tertentu," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014