Surabaya (Antara Jatim) - DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengharapkan agar penyelasian kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tetap merujuk pada keputusan lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Selama ini yang dijadikan rujukan misalnya kalau ada penistaan agama kan MUI, bukan yang lain. Bukan pula dirujuk melalui ahli bahasa," kata Ketua Bidang Kesra DPP PKS, Fahmi Alaydroes saat peresmian Rumah Pusat Khidmat di kantor DPD PKS Surabaya, Minggu.
Menurut dia, MUI merupakan lembaga yang kredibel dan dipercaya dalam penyelesaian kasus penistaan agama. "Ada kasus serupa juga dirujuk MUI, tapi kenapa ini tidak. Masyarakat melihat dengan mata kepalanya sendiri, seperti ada perbedaan sikap dalam penanganan kasus Ahok ini," katanya.
Ia mengatakan dalam hal ini PKS berdiri pada posisi tegak yakni mendorong penegakkan hukum seadil-adilnya.
Terkait demo bela Islam jilid kedua yang akan digelar pada 25 November mendatang, PKS dalam hal ini selalu berkhidmat dan berdiri bersama rakyat.
"Kita imbau pemerintah mendengar suara umat, tegakkan keadilan yang dituntut masyarakat selama ini," ujarnya.
Namun demikian, lanjut dia, PKS secara kelembagaan dan merupakan partai Islam tidak ikut dalam demo tersebut. "Kalau PKS secara resmi turun, maka orang melihat ini kepentingan pilkada. Tidak ikut saja ada sudah dituding sebagai aktor politik. Ini bukan agenda politik, tapi agenda keumatan," ujarnya.
Ketua Umum DPW PKS Jatim Arif Hari Setiawan mengatakan situasi memanas yang terjadi di Indonesia terkait komentar Ahok tentang Surat Al Maidah 51 bukanlah konflik antaragama.
"Jadi saya tegaskan, situasi terakhir yang terjadi bukanlah pertentangan antaragama. Itu salah besar menurut saya. Akar permasalahanya jelas pada oknum satu orang yang sudah melampaui batas agama lain," kata Arif.
Arif dengan tegas meminta kepada negara untuk melakukan proses hukum sesuai dengan aturan yang ada. Dalam kasus seperti ini, Arif mengatakan sudah ada contohnya dan proses hukum juga dilakukan oleh pemerintah.
"Contoh yurisprudensinya kan sudah banyak dan ada proses hukum. Melalui parlemen kita sudah meminta pemerintah bertindak tegas karena sudah terlalu melampau batas. Kalau pemerintah tidak merespons ya harus melapor kepada siapa lagi," kata Arif. (*)