Surabaya (Antara Jatim) - Kepala Satpol PP Kota Surabaya Irvan Widiyanto membantah tudingan Komisi
B DPRD Surabaya tidak mau menghadiri hearing atau rapat dengar pendapat
mengenai penertiban toko swalayan tidak berizin.
"Jadi, kalau saya tidak hadir, jangan dipersepsikan macam-macam.
Sebab, saya harus merangkap jabatan. Lagipula belakangan cuaca tidak
bagus seperti ini," kata Irvan kepada wartawan di Surabaya, Jumat.
Ia berdalih bahwa ketidakhadirannya pada undangan hearing komisi B
Surabaya adalah murni karena kesibukan. Alasannya, saat ini dirinya juga
harus merangkap jabatan sebagai Pelaksana tugas (plt) Kepala
Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat.
Sekretaris Komisi B Bidang Perekonomian DPRD Surabaya Edi Rachmat
sebelumnya mengatakan pihaknya akan tetap melaporkan sikap Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) ke Inspektorat karena tidak menghadiri
undangan rapat dengar pendapat sebanyak tiga kali, meski toko swalayan
ilegal yang dipersoalkan sudah ditutup.
"Kalau soal penertiban dan penutupan itu sudah merupakan tugas
Satpol PP. Apalagi sebelumnya kan sudah ada bantuan penertiban (bantip)
dari Dinas Perdagangan," katanya.
Selain melaporkan ke inspektorat, lanjut dia, Komisi B juga
berencana melaporkan ke Wali Kota Surabaya dengan harapan kejadian
serupa tidak kembali terulang pada saat anggota legislatif mengundang
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Menurut dia, pihaknya ingin tahu mengapa Satpol PP tidak hadir saat
diundang. Selain itu, kata dia, Komisi B pasti memiliki alasan yang
kuat ketika mengundang satuan kerja perangkat daerah.
"Kami akan mepertanyakan ada masalah apa dengan komisi B sehingga tidak mau hadir ketika kami undang," kata Edi.
Sementara itu, sejumlah kalangan menilai bahwa penertiban Satpol PP
terhadap lima toko swalayan tidak serius. Hal ini karena penertiban
hanya dilakukan dengan memasang stiker, tanpa ada penyegelan sebagaimana
penertiban selama ini.
"Kalau hanya nempeli stiker itu namanya main-main. Apalagi
nempelnya hanya di tembok. Dengan cara itu, pemilik toko swalayan tetap
leluasa membuka kembali. Kalau memang serius ya di pasang segel, atau di
rantai pintunya sehingga mereka tidak bisa beroperasi," kata Ketua
Kongres Advokat Indonesia (KAI) Abdul Malik.
Satpol PP, lanjut Abdul Malik seharusnya belajar pada aparat
kepolisian cara menyegel yang benar. "Lihat kalau polisi menyegel
(memberi Polisi Line ) tidak ada boleh yang membuka. Selama segel belum
dibuka, tidak boleh ada aktivitas di TKP.
Kalau Satpol PP kan tidak, segelnya hanya berupa stiker, dan itu
ditempel di dinding atau kaca. "Maka tak heran mereka tetap beroperasi,"
ujarnya.(*)
B DPRD Surabaya tidak mau menghadiri hearing atau rapat dengar pendapat
mengenai penertiban toko swalayan tidak berizin.
"Jadi, kalau saya tidak hadir, jangan dipersepsikan macam-macam.
Sebab, saya harus merangkap jabatan. Lagipula belakangan cuaca tidak
bagus seperti ini," kata Irvan kepada wartawan di Surabaya, Jumat.
Ia berdalih bahwa ketidakhadirannya pada undangan hearing komisi B
Surabaya adalah murni karena kesibukan. Alasannya, saat ini dirinya juga
harus merangkap jabatan sebagai Pelaksana tugas (plt) Kepala
Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat.
Sekretaris Komisi B Bidang Perekonomian DPRD Surabaya Edi Rachmat
sebelumnya mengatakan pihaknya akan tetap melaporkan sikap Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) ke Inspektorat karena tidak menghadiri
undangan rapat dengar pendapat sebanyak tiga kali, meski toko swalayan
ilegal yang dipersoalkan sudah ditutup.
"Kalau soal penertiban dan penutupan itu sudah merupakan tugas
Satpol PP. Apalagi sebelumnya kan sudah ada bantuan penertiban (bantip)
dari Dinas Perdagangan," katanya.
Selain melaporkan ke inspektorat, lanjut dia, Komisi B juga
berencana melaporkan ke Wali Kota Surabaya dengan harapan kejadian
serupa tidak kembali terulang pada saat anggota legislatif mengundang
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Menurut dia, pihaknya ingin tahu mengapa Satpol PP tidak hadir saat
diundang. Selain itu, kata dia, Komisi B pasti memiliki alasan yang
kuat ketika mengundang satuan kerja perangkat daerah.
"Kami akan mepertanyakan ada masalah apa dengan komisi B sehingga tidak mau hadir ketika kami undang," kata Edi.
Sementara itu, sejumlah kalangan menilai bahwa penertiban Satpol PP
terhadap lima toko swalayan tidak serius. Hal ini karena penertiban
hanya dilakukan dengan memasang stiker, tanpa ada penyegelan sebagaimana
penertiban selama ini.
"Kalau hanya nempeli stiker itu namanya main-main. Apalagi
nempelnya hanya di tembok. Dengan cara itu, pemilik toko swalayan tetap
leluasa membuka kembali. Kalau memang serius ya di pasang segel, atau di
rantai pintunya sehingga mereka tidak bisa beroperasi," kata Ketua
Kongres Advokat Indonesia (KAI) Abdul Malik.
Satpol PP, lanjut Abdul Malik seharusnya belajar pada aparat
kepolisian cara menyegel yang benar. "Lihat kalau polisi menyegel
(memberi Polisi Line ) tidak ada boleh yang membuka. Selama segel belum
dibuka, tidak boleh ada aktivitas di TKP.
Kalau Satpol PP kan tidak, segelnya hanya berupa stiker, dan itu
ditempel di dinding atau kaca. "Maka tak heran mereka tetap beroperasi,"
ujarnya.(*)