Kecewa, benci, sumpah serapah, bosan, rasa anti (antipati), muak, hingga alergi adalah seonggok rasa tidak suka kepada sesuatu. Ya, rasa itu sesungguhnya mewakili stok kesabaran yang sudah habis, tidak ada kompromi, tidak ada toleransi. Titik. Gambaran semacam itulah yang kini tercermin dalam pandangan masyarakat atau publik terhadap partai politik. Tapi, gambaran itu bukan sekadar sikap "alergi" tanpa dasar, karena Lembaga Survei Indonesia (LSI-lembaga), Lingkaran Survei Indonesia (LSI-lingkaran), dan CSIS sudah melakukan survei untuk itu. Perbandingan kesukaan masyarakat terhadap parpol dari kurun Juni 2009 dengan Februari 2012 adalah 21 persen (2009) menjadi 13,7 persen (2012) dalam versi LSI-lembaga. Dalam versi LSI-lingkaran mencatat 20,5 persen (2009) menjadi 13,7 persen (2012), sedangkan CSIS mencatat 20,85 persen (2009) menjadi 12,6 persen (2012). Kenapa citra parpol bisa merosot sebegitu tajam ? LSI-lembaga mencatat sentimen kepada sikap politisi dan tren negatif penegakan hukum sebagai penyebabnya. Lain halnya dengan LSI-lingkaran yang mencatat kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat sebagai penyebabnya, sedangkan CSIS lebih menyoroti sikap politisi sebagai penyebabnya, karena penurunan terjadi hampir pada semua parpol, kecuali PPP dan Gerinda. "Tapi, jeleknya parpol hendaknya tidak diikuti dengan keinginan untuk membubarkan parpol, karena demokrasi itu menghendaki perimbangan kekuasaan. Kalau tidak ada parpol, maka birokrasi akan seenaknya," ucap Ketua MK Prof Mahfud MD. Oleh karena itu, parpol sejelek apapun tetap penting. "Kalau kita tidak suka partai politik, maka kita bisa memilih gerakan politik," tukas Ketua MK Prof Mahfud MD dalam seminar pada Kongres I ISNU di Lamongan (18/2/2012). Ketua Dewan Kehormatan PP ISNU 2012-2017 itu mengatakan gerakan politik itu antara lain organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, ISNU, dan sebagainya. Atau, LSM, media massa, dan sebagainya. "Kalau tidak lewat parpol, maka kita ngomong lewat media massa saja sudah bisa mempengaruhi proses politik yang berlangsung. Kita pilih ngomong atas nama gerakan politik sambil menyehatkan partai politik yang ada," timpalnya. Agaknya, "pembelaan" Prof Mahfud MD itu akan sia-sia juga bila parpol sendiri tidak ada ihtiar untuk melakukan revolusi yakni revolusi mengihtiarkan pola rekrutmen yang "bersih" dari politik uang ! Bukan hanya pola rekrutmen kader parpol yang harus direvolusi, tapi parpol juga harus merevolusi keberpihakan terhadap rakyat yang diwakilinya. Atau, parpol memang ingin rakyat tetap "alergi" kepadanya hingga suara atau citra parpol benar-benar terjungkal ?! Revolusi keberpihakan kepada rakyat itu antara lain terlihat dari "pembelaan" kepada kepentingan rakyat terkait rencana kenaikan harga BBM secara bertahap pada April mendatang... Ya, suara parpol turun, tapi harga BBM naik ! Tentu, parpol bisa saja menolak "BBM Naik" untuk mendongkrak suara/citra "Parpol Turun" dengan cara "memainkan" kemiskinan rakyat (akibat inflasi bahan kebutuhan pokok) untuk secuil simpati. Kalau menggunakan "cara murahan" seperti itu ya anak kecil pun bisa. "Subsidi BBM itu tidak mendidik, tapi kenaikan BBM itu harus bertahap dan subsidi yang sudah ditiadakan harus dialihkan sebagai subsidi dalam bentuk pemberdayaan," tukas Kepala Pusat Studi Energi ITS, Dr Ir Prabowo M Eng, di sela-sela memandu dialog ahli energi Jepang, Dr Kenzo Tsutsumi. Menurut Prabowo, "subsidi" BBM yang diubah kepada "subsidi" pemberdayaan itu penting untuk dua alasan yakni stok BBM berbentuk fosil memiliki keterbatasan waktu dan subsidi pemberdayaan justru lebih mendidik atau mempersiapkan rakyat untuk lebih dapat menjangkau harga berapa pun. "Tapi, subsidi pemberdayaan itu bukan berbentuk ikan seperti BLT (bantuan langsung tunai), tapi harus berupa kail/pancing seperti program pelatihan wirausaha dan pendirian sentra industri UKM," kilahnya. Ya, parpol tidak boleh memanfaatkan "BBM Naik" sebagai isu untuk menaikkan suara/citra "Parpol Turun", karena parpol bukanlah anak kecil... (edyyakub@yahoo.com)
Parpol Turun, BBM Naik
Senin, 27 Februari 2012 9:49 WIB