Kain batik merupakan warisan budaya asli Indonesia. Batik pun sudah diakui oleh dunia sebagai produk Indonesia, yang resmi tercatat di Unesco sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Dengan penetapan batik sebagai warisan budaya pada 2 Oktober 2009 itu, merupakan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Bangga untuk memperkenalkan produk budaya itu kepada bangsa lain.
Tak pelak, pascapenetapan oleh Unesco tersebut, pemerintah juga membuat kebijakan dengan penetapan wajib (memakai) batik secara nasional. Aturan itu diputuskan oleh Sekneg pada 2013.
Keputusan itu disambut baik. Berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta menetapkan kepada pegawainya untuk menggunakan kain batik pada hari tertentu. Hal itu sebagai bentuk kecintaaan pada produk budaya sendiri. Tak ketinggalan, perwakilan negara asing di Indonesia pun mengikutinya dengan bangga pula, seperti Konsulat Jenderal AS di Surabaya.
Di setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), terdapat rangkaian kegiatan yang menyertainya, salah satu di antaranya adalah Pekan Swadesi. Makna Swadesi sendiri adalah kebanggaan menggunakan produk buatan dalam negeri dan sebagai ruh dalam nasionalisme. Di hari tersebut, pegawai menggunakan kain batik.
Kain batik mempunyai beragam corak yang khas. Kerajinan ini dikenal memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Di beberapa daerah, motif kain batik hanya digunakan saat tertentu. Bahkan, pola, motif dan warna dalam batik, juga mempunyai arti simbolik.
Hal Ini disebabkan batik, saat dulu merupakan pakaian upacara (kain panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala), oleh karena itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan "status" pemakainya, bahkan diyakini dapat menambah daya magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius dan magis dari upacara itu.
Misalnya, motif kawung picis. Motif ini dulu banyak dikenakan di kalangan kerajaan. Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya, juga melambangkan empat penjuru (pemimpin harus dapat berperan sebagai pengendali ke arah perbuatan baik). Selain itu, juga melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam perilaku kehidupan manusia.
Atau, motif parang barong yang biasa dipakai oleh Sultan/Raja. Motif ini bermakna kekuasaan serta kewibawaan seorang Raja. Dulu, penggunaan motif-motif memang khusus, baik itu untuk Sultan/Raja, bangsawan ataupun masyarakat pada umumnya.
Namun, seiring dengan perkembangan, beragam motif bukan hanya dominan untuk kalangan tertentu. Masyarakat luas pun juga bisa menggunakan beragam motif yang dulunya banyak digunakan masyarakat tertentu, baik itu kaum Raja ataupun kaum bangsawan, dan tanpa disesuaikan dengan kegiatan, misalnya kain batik motif Harjuno Manah, jika dulu digunakan untuk upacara Pisowanan atau menghadapi raja bagi kalangan keraton, saat ini juga bisa digunakan untuk ke kantor.
Ragam corak dan warna batik juga tak lepas dari pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing maupun penjajah.
Berbagai warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru.
Namun, batik tradisional tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Setidaknya, batik non-pesisir masih kental dengan tradisi, sedangkan batik pesisir serasa lebih merdeka dan berani. Tak ketinggalan, kebijakan pemerintah turut membuat andil perubahan pada kerajinan kain batik.
Produksi kain tidak hanya dihasilkan dari tulis dan cap, melainkan produksi massal dengan motif printing atau cetak. Harga pun juga lebih bersaing dengan produksi massal itu, sehingga masyarakat kecil pun mampu membeli kain batik. Hal itu bisa dimaklumi, sebab batik asli dengan teknik cap ataupun tulis harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan produksi printing.
Lebih dari itu, gereget mencintai warisan budaya yang ditunjukkan dengan menggunakan produk dalam negeri itu mengajarkan cara menghargai budaya dan lingkungan sosial. Belajar dari beragam motif kain batik, kita akan mengetahui sisi luhur budaya Indonesia, berbagai tata krama, maupun adat. Belajar dari kain batik, kita juga belajar untuk semakin menghargai peninggalan budaya.
Ya, dari (hari) batik, kita bisa belajar menghargai budaya serta menghargai lingkungan...
(Yang menjadi pekerjaan saat ini adalah upaya untuk terus melestarikan warisan budaya tersebut. Di sejumlah sekolah, pihak sekolah sudah mengenalkan pembuatan batik serta beragam motifnya, dan hal itu cukup positif. Namun, rasa cinta dan bangga itu tak hanya bagaimana melestarikan kain batik sebagai warisan budaya, melainkan: memberikan pemahaman tentang filosofi motif kain batik. Batik bukan sekadar bisnis tapi ada filosofi dari motif serta kain batik itu sendiri. Budaya itu bukan hanya catatan sejarah, melainkan juga harus mengakar pada anak cucu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus membuat buku tentang batik dan memahami filosofi dibaliknya). (*)