Tanggal 10 November sudah banyak dikenal masyarakat sebagai Hari Pahlawan dan Arek-Arek Suroboyo yang menjadi ikon dalam momentum yang sejak 10 November 2015 itu dirayakan di Surabaya.
Namun, tanggal 22 Oktober 1945 dan 19 September 1945 justru "nyaris tak terdengar", padahal tanggal-tanggal itu merupakan "detonator" dari meletusnya Pertempuran 10 November 1945.
Bahkan, tanggal 22 Oktober 1945 memicu tiga peristiwa maha penting yang terngiang kuat dalam sanubari Arek-Arek Suroboyo hingga kini, yakni:
a. perlawanan sporadis Arek-Arek Suroboyo pada 27-29 Oktober 1945 (yang memaksa hadirnya Presiden Soekarno ke Surabaya untuk berdialog).
b. tewasnya pimpinan Sekutu Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945 pukul 21.30 WIB.
c. kumandang pidato legendaris dari Bung Tomo dari Rumah Radio Pemberontakan di Jalan Mawar 10-12 Surabaya.
Tiga peristiwa maha penting itulah yang menyulut kemarahan pasukan Sekutu, yang diboncengi tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) untuk menjajah kembali, sehingga terjadilah peristiwa yang membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan.
Kini, peristiwa tanggal 22 Oktober itu dikenal sebagai Hari Santri Nasional, karena tanggal itu terjadi rapat para ulama di Kantor PCNU Surabaya Jalan Bubutan VI/2 Surabaya (d/h. Kantor PBNU pertama) yang melahirkan "Resolusi Jihad" tentang kewajiban mempertahankan Tanah Air.
Namun, hampir satu bulan sebelumnya sudah ada peristiwa yang dipicu NICA dengan mengibarkan Bendera Merah-Putih-Biru di Hotel Orange (d/h. Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, Surabaya) pada 18 September 1945 pukul 21.00 WIB.
Ulah "udang dibalik batu" yang dilakukan NICA yang membonceng pasukan Sekutu itu "terbaca" langsung oleh Arek-Arek Suroboyo dengan melakukan Perobekan Bendera Merah-Putih-Biru pada 19 September 1945 menjadi Merah dan Putih saja, karena pengibaran bendera tri-warna adalah penghinaan. Ya, penghinaan!.
"Sejak perobekan bendera itulah, provokasi pun berkembang hingga tercetus rapat para ulama (22 Oktober) dan akhirnya terjadi perlawanan sporadis dimana-mana pada kurun 27-29 Oktober 1945 hingga memaksa Pasukan Sekutu untuk menghadirkan Presiden Soekarno ke Surabaya untuk mendorong dialog," kata Ketua LVRI Surabaya Hartoyik dalam diskusi 'Kupas Tuntas Peristiwa 10 November' di Grha LKBN Antara Biro Jatim, 9 November 2015.
Namun, kata anggota Laskar Hizbullah pimpinan KH Wahid Hasyim itu, Jenderal Mallaby selaku pimpinan Sekutu berusaha menggertak dengan rentetan tembakan di sela kedatangan Presiden Soekarno ke Surabaya itu, sehingga Arek-Arek Suroboyo pun tersinggung hingga akhirnya jenderal itu tewas pada 30 Oktober 1945 pukul 21.30 WIB.
Akhirnya, Pasukan Sekutu pun mengamuk dan melontarkan ultimatum kepada Arek-arek Suroboyo untuk menyerahkan senjata paling lambat 10 November 1945, namun ultimatum itu dijawab Bung Tomo dengan "pidato perlawanan".
Tidak hanya itu, KH. Hasyim Asy'ari dan ratusan kiai Jawa-Madura juga mengerahkan santri dan rakyat untuk melawan hingga pihak Sekutu (Inggris) tidak dapat menaklukkan perlawanan di Surabaya dalam tiga minggu. Perlawanan Surabaya yang berminggu-minggu itu menginspirasi perlawanan rakyat di seluruh Indonesia.
Pandangan senada diungkap sejarahwan UI Roesdhy Hoesein yang juga menjadi pembicara dalam diskusi setahun silam itu. Ia membandingkan kesaksian Hartoyik itu dengan fakta dalam film buatan Berita Film Indonesia (BFI).
"Visual 10 November 1945 itu sebenarnya banyak, tapi ada tiga fakta penting yang menyulut Peristiwa 10 November 1945 itu," ungkapnya.
Tiga fakta penting adalah perobekan bendera (19 September 1945), peristiwa heroik 27-29 Oktober 1945 (semuanya dimenangkan Indonesia), dan tewasnya Jenderal Mallaby (30 Oktober 1945) hingga terjadi ultimatum yang justru menyulut Peristiwa 10 November 1945.
Artinya, momentum penting terkait 10 November 1945 adalah 19 September 1945 (perobekan bendera) dan 22 Oktober 1945 (Resolusi Jihad). Kalau 10 November menjadi Hari Pahlawan dan 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional, maka 19 September juga hari bersejarah yang layak diperingati sebagai Hari Perobekan Bendera dari Merah-Putih-Biru menjadi Merah Putih....
Caranya?! Bisa saja, 19 September diperingati dengan menelusuri jejak sejarah terbunuhnya Jenderal Mallaby. Bisa juga dengan kewajiban pakaian pejuang, tapi kalau kewajiban pakaian pejuang pada setiap 9-10 November itu untuk pelajar, maka kewajiban pakaian pejuang 19 September itu untuk seluruh masyarakat, baik di kantor, sekolah, kampus, perusahaan, maupun perkampungan. Bahkan, bisa lebih dari pakaian dengan mewajibkan seluruh toko dan kantor memasang simbol kepahlawanan seperti foto Bung Tomo berpidato atau suasana "jadul" di Hotel Orange.
Alangkah indahnya juga bila 19 September juga diperingati dengan "Surabaya Festival Heroik" dan usulan tanggal itu sebagai Hari Perobekan Bendera, serta yang juuga penting adalah usulan gelar Pahlawan Nasional untuk cak Doel Arnowo, Mayjen Sungkono, dan Arek Suroboyo lainnya. Ayo, rek.....!! (*)