Surabaya (Antara Jatim) - Legislator mengusulkan solusi mengatasi anak putus sekolah terutama SMA/SMK di Kota Surabaya yakni mendorong pemerintah kota menggunakan Perda Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
"Dengan perda itu, APBD boleh digunakan untuk warga yang mempunyai masalah kesejahteraan sosial. Salah satu problemnya adalah kemiskinan," kata anggota Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya Reni Astuti di Surabaya, Senin.
Menurut dia, alasan mengacu Perda 2/2012 dikarenakan implementasi dari UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, pemerintah kota tidak bisa memberikan layanan pendidikan gratis.
Reni mengatakan perda tersebut telah menjadi acuan dikeluarkannnya Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya untuk memberikan beasiswa mahasiswa yang tidak mampu. Padahal, masalah kemahasiswaan merupakan kewenangan pendidikan tinggi, sedangkan SMA/SMK berada di Pemerintah Provinsi.
"Yang kita bantu bukan operasional sekolah, tapi warga di usia sekolah," katanya.
Bahkan, lanjut dia, Perpres 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan salah satu strategi untuk mengurangi beban pengeluaran warga miskin.
Semestinya Perpres itu bisa menjadi pedoman untuk mengatasi anak putus sekolah, karena sebelumnya menjadi lanadasan dikeluarkannnya Perwali untuk memberikan bantuan bagi mahasiswa miskin.
"Semestinya jika mahasiswa miskin bisa diberikan beasiswa, maka siswa miskin juga bisa, hanya komunikasinya saja antara pemerintah kota dengan provinsi," katanya.
Reni menyebutkan jumlah siswa miskin SMA/SMK di Surabaya berdasarkan data pemerintah kota mencapai 11 ribu. Setelah diverifikasi Dinas Pendidikan Jatim, sebagian siswa ada yang dibebaskan, diberi keringanan, dan ada yang tak perlu bantuan.
"Tapi kita lihat di lapangan, masih banyak SMA/SMK yang belum dapat jaminan bebas biaya," katanya.
Ia mengatakan dari hasil reses pada Maret 2017, ada lima anak di dua RW dari satu kelurahan yang putus sekolah sejak Januari. Selama ini, Reni mengakui, ada keraguan pada pemerintah kota untuk menganggarkan.
Namun, lanjut dia, menurutnya keraguan itu harus ada batasnya, sebagi bentuk perlindungan kepada warganya. Sebenarnya, ketika kewenangan ada di provinsi maka berkewajiban untuk mendanai. Tapi, jika ada keterbatasan anggaran, tentunya pemerintah kota ada provinsi harus berkoordinasi.
"Bentuknya tertulis, karena selama ini hanya lisan," katanya.
Reni menegaskan jika suah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada, pemerintah kota melakukan kajian agar bisa dianggarkan. (*)