Oleh Budi Setiawanto Jakarta, 16/8 (Antara) - Krisis yang makin memburuk di Mesir seolah menjadi kaca benggala bagi Indonesia dan betapa perjalanan bangsa Indonesia sepanjang usia ke-68 tahun ini, lebih baik dan beruntung dibanding negeri piramid yang kaya dengan peradaban kuno itu. Mesir yang mencoba pengalaman baru dengan melakukan reformasi pascadilengserkannya pemerintahan diktator Presiden Hosni Mubarak selama 30 tahun sejak 14 Oktober 1981 - 12 Februari 2011. Ternyata terjebak pada kekerasan yang belum berujung dan perang saudara antara pendukung mantan Presiden Mesir Mohamad Mursi dengan pendukung pemerintahan baru hasil kudeta militer makin memburuk dan menambah korban jiwa dan luka-luka dari rakyat Mesir lebih banyak bahkan Wakil Presiden Mesir Elbaradei telah mengundurkan diri. Pemerintahan Mursi yang terpilih melalui hasil pemilu yang diumumkan pada 24 Juni 2012, setelah mengantongi 51,73 persen suara dan dilantik pada 30 Juni 201,2 ternyata tergerus oleh desakan sebagian rakyatnya yang menuntut pengunduran diri hingga akhirnya dikudeta oleh militer pada 3 Juli 2013 dan sejak itu Mesir tenggelam dalam perang saudara. Sementara bagi Indonesia, reformasi berjalan relatif lebih baik setelah Presiden Soeharto selaku pimpinan rezim Orde Baru menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998, meskipun sempat dilanda oleh beberapa kali kerusuhan massa menjelang kejatuhan Soeharto. Meskipun Indonesia lebih heterogen dan lebih beragam dalam kekayaan etnis suku bangsa dibandingkan Mesir, agenda reformasi di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Mesir yang kini sedang sekarat sebagai sebuah bangsa. Proses reformasi di Indonesia telah berlangsung selama 15 tahun sejak Pemerintahan Presiden Habibie, yang dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati dan terus berlangsung hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Indonesia telah melewati era transisi demokrasi. Sejumlah tantangan dan ujian telah dilalui. Konsolidasi demokrasi semakin kita tingkatkan melalui penguatan sistem, kelembagaan, dan budaya demokrasi. Presiden Yudhoyono saat menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Bersama DPD dan DPR dalam memperingati HUT ke-68 Kemerdekaan RI di Jakarta, Jumat, menggambarkan bahwa demokrasi semakin tumbuh dan mekar. Hal ini ditandai, antara lain dengan makin berfungsinya "checks and balances" antarcabang kekuasaan negara, terlaksananya desentralisasi dan otonomi daerah, terselenggaranya pemilihan umum secara berkala, damai, "fair" dan demokratis, serta terbangunnya kelengkapan lembaga negara, yang menjamin kehidupan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Indonesia juga semakin memperkuat tegaknya pranata hukum (rule of law). Negara juga terus meningkatkan efektivitas penegakkan hukum, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta semakin menjamin perlindungan serta aksesibilitas bantuan hukum bagi setiap warga, demi terwujudnya keadilan untuk semua (justice for all). "Sesungguhnya, apa yang telah kita lakukan dewasa ini tidak sebatas reformasi tetapi sebuah transformasi. Oleh karena itu, perubahan yang kita kelola merupakan sebuah proses yang mendasar, melibatkan peran aktif berbagai aktor penyelenggara negara, masyarakat, dan termasuk pula komunitas dunia usaha," kata Presiden. Berkaca pada pengalaman di kawasan lain, Indonesia telah mampu melalui proses transisi demokrasi dengan relatif damai. Indonesia tidak hanya berhasil melewati tahap yang paling kritis, tetapi juga telah mampu menjaga serta terus memperkuat tatanan kehidupan bernegara yang lebih baik. Presiden juga menggambarkan realitas dan situasi global dewasa ini masih diwarnai ketidakpastian, baik di bidang politik, keamanan, maupun ekonomi. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara misalnya, proses transisi ke arah demokrasi masih belum menentu. Dalam situasi dunia seperti ini, dan ketika hubungan internasional semakin kompleks dan dinamis, suatu paradigma baru diperlukan. Indonesia berpandangan sangatlah penting untuk mengedepankan semangat kebersamaan antarnegara, bagi tercapainya stabilitas bersama, keamanan bersama, dan kemakmuran bersama. Indonesia berketetapan untuk senantiasa menjadi bagian dari solusi terhadap berbagai persoalan global. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia selalu mengajak untuk mewujudkan "dynamic equlibrium"; keseimbangan yang dinamis. Suatu kondisi yang ditandai dengan tidak adanya kekuatan negara yang dominan. Pola hubungan yang dilandasi oleh semangat kerja sama dan kemitraan, bukan kompetisi apalagi konfrontasi. Suatu keyakinan bahwa kemajuan sebuah negara bukanlah ancaman bagi negara lain, tetapi justru peluang bagi peningkatan kerja sama dan kemitraan. Indonesia juga berpandangan, kini sudah tiba saatnya bagi kawasan Asia Pasifik, bahkan Indo-Pasifik, untuk mengupayakan sebuah traktat persahabatan dan kerja sama (treaty of friendship and cooperation). Instrumen ini bertujuan untuk meningkatkan saling percaya; menge-sampingkan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa; serta berlandaskan semangat kebersamaan. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berkomitmen untuk terus memastikan kesiapan menuju pembentukan Komunitas ASEAN 2015 melalui tiga pilar-pilar politik dan keamanan, ekonomi, maupun sosial-budaya. Kita juga aktif melibatkan masyarakat dalam proses ini, agar Komunitas ASEAN dapat memberi manfaat dan kemaslahatan bagi semua. Indonesia menaruh perhatian pada perkembangan politik dan keamanan di sejumlah negara Timur Tengah, terutama di Suriah, Mesir dan Palestina. Berlarutnya instabilitas politik di Timur Tengah juga berdampak pada stabilitas dan keamanan global. Indonesia bersama masya-rakat internasional, aktif mendorong berbagai langkah untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam kasus Suriah, Indonesia mendorong para pemimpin negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB untuk lebih berperan aktif, dalam mencari penyelesaian krisis politik dan keamanan di negeri itu. Dunia tidak boleh berpangku tangan, dan membiarkan krisis kemanusian itu terus berlanjut. "Untuk menemukan solusi, saya telah berbicara dengan sejumlah tokoh dunia yang memiliki pengaruh besar bagi penyelesaian konflik Suriah; termasuk Sekjen PBB, Presiden Rusia, Perdana Menteri Turki, dan Presiden Iran. Untuk tujuan yang sama, saya juga telah berkirim surat kepada para kepala negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris dan Prancis," tutur Presiden Terkait perkembangan di Mesir, Indonesia menyampaikan harapan agar krisis politik dapat segera teratasi. Serta proses rekonsiliasi nasional dapat segera dimulai. Indonesia sangat prihatin atas apa yang terjadi di Mesir hari-hari terakhir ini. "Kita berharap korban jiwa yang terus berjatuhan dapat segera dihentikan. Penggunaan kekuatan dan senjata militer dalam menghadapi para pengunjuk rasa, tentulah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan," kata Presiden Yudhoyono. Saya menyeru agar pihak-pihak yang berhadapan bisa saling menahan diri. Peran para pemimpin dan elit politik sangat menentukan. Meskipun situasi yang dihadapi oleh Mesir sangatlah tidak mudah tetapi selalu ada jalan keluar, jika semua pihak mau membangun kompromi dan "win-win solution". Gigih Pada awal transisi 15 tahun yang lalu, Indonesia mengalami krisis multidimensi akibat keruntuhan ekonomi, ketidakstabilan politik. kerusuhan sosial, separatisme, konflik komunal, kekerasan antaretnis, terorisme. Situasi sedemikian parahnya sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru, hancur berkeping-keping. Namun, bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut dengan menyelesaikan permasalahan satu per satu seperti menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun, mengembalikan stabilitas politik dan ekonomi, menegakkan hukum, memperkuat institusi demokrasi dan mewujudkan masyarakat madani, memperbaiki citra bangsa di luar negeri dengan politik bebas aktif, serta mengatasi diskriminasi. Indonesia pun kemudian sering disebut sebagai salah satu kisah transformasi yang paling berhasil pada abad ke-21. Bahkan Indonesia telah meruntuhkan beberapa mitos tentang demokrasi, termasuk mitos hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa dekade lalu Indonesia gagal memilih dua tujuan penting, "apa banyak demokrasi tapi pertumbuhan ekonomi rendah atau pertumbuhan ekonomi tinggi tapi sedikit kebebasan politik". Pemerintah berhasil menjaga dinamika demokrasi yang makin kuat seusai reformasi dan pertumbuhan ekonomi terus membaik selepas krisis 1998. Indonesia mencapai demokrasi yang solid dengan tiga periode pelajaran 1999, 2004 dan 2009, dan pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi sekitar enam persen. Itu menunjukkan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dapat saling mendukung, sehingga meruntuhkan mitos demokrasi untuk mengutamakan ekonomi dahulu atau kebebasan berdemokrasi. Empat strategi pembangunan dari pemerintah yang meliputi propertumbuhan, propekerjaan, propengentasan kemiskinan, dan prolingkungan terimplementasi sehingga sangat mendukung penguatan demokrasi untuk berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Strategi yang ditunjang prinsip pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan ini bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif. Pemerintah juga mempromosikan pasar domestik yang tahan dan vibran. Strategi ini efektif tetap menjaga perekonomian Indonesia dari pelemahan ekonomi dunia. Runtuhkan mitos Indonesia juga meruntuhkan mitos bahwa demokrasi dan Islam tidak bisa berjalan bersama. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah membuktikan bahwa demokrasi dapat berjalan beriringan dengan Islam. Indonesia juga melakukan berdasarkan kemampuan untuk memastikan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis, serta semua umat beragama- Muslim, Kristiani, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya-dapat hidup berdampingan dalam kebebasan dan persaudaraan. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 255.000 masjid, lebih dari 13.000 pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Budha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu, serta lebih dari 61.000 gereja, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Banyak tempat ibadah itu dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama. Di lingkungan eksternal, Indonesia juga terus menjadi kekuatan bagi perdamaian dan kemajuan. Selain itu, Indonesia telah mematahkan pemikiran bahwa demokrasi membutuhkan kelas menengah yang banyak. Presiden memaparkan, saat pertama kali Pemilu multipartai pada 1999, kelas menengah Indonesia relatif kecil, sekitar 25 persen dari seluruh populasi atau sekitar 45 juta orang. Dalam dua kali Pemilu berikutnya yakni pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, para pemilih secara konsisten tinggi, rata-rata 77 persen, angka pemilih tertingi di dunia di antara negara-negara demokrasi terbuka. "Itu artinya antusiasme untuk berdemokrasi tinggi di seluruh tingkatan masyarakat, baik kaya, kelas menegah dan yang miskin. Indonesia juga meruntuhkan mitos bahwa demokrasi akan menghancurkan persatuan." Saat krisis terjadi lalu muncul reformasi, banyak kalangan yang mengatakan Indonesia akan menjadi seperti Balkan, runtuh dan bercerai berai. Namun kenyataannya, demokrasi justru telah mengikat Indonesia yang majemuk lebih kuat dari sebelumnya. Pemerintah tidak menutup mata bahwa saat ini Indonesia masih tetap menghadapi sejumlah tantangan. Kantung-kantung intoleransi tetap ada, konflik komunal terkadang masih mudah tersulut, sensitivitas keagamaan kadangkala menimbulkan perselisihan, kelompok-kelompok masyarakat tertentu mengambil tindakan secara sepihak, riak radikalisme masih tetap ada. Itu bukan merupakan permasalahan yang hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi merupakan fenomena global. Untuk itu, Indonesia terus berbenah. Pemerintah mengakui masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, harus terus memajukan transformasi Indonesia seraya mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Indonesia tampaknya tak bisa lepas dari jati diri bangsanya yang memiliki kekhasan bila dibandingkan banyak negara lain di dunia. Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup sekaligus cita-cita bangsa Indonesia, yang berfungsi mengokohkan berdirinya negara Indonesia, dan penunjuk arah tujuan bangsa Indonesia, serta diterimanya Pancasila sebagai dasar negara yang mengatur ketatanegaraan bangsa Indonesia. Dalam Pancasila sudah terkandung demokrasinya bangsa indonesia yaitu "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Sila keempat inilah yang menjadi demokrasi bangsa indonesia, berbeda dengan demokrasi yang berpedoman pada dunia barat, yang menghendaki pemilihan kepemimpinan dari kaum mayoritas. Tujuan demokrasi harus mencerminkan Pancasila sila ke-5 yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia", dan untuk mewujudkanya, maka haruslah menjalankan amanat dari sila ke-2 sampai sila ke-3, dengan berlandaskan pada sila ke-1 "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dirgahayu Republik Indonesia.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013