"Forbidden City" dan Kejayaan Kekaisaran China
Jumat, 3 Agustus 2012 9:34 WIB
Oleh Abdul Hakim
Surabaya - Siang itu, cuaca di Kota Beijing, China sedang hujan gerimis dan sedikit kabut. Namun, simbol-simbol kebesaran China berupa kemegahan arsitektur tradisional masih bisa dilihat di jantung Kota Beijing.
Di pusat kota itu lah kejayaan kekaisaran China berupa bangunan istana yang kerap disebut "Forbidden City" (Kota Terlarang) dapat dilihat. Bangunan tersebut merupakan rumah bagi 24 kaisar yang hidup pada masa Dinasti Ming hingga Dinasti Qing.
Pada saat melewati kota di Beijing itu, kebanyakan wisatawan pasti teringat akan sebuah film "The Last Emperor" yang meraih sukses sejumlah penghargaan Oscar. Bahkan di film itu kebanyakan mengambil latar kota bekas tempat tinggal kaisar China.
"Tiba-tiba saya teringat dengan film 'The Last Emperor'. Luar biasa, saya bisa langsung melihat sekarang," kata salah satu pengunjung, Robi, yang ikut dalam rombongan Pemkot Surabaya beberapa hari lalu.
Pemandu wisata Yuli, mengatakan pembangunan "Forbidden City" dimulai dari 1406 hingga tahun 1417 masehi yang dilengkapi dengan sebuah benteng sepanjang 3,5 kilometer. Bangunan ini merupakan simbol dari kultur oriental, serta dianggap sebagai karya seni paling apik dari arsitektur tradisional China pada masa itu.
"Tempat ini dulu sangat terlarang bagi siapapun, kecuali para kaisar yang dianggap sebagai titisan Tuhan. Makanya kota ini disebut kota terlarang," paparnya.
Namun, saat ini "Forbidden City" telah dibuka untuk umum dan menjadi tempat wisata favorit bagi para turis. Ada beberapa tempat biasa dikunjungi ketika menyambangi "Forbidden City", seperti "Six Eastern Palace", "Palace of Abstinence", dan "Palace of Heavenly Purity" yang merupakan istana-istana kecil tempat para selir kaisar.
Tak hanya itu, lanjut dia, terdapat pula istana lainnya seperti "Hall of Mental Cultivation", "Outer East Route", dan "Three Rear Palace" yang semua itu adalah tempat para dayang-dayang istana serta tempat para pejabat istana. Bahkan ada empat taman utama yaitu "Imperial Garden", "The Garden of Benevolent Tranquilty", "The Garden of Creating Happiness" dan "Qianlong Garden".
"Imperial Garden" adalah yang terbesar. Terletak di belakang istana, "Imperial Garden" memiliki luas 12 ribu meter persegi, serta ditata dengan sangat apik dan cantik. Sebagai salah satu situs warisan Dunia, UNESCO menempatkan "Forbidden City" berada di jajaran istana-istana terpenting di dunia bersama Istana Versailles di Prancis, Istana Buckingham di Inggris, Gedung Putih di AS dan Istana Kremlin di Rusia.
Menurut Yuli, kota ini merupakan kawasan eksklusif kekaisaran selama hampir 500 tahun, dari selesai dibangun pada 1420 hingga kaisar terakhir Pu Yi, yang dipaksa turun tahta pada awal abad ke-20.
"Kota ini juga menjadi tempat favorit kaisar saat musim dingin," ujarnya.
Lapangan Pembantaian
Sebelum masuk ke "Forbiden City", para wisatawan akan melewati lapangan bersejarah Tian’an Men. Lapangan ini merupakan salah satu tempat terkenal di dunia. Bukan karena keindahannya, melainkan kisahnya.
"Disinilah ribuan aktivis China dibantai ketika melakukan demo besar-besaran menentang pemerintah pada 1989," kata Yuli.
Meskipun sekarang sudah tidak ada demo, tempat ini masih dijaga ketat oleh petugas kepolisian setempat.
Menurut dia, Tian'an Men adalah tempat yang berarti "Pintu Surga yang Damai". Lapangan seluas 440 ribu meter persegi ini berada di sebelah utara istana, dibangun pada 1417 saat Dinasti Ming dan Qin, untuk melengkapi "Forbidden City".
Inilah lapangan terbesar di dunia, lebih besar dari Lapangan Merah di Moskow, Rusia. Di Tian’an Men inilah Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949 dengan mesin politik Partai Komunis.
Tapi, di Lapangan Tian’an Men pula, di Pintu Surga yang Damai, pada 4 Juni 1989 tragedi itu terjadi. Kaum muda China dibantai oleh tentara. Sedikitnya 3.000 mahasiswa, pejuang demokrasi, ditembak mati.
China yang ketika Revolusi Kebudayaan di bawah Mao Zedong menewaskan sedikitnya 20 juta manusia, seakan meneguhkan betapa penguasa Negeri Tirai Bambu itu seperti haus darah.
China pun sempat dikutuk dunia, tetapi capaian kemajuan ekonomi China yang kian jelas jejaknya ditambah posisi China sebagai salah satu pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB, membuat Negeri Panda itu selalu lepas dari tekanan dunia.
Terlebih kini, 23 tahun kemudian, China telah benar-benar menjadi raksasa dunia. Dunia seperti lupa pada tragedi itu. Pemerintah China seperti sengaja menjadikan "peristiwa berdarah" itu justru jadi magnet pariwisata.
China berupaya mengembalikan tragedi pada asas semula yakni "Pintu Surga yang Damai". Tian’an Men kini terus dipoles. Bahkan setiap hari di tengah kerumunan puluhan ribu manusia, tentara China melakukan upacara penaikan dan penurunan bendera.
Memorial Hall Mao Zedong, yang terletak di bagian selatan lapangan menjadi bagian paling sentral. Di tengah bagian luar bangunan berarsitektur tradisional China, berdinding merah marun, tepat di tengah, tergantung foto Mao Zedong.
Di salah satu aula di gedung ini terbaring jasad Mao Zedong yang diawetkan dalam peti kristal yang dikelilingi aneka bunga segar. Inilah ikon Tian’an Men, tempat favorit para pelancong berfoto ria.
"Ngerih juga kalau mendengar cerita ini. Tapi saya mengacungkan jempol, China lebih cepet maju dan berkembang," ucap Wanto, pengunjung asal Surabaya. (*)