Jember (ANTARA) - Sehari setelah FIFA membatalkan Piala Dunia U20 di Indonesia menyusul penolakan terhadap tim Israel, tentara Israel menyerbu Stadion Internasional Faisal Al Husseini di Palestina dengan pertandingan Jabal Al Mukkabber melawan Balata FC, pada Kamis malam waktu setempat, 30 Maret 2023.
Dikutip dari insideworldfootball.com, dilaporkan bahwa petugas Israel menembakkan gas air mata dan menyebabkan penonton terluka, termasuk wanita dan anak-anak sehingga pertandingan dihentikan untuk memberikan kesempatan kepada tenaga medis merawat korban.
"Terlihat brutalnya Israel. Itu sudah nyata di Palestina. Kenapa tidak diberi sanksi?," kata Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember Eby Hara Ph.D dalam keterangan tertulis yang diterima di Kabupaten Jember, Senin.
Doktor alumnus ANU, Canberra, Australia itu menjelaskan perlawanan terhadap Israel akhirnya dilakukan oleh masyarakat sipil seperti di Indonesia dan masyarakat Indonesia konsisten dari dulu, sejak masa pemerintahan Bung Karno.
"Bedanya sekarang kita banyak dicampuri macam-macam, sehingga sikap masyarakat pun terpecah," tuturnya.
Eby mengatakan terpecahnya sikap masyarakat bisa dilihat dari opini di media massa sehingga salah satunya menganggap seolah-olah politik dan olahraga tidak bisa dicampuradukkan.
Dalam jangka pendek, lanjut dia, dampaknya belum tentu ada perubahan, tetapi kalau itu terus disuarakan maka orang akan tetap sadar bahwa ada penindasan di Palestina.
"Jadi suara (penolakan) seperti itu harus tetap disuarakan, walau ada risiko," katanya.
Peristiwa di stadion Palestina, dosen HI Unej soroti FIFA
Senin, 3 April 2023 20:44 WIB
Jadi suara (penolakan) seperti itu harus tetap disuarakan, walau ada risiko