Rencana Pemkot Surabaya yang akan menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara yakni Dolly dan Jarak pada 19 Juni 2014, agaknya menuai tentangan dari sejumlah pihak.
Tidak hanya para pekerja seks komersial (PSK), mucikari, warga setempat, dan juga para politisi, ganjalan juga datang dari perbedaan pendapat antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan wakilnya Wisnu Sakti Buana.
Wisnu menyatakan penutupan Dolly tidak bisa dipaksakan. Pernyataan Wisnu Sakti yang disampaikan media massa itu pun memberi semangat kepada para warga penghuni di kawasan Dolly. Kini mulai muncul sejumlah Ormas dan pergerakan yang turut melakukan pembelaan terhadap keberadaan lokalisasi Dolly.
Misalnya, pembelaan dari sekitar 200 warga Dolly dengan menyematkan PIN Capres PDIP Jokowi di bajunya saat melakukan unjuk rasa di Gedung Negara Grahadi dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasinal (May Day) pada 1 Mei 2014.
Arak-arakan aksi buruh yang berangkat dari gang Dolly antara lain Komunitas Pemuda Independent (Kopi), Gerakan Rakyat Bersatu (GRB) dan Paguyupan Pekerja Lokalisasi (PPL) yang membawa sejumlah poster dan spanduk dengan tulisan penolakan penutupan lokalisasi di Dolly.
Pernyataan Wisnu Sakti yang saat ini masih menjabat sebagai ketua DPC PDIP Surabaya terkait penutupan lokalisasi Dolly akan mendapatkan dukungan kader dan simpatisan PDIP, apalagi wilayah Dukuh Kupang dan Putat Jaya dikenal sebagai kantong massa dari partai berlambang banteng moncong putih ini.
Wisnu Sakti mengharapkan untuk penutupan lokalisasi Dolly semestinya warga sekitar lokaliasasi, yakni Putat Jaya, diajak musyawarah terlebih dahulu sebelum penutupan dilakukan. "Beberapa kali saya turun ke sana, ternyata warga di sana mengeluhkan belum pernah diajak berembuk soal penutupan," ucapnya.
Wisnu menganggap saat ini warga masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Dolly. Warga setempat banyak menggantungkan hidupnya dari keberadaan lokalisasi ini, di antaranya dengan bekerja sebagai tukang laundry, salon, warung makanan, toko pracangan serta lainnya.
Namun, Tri Rismaharini menjelaskan penutupan lokalisasi ini bukan hanya atas dasar perda dan UU semata, tapi juga ingin menyelamatkan masa depan anak-anak yang ada di sana. Anak-anak di Dolly, kata dia, harus diberi wawasan yang lebih luas bahwa lingkungan tempat mereka tinggal itu tidak hanya berupa praktik-praktik prostitusi.
Terkait tidak adanya pelibatan warga dalam proses penutupan Dolly, Risma menyatakan sasaran penutupan adalah rumah-rumah yang selama ini menjadi tempat praktik prostitusi (wisma), sehingga yang dilibatkan adalah para penghuni wisma, baik itu PSK maupun mucikari.
Tapi, pihaknya tetap membuka kesempatan pada warga setempat untuk ikut dalam pelatihan ketrampilan yang diadakan pemkot agar mereka juga memiliki solusi bila lokalisasi Dolly ditutup pada 19 Juni 2014.
Pandangan lain datang dari Ketua DPRD Kota Surabaya M. Machmud. "Rencana menutup lokalisasi Dolly dan Jarak itu tidak boleh kendur atau terpengaruh oleh reaksi penolakan oleh warga setempat. Reaksi penolakan dan dampaknya itu sudah diantisipasi oleh pemkot. Jadi pemkot tidak boleh terpengaruh," ujarnya.
Baginya, penutupan lokalisasi dimana-mana selalu menuai banyak protes khususnya warga yang diuntungkan dari bisnis prostitusi. "Antisipasi yang harus dilakukan pemkot sudah benar, salah satunya memberikan pesangon kepada pekerja seks komersial (PSK) maupun mucikari, memberikan pelatihan kerja serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru. Pemerintah menjamin agar mereka tidak kelaparan atau kesulitan mencari tempat kerja," ucapnya.
Bahkan, nasib PSK ini lebih baik jika dibandingkan dengan para pedagang kaki lima (PKL) yang terkena penggusuran. Banyak PSK yang bukan warga Surabaya tetap diberi pesangon dan pelatihan serta diantar pulang ke kampung halamannya. "Beda dengan PKL meski warga Surabaya yang terkena gusur tidak diberi pesangon. Artinya, PSK mendapat perlakuan khusus," tukasnya.
Jadi, penutupan Dolly dan solusi pasca-penutupan itu merupakan "satu paket", baik untuk "penghuni" lokalisasi itu sendiri maupun warga sekitarnya, sehingga "win win solution" dan tidak berkembang menjadi polemik yang bisa disulut siapa saja... (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014