Bojonegoro (Antara Jatim) - Pemkab Bojonegoro, Jatim, akan mengeluarkan ketentuan yang berisi larangan pemberian uang saku kepada pemilih dalam pemilihan kepala desa (pilkades) baik yang dilakukan panitia maupun calon kepala desa (cakades). "Larangan pemberian uang saku di dalam pilkades masih dalam rancangan peraturan daerah (raperda) tentang desa," kata Kepala Bagian Hukum dan Perundang-Undangan Pemkab Bojonegoro Agus Supriyanto, Rabu. Menurut dia, raperda tentang desa itu bukan merupakan raperda baru, tapi mengubah Perda No.10 tahun 2010 tentang Desa yang berisi berbagai ketentuan di dalam pilkades. "Raperda tentang desa yang berisi larangan memberikan uang saku sudah kita ajukan ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan," katanya, menegaskan. Lebih lanjut ia menjelaskan larangan pemberian uang saku di dalam pilkades yang biasa disebut uang "tuk" merupakan upaya menekan biaya pelaksanaan pilkades yang harus ditanggung calon kepala desa (cakades). Sebab, lanjutnya, pelaksanaan pilkades di daerahnya yang sudah berjalan selama ini ada uang saku yang menjadi tanggung jawab cakades dengan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan yang harus diberikan kepada pemilih usai mencoblos. Ia mencontohkan pilkades di sebuah desa di Kecamatan Dander dengan jumlah lima cakades besarnya biaya yang harus ditanggung masing-masing cakades di dalam pilkades mencapai Rp55 juta. "Uang saku yang diberikan setelah pemilih mencoblos prinsipnya sebagai ganti pemilih tidak bekerja yang besarnya bisa Rp200 ribu sampai Rp300 ribu/pemilih," jelasnya. Oleh karena itu, katanya, raperda tentang desa juga berisi sanksi yang bisa dijatuhkan kepada panitia maupun cakades yang melanggar. "Pelaksanaan pilkades akan diawasi tim desa, kecamatan sampai kabupaten. Bagi panitia yang terbukti memberikan uang saku akan diberhentikan termasuk cakades yang terbukti memberikan uang saku akan digugurkan dalam pencalonan," katanya, menegaskan. Masih di dalam raperda itu, lanjut Agus, juga berisi pelaksanaan tes tertulis pilkades ditiadakan, namun ijasah cakades tetap minimal SLTP atau sederajat. Di dalam raperda yang baru itu, kata dia, tidak menyebutkan jumlah batasan minimal pemilih yang hadir dalam sebuah pilkades, sehingga berapapun jumlah pemilih yang hadir maka pilkades sah. "Kalau perda yang lama pilkades dianggap sah kalau pemilih yang hadir 2/3 dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT)," jelasnya. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013