Surabaya (ANTARA) - Sebanyak 150 guru besar (gubes) dari 40 universitas yang ada di Asia berkumpul dalam acara yang digagas Universitas Negeri Surabaya (Unesa) di Surabaya, Selasa guna memperjuangkan Bahasa Indonesia dan Melayu untuk bisa menjadi bahasa ilmiah internasional.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain, Pembina Pertimbangan DGBI dan Ketua Dewan Gubes UGM, Prof Drs Koetjoro, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prof Dadang Sunendar, Guru Besar FBS dan Anggota Senat Unesa.
Selain itu, Dosen Fakultas Liberal Arts, Maejo University Thailand, Assst Prof Siriporn, Learn Indonesia Asia PTE. LTD Singapora Endina Asri Widratama, Prof Dr Kong Yung Hun Hankuk University of foreign Study Korea Selatan dan Majlis Professor Negara (MPN) Malaysia Prof Kamarudin Said.
Pembina Pertimbangan DGBI dan Ketua Dewan Gubes UGM, Prof Koentjoro menuturkan adanya pertemuan itu guna menindaklanjuti pertemuannya dengan Majlis Professor Negara (MPN) Malaysia Prof Kamarudin Said yang menyinggung soal rencana mengembangkan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah.
"Banyak urgensi yang kita hadapi. Urgensi pertama sekarang kita menyadari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini diperlukan bahasa pemersatu untuk berdialog. Kita di antara para ilmuan sudah selayaknya untuk mengadakan dialog agar dunia semakin maju dalam pertukaran ilmu," katanyam
Persoalan kedua, kata dia, juga terkait dengan hak asasi manusia (HAM). Koentjoro menyebut, untuk menjadi guru besar orang memerlukan penelitian yang terindeks berbahasa Inggris.
Menurutnya, kepakaran dan keprofesoran seseorang tidak bisa ternilai hanya dari indeks berbahasa Inggris.
"Apakah karena hanya soal bahasa, kepakaran dan keprofesoran seseorang diakui? Padahal keilmuannya ampuh tidak di Bahasa Inggris. Lain sisi universitas kita ini bervariasi dan Bahasa Inggris bukan bahasa ibu. Oleh karena itu ini harus kita dorong," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, peminat penutur bahasa Indonesia di berbagai negara semakin banyak. Dia mencontohkan di Korea, tepatnya di Hankuk University, diajarkan 41 penutur dari berbagai negara. Peminat paling adalah penutur Bahasa Indonesia.
"Di berbagai negara di Eropa baru mulai. Negara bagian Australia di Victoria justru menjadikan Bahasa Indonesia menjadi second language," ucapnya.
Tidak hanya digunakan dari sisi keilmuan saja, Ketua Dewan Guru Besar UGM ini juga menuturkan jika bahasa juga digunakan untuk bisnis dan intelegence.
"Jadi setelah ada forum diskusi ini tahapan selanjutnya kana dibentuk cluster-cluster di setiap daerah. Dipilih ketua yang merupakan pakar bahasa Melayu atau Indonesia. Kemudian mereka akan berhimpun melalui jejaring media sosial," kata dia.
Diharapkan, pada bulan Februari-Maret mendatang, Korea Selatan, Thailand dan berbagai negara di luar Asia semakin banyak bergabung.
Sementara itu, Rektor Unesa, Prof Nur Hasan mengungkapkan dukungannya untuk membuat Bahasa Indonesia go international dalam bahasa ilmiah.
Salah satu bentuk dukungan itu terlihat saat pihaknya berkunjung ke Republik Ceko. Di sana pihaknya menyiapkan tenaga pengajar untuk pembelajaran Bahasa Indonesia kepada mahasiswa.
"Jadi kami ingin percepatan tidak hanya dilakukan di Asia tapi juga Eropa," katanya.
Lebih lanjut, diharapkan momentum ini bisa memberikan masukan pada kabinet baru agar Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu bisa digunakan dalam bahasa ilmiah.
"Ini momentum menjaga marwah bahasa untuk go international," ujarnya. (*)