Kebijakan Impor Ujian Menuju Kemandirian Pangan
Kamis, 15 Desember 2011 20:34 WIB
Oleh Ayu Citra Sukma Rahayu
Surabaya - "Tanah Airku Indonesia, negeri elok amat kucinta, Tanah Tumpah darahku yang mulia yang kupuja sepanjang masa. Tanah Airku aman dan makmur....".
Petikan lagu ciptaan Ismail Marzuki tersebut menggambarkan keindahan pesona alam Indonesia yang mampu menghasilkan beragam komoditas pangan pokok bagi masyarakatnya.
Gambaran lain betapa suburnya Bumi Pertiwi, diungkapkan juga oleh Koesplus melalui tembangnya "Nusantara" yang salah satu baitnya "Tongkat kayu dan batu jadi tanaman".
Namun, deskripsi penuh makna yang dihaturkan kepada Negeri Kepulauan, Nusantara mulai memasuki tahapan pengujian, menyusul cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan terutama beras belum terealisasi.
Padahal, sejak zaman penjajahan Belanda selama 350 tahun di negeri ini mereka sangat terpukau dengan melimpahnya sumber daya alam di Tanah Air. Salah satunya, Indonesia dilalui garis khatulistiwa, sehingga apa pun yang ditanam di penjuru Nusantara tumbuh subur secara alami tanpa ada gangguan badai maupun hujan salju.
Akan tetapi, ujian yang berawal dari anomali cuaca selama beberapa tahun terakhir cukup menyulitkan pemerintah untuk memenuhi besarnya permintaan pasar nasional khususnya beras.
Sesuai catatan Bulog Divisi Regional Jawa Timur, masyarakat miskinpun juga terkena imbas dari kondisi itu dan tidak bisa mendapatkan jatah beras miskin (raskin). Per-November 2011, di Jatim ada sekitar 1,5 juta masyarakat miskin yang tidak memperoleh beras alokasi pemerintah.
Sementara, berdasarkan pengamatan Bulog Divre Jatim rumah tangga sasaran (RTS) untuk raskin di provinsi ini mencapai 3.079.822 kepala keluarga. Untuk menutupi kekurangan itu, Bulog Divre Jatim berupaya menyerap beras petani, meskipun stok semakin tipis di sejumlah daerah.
"Kalau diizinkan Gubernur Jatim, kami siap mengeluarkan dan menyalurkan beras impor asal Vietnam sebanyak 190.384 ton guna mencukupi kebutuhan pasar," kata Kepala Bulog Divre Jatim, Rito Angky Pratomo di Surabaya.
Apalagi, besarannya cukup untuk ketersediaan empat bulan mendatang, termasuk melayani masyarakat Kawasan Indonesia Timur.
Di sisi lain, Bulog mengurai upayanya untuk meminta izin Gubernur Jatim tidak serta-merta menyalurkan beras impor demi kepentingan kalangan tertentu, melainkan pengadaan beras dari daerah penghasil komoditas itu di Jatim sangat minim.
Di samping itu, Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yang digagas pemerintah untuk mengamankan ketahanan pangan nasional tidak cukup efektif menutup besarnya permintaan pasar beras nasional.
Salah satu faktor penyebabnya, hasil panen beras melalui GP3K tidak diperuntukkan bagi masyarakat miskin mengingat komoditas yang diproduksi merupakan beras kualitas premium.
Stok Aman
Masih menurut Angky, angka produksi beras dari program GP3K di Jatim hanya mencapai 300 ton dan untuk komersial harga jualnya mahal atau Rp7.200 perkilogram. Kalau beras untuk masyarakat miskin memiliki kualitas medium dan harga jualnya Rp6.500 perkilogram.
Kemudian, per tanggal 27 September 2011, penolakan impor beras juga datang dari Forum Peduli Indonesia Jawa Timur (Fopin). Mereka melaksanakan aksi di depan Kantor Bulog Divre Jatim dan menuntut pemerintah lebih memperhatikan kehidupan petani.
Jika beras impor memasuki pasar Jatim, bisa diartikan pemerintah berniat membunuh keberlangsungan hidup para petani di provinsi ini karena nasib petani semakin tidak menentu. Pasalnya, Jatim selama ini meruopakan produsen beras terbesar di Tanai Air (sekitar 10 juta GKG/tahun)
Sementara, penyaluran beras impor untuk pemenuhan pasar Jatim oleh Bulog Divre Jatim juga ditolak keras Gubernur Jatim, Soekarwo. Ia mengurai, persediaan beras yang ada di masyarakat Jatim mencapai 366.000 ton.
"Kalau Bulog hanya perlu 48.000 ton untuk masyarakat miskin di Jatim, dengan ketersediaan beras di pasar ratusan ribu ton berarti stoknya aman. Jatim tidak butuh beras impor," tegasnya.
Untuk itu, pada pekan keempat November 2011 Komisi D DPRD Jatim memanggil Kepala Bulog Divre Jatim guna menjelaskan lebih lanjut terkait upayanya meminta izin Gubernur Jatim mengalokasikan beras Vietnam.
Suara sumbang terhadap rencana Bulog mengalokasikan beras impor pun muncul dari Dinas Pertanian Jatim. Idealnya, kebijakan impor beras bisa diredam bila Bulog mau menerapkan kebijakan Inpres Nomor 7 Tahun 2009 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Tanpa acuan HPP, Bulog sulit dan tidak ada keberanian membeli beras dan gabah petani seperti yang terjadi saat ini. Hal tersebut dikarenakan pedoman yang dianut adalah Inpres Nomor 8 Tahun 2011 di mana pembelian beras sesuai hasil survei Badan Pusat Statistik.
Sementara, pergerakan harga beras di pasar Jatim maupun nasional selalu bergerak meningkat maupun turun. Kadangkala jarang bisa cocok dengan survei harga yang dilakukan BPS.
Mengenai rendahnya serapan Bulog untuk produksi beras petani, berdasarkan rekapan Dinas Pertanian Jatim selama Januari-April 2011 (Subround I) mencapai 4,75 persen dari total produksi beras di provinsi ini sebanyak 3.706.568 ton.
Lalu, pada produksi antara bulan Mei-Agustus 2011 pembelian Bulog Divre Jatim semakin turun menjadi 3,74 persen dari total produksi beras petani Jatim mencapai 2.629.309 ton.
Liberalisasi Pangan
Kini, impian petani lokal menjadi tuan di negeri sendiri semakin menyempit, menyusul adanya penyusunan Rancangan Undang-Undang Pangan yang kian memperluas pasar beras impor di Indonesia. Apalagi, Pemerintah Pusat maupun daerah seperti Bulog tidak wajib membeli komoditas pangan pokok dari tangan petani.
Menanggapinya, Ketua Bidang Penyuluhan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Arum Sabil, menilai, keberadaan RUU Pangan merupakan instrumen pemerintah melakukan liberalisasi komoditas pangan. Dengan kata lain, pengimpor mempunyai peluang besar membanjiri pasar domestik dengan produk asing.
"Lihat saja sekarang, garam, gula mentah, dan beras impor. Padahal, Indonesia adalah negeri dengan potensi sumber daya alam melimpah kenapa tidak dioptimalkan," keluhnya.
Bentukan RUU Pangan diduga dapat mencuat ke permukaan dengan dorongan kejahatan yang terorganisir di kalangan orang cerdas dan intelektual. Mereka ditengarai mendesain skenario arus pangan seolah tidak terkondisikan.
RUU Pangan dipastikan membawa Indonesia yang selama ini menyandang julukan lumbung padi dapat terjebak pada era ketergantungan pangan. Saat itu, pemerintah tak berdaya dalam membentuk harga.
Apalagi, tambah dia, ketentuan harga di pasar domestik akan sangat tergantung oleh harga di pasar internasional yang sarat distorsi. Bahkan, ada kemungkinan terjadi politik dumping di mana tampak dari bentukan harga yang sangat murah.
Ketika situasi tersebut terus berlangsung, Arum memprediksi, komoditas pangan dalam negeri kalah bersaing dengan barang pangan impor karena harga di pasar nasional lebih tinggi. Di sisi lain, hal itu mengakibatkan puluhan juta petani dan buruh tani berhenti bekerja.
"Sangat ironis, saat mereka tidak bekerja di lumbungnya sendiri," imbuhnya.
Kini, ada baiknya pemerintah mengambil formula khusus guna mempertahankan sumber pangan domestik agar sektor pertanian nasional mandiri atau "berdaya" dari terpaan komoditas impor, meskipun liberalisasi pangan terbuka sejak adanya perjanjian perdagangan bebas.(*)