Saat ini, jika mengacu kepada kondisi yang lazim, kondisi normal, masih masuk kemarau. Artinya, saat ini masih masuk musim kering (kemarau), atau tidak ada hujan, kalau ada hujan juga relatif kecil, di bawah 60 mm per bulan atau 20 mm per dasarian.
Dalam kondisi normal, pola musim di Indonesia biasanya Mei sampai September merupakan musim kering atau kemarau, sedangkan Oktober sampai Maret atau April merupakan musim hujan.
Namun demikian, jika diperhatikan, kondisi riil saat ini justru curah hujan masih cukup tinggi. Bahkan, akibat tingginya curah hujan sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di beberapa daerah di Jawa Timur, mengalami banjir dan tanah longsor.
Hujan deras disertai angin kencang telah menyebabkan banjir dan tanah longsor di wilayah Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, pada pertengahan Agustus lalu.
Sejumlah desa dan jalan protokol di Kabupaten Sampang pada September ini juga terendam banjir akibat meluapnya Sungai Kemuning setelah kawasan sekitar diguyur hujan dengan durasi yang cukup lama.
Potensi banjir dan tanah longsor hingga kini tetap mengancam wilayah Jawa Timur, karena curah hujan tinggi tampaknya masih berpeluang terjadi di berbagai daerah ini. Apalagi, sebentar lagi diperkirakan Jawa Timur akan masuk musim hujan.
Berdasarkan data BMKG, musim hujan 2016/2017 akan maju. Sebagian besar wilayah Jawa Timur akan masuk musim hujan pada Oktober 2016. Dengan demikian, wilayah ini akan segera mengalami masa transisi atau masa pancaroba yang biasa ditandai hujan lebat disertai angin kencang sesaat dan bersifat merusak.
Bahkan, pada bulan Oktober diperkirakan sejumlah daerah di Jawa Timur mendapat curah hujan tinggi hingga sangat tinggi (301-500 mm) yakni Pacitan, Trenggalek, Blitar bagian utara, Probolinggo bagian selatan, Lumajang bagian tengah, utara dan barat, Jember bagian timur serta Banyuwangi bagian barat.
Selain fenomena tersebut, pada bulan Oktober posisi semu matahari tepat berada di atas Jawa Timur sehingga bisa berdampak terjadinya pemanasan maksimal yang diperkirakan dapat mencapai 37 derajat Celcius. Pemanasan ini dapat berdampak pula terjadinya kebakaran, khususnya kebakaran hutan.
Oleh karena itu, perlu langkah antisipatif dan kewaspadaan semua pihak, tidak hanya jajaran pemerintah, tapi juga masyarakat. Jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, dapat diminimalkan dampaknya. Karena cuaca yang tidak normal, harus dihadapi pula dengan upaya yang tidak normal. Maksudnya, kewaspadaan dan antisipasi yang dilakukan harus lebih dari biasanya.
Jajaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena yang terjadi belakangan ini adalah anomali cuaca, yakni kemarau basah dampak La Nina.
Seperti diketahui, dalam literatur mengenai iklim dan cuaca dikenal istilah La Nina dan El Nino. La Nina adalah fenomena turunnya suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik yang lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Sedangkan El Nino adalah fenomena panasnya permukaan air laut di Samudera Pasifik di atas rata-rata suhu normal, terutama bagian timur dan tengah.
El Nino dan La Nina sama-sama merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim, dan sudah pasti berdampak terhadap kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sebab, La Nina mengakibatkan intensitas hujan di kawasan Indonesia lebih tinggi dari tahun-tahun biasanya. Sedangkan El Nino mengakibatkan musim kemarau panjang dibandingkan dengan kondisi normal.
Fenomena cuaca tersebut merupakan dampak global. Artinya, fenomena anomali cuaca tersebut terjadi bukan akibat lingkup nasional, tapi dunia. Meski La Nina diawali dari fenomena alam di belahan dunia lain, tapi dampaknya bisa dirasakan di Indonesia.
Perubahan iklim di luar kondisi normal tersebut sejumlah pihak menilai akibat ulah manusia sendiri yang mengabaikan keseimbangan dan kelestarian alam. Daya dukung alam telah mengalami degradasi mutu.
Degradasi kualitas lingkungan tersebut di antaranya karena menurunnya daya dukung hutan. Hutan yang memiliki fungsi konservasi telah banyak mengalami kerusakan.
Hutan tidak hanya sebagai habitat flora dan fauna, sumber ekonomi, tempat penyimpan (resapan) air, "paru-paru" dunia, menyuburkan tanah, dan mengurangi polusi, tapi juga pengendali bencana banjir dan tanah longsor
Indonesia yang merupakan negara tropis dengan potensi hutan yang cukup menjanjikan, tentu harus mengupayakan agar potensi tersebut bisa dikelola dengan baik demi kemaslahatan manusia.
Wajar kiranya jika Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam forum restorasi gambut di New York, Amerika Serikat, belum lama ini mengajak dunia internasional juga terlibat dalam restorasi kerusakan hutan Indonesia.
"Yang merusak bukan hanya Indonesia, tetapi mereka juga. Karena itu dunia juga harus bertanggung jawab," kata Jusuf Kalla. Kerusakan hutan Indonesia terjadi sejak 30 hingga 40 tahun silam ketika negara-negara maju mulai mengeksploitasi hutan di berbagai daerah Indonesia untuk keperluan industri. (*)