Surabaya (Antara Jatim) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan sejumlah akademisi Jawa Timur meminta Presiden Joko Widodo dalam menyikapi persoalan proyeksi dan asumsi dasar ekonomi makro APBN-P 2016.
"Kita mengkaji APBN-P 2016. Kalau pemerintah itu optimistis, sedangkan asumsi kampus itu pesimistis, jadi perlu realistis," kata Wakil Ketua Komite IV DPD RI Drs HA Budiono MEd di sela 'FGD' (Focus Group Discussion) di Rektorat Unair Surabaya, Kamis.
Setelah berbicara dalam FGD bertajuk "Proyeksi dan Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2016" yang dihadiri akademisi dari Unair, Unesa, ITS, UPN, Unej, dan Bappeda Jatim itu, ia menjelaskan realistis itu memperhatikan kondisi internal-eksternal.
"Karena itu, asumsi pertumbuhan harus dikoreksi sesuai dengan kondisi, baik kondisi internal maupun eksternal, seperti pencapaian pajak, harga minyak yang turun, ekspor yang turun, dan sebagainya," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan jadwal ulang untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mendesak. "Yang mendesak adalah pemihakan kepada Indonesia Timur sesuai Nawacita," ucapnya.
Ia berharap sikap realistis itu akan membuat apa yang terjadi pada 2015 tidak akan terlalu. "Jangan sampai seperti tahun 2015, di mana target pajak terlalu tinggi," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak perlu sampai menutupi defisit dengan utang. "Itu karena utang kita sudah Rp4.200-an triliun, sehingga kalau ditambah lagi akan membuat kita rawan mengalami krisis," imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, para akademisi meminta pemerintah untuk mengubah ukuran keberhasilan kinerja yang selama ini didasarkan pada serapan anggaran menjadi "hasil" (dampak) dari kinerja itu (dari kuantitatif menjadi kualitatif).
Terkait ukuran "hasil" itu, akademisi dari ITS menyatakan pemerintah perlu mengolah hasil pertanian, kehutanan, dan kelautan yang selama ini dijual hanya berupa bahan mentah atau satu tingkat di atasnya, menjadi "hasil" yang telah diolah hingga 2-3 tingkat agar bernilai tambah.
Sementara itu, akademisi dari Unair mengharapkan pemerintah melihat potensi kemaritiman untuk menggantikan minyak dan gas serta mendorong BUMN menjadi "holding" dalam berbagai bidang, seperti semen, pelabuhan, bank, bandara, dan sebagainya.
"APBN-P 2016 harus lebih realistis. Target lifting minyak pada APBN-P tahun 2015 sebanyak 825 ribu barel per hari tidak tercapai, namun tahun 2016 justru pemerintah menaikkan target menjadi 830 ribu barel per hari. Mestinya, pajak atau sektor lain yang potensial," tutur Dr Nurul Istifadah dari FEB Unair.
Lain halnya dengan perwakilan dari Bappeda Jatim. Kini, Jatim tidak lagi menggunakan ukuran "pertumbuhan" lagi, namun "pertumbuhan inklusif" yakni pertumbuhan yang memecahkan kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan indeks lainnya.
Saat membuka FGD itu, Rektor Unair, Prof Dr Moh Nasih SE MT Ak, mengatakan mekanisme transfer daerah merupakan salah satu yang perlu diperbaiki dari APBN 2016.
"Sejak pengelolaan pendidikan tinggi lepas dari Kemendikbud ke Kemenristek-Dikti, maka alokasi anggaran diprioritaskan untuk perbaikan sekolah di daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan), sehingga anggaran untuk Kemenristek-Dikti dikurangi hingga Rp7 triliun-an. Mestinya, kalau ada sisa anggaran di daerah diberikan ke Kemenristek-Dikti," katanya. (*)
DPD-Akademisi Jatim Minta Jokowi Realistis soal APBN-P
Kamis, 18 Februari 2016 19:19 WIB
Karena itu, asumsi pertumbuhan harus dikoreksi sesuai dengan kondisi, baik kondisi internal maupun eksternal, seperti pencapaian pajak, harga minyak yang turun, ekspor yang turun, dan sebagainya