Gubernur: Pembebasan Lahan Madura Serahkan ke Bupati
Jumat, 20 Januari 2012 21:31 WIB
Surabaya - Gubernur Jawa Timur Soekarwo meminta pembebasan lahan di Madura diserahkan ke masing-masing bupati setempat dan bukan ditangani oleh Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS).
"Saran saya agar pembelian dan pembebasan tanah diserahkan ke kepala daerah. Tapi nanti keputusannya menunggu presiden," ujar Soekarwo di Surabaya, Jumat.
Menurut dia, urusan pembebasan lahan yang gagal direalisasikan BPWS pada 2011 karena tidak dilakukan oleh pemerintah lokal, yakni bupati di Madura dan Wali Kota Surabaya.
Mantan Sekdaprov Jatim mengungkapkan, yang mengetahui persis bagaimana proses pembelian tanah adalah kepala daerah, sehingga peran pemerintah setempat harus lebih menjadi perhatian utama.
"Di Madura sudah tahu siapa tokoh-tokoh yang harus didekati. BPWS juga tidak tahu kultur masyarakat Madura dan cara mendekatinya," kata pejabat yang akrab disapa Pakde Karwo tersebut.
Ia mengakui kinerja BPWS belum maksimal, apalagi anggaran baru dicairkan 2011. Untuk memperbaiki kinerja BPWS, pihaknya sudah melayangkan surat ke Kementerian Koordinator Perekonomian supaya memasukan empat bupati di Madura dan Wali Kota Surabaya menjadi Dewan Pengarah BPWS.
Sementara Kapala Badan Pelaksana BPWS M Irian mengakui pembebasan lahan belum bisa dilaksanakan pada 2011. Ini karena mayoritas warga Madura menginginkan harga ganti rugi yang tinggi.
"Kami setuju jika nanti yang membebaskan lahan itu dilakukan oleh pemerintah setempat. Ini akan mempermudah dan memperingan kerja BPWS," katanya.
Sementara itu, Kaukus Parlemen Se-Madura (KPM) yang merupakan representasi anggota DPRD dari empat kabupaten di Madura tetap ngotot mendesak supaya BPWS dibubarkan.
Ketua KPM Suli Farish mengungkapkan bahwa pihaknya tidak pernah menolak
pembangunan di Madura sebab sangat diharapkan seluruh masyarakat agar kesan orang Madura menjadi lebih baik.
"Namun kalau pembangunan Madura diserahkan kepada BPWS, itu jelas-jelas telah mengebiri sistem pemerintahan dan menyalahi sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," katanya. (*)