Kekhawatiran akan tertundanya Pemilihan Kepala Daerah Kota Surabaya menjadi tahun 2017, untuk sementara sirna setelah dalam perkembangan terbaru muncul pasangan calon Wali Kota Dhimam Abror Djuraid dan calon Wakil Wali Kota Haries Purwoko yang rencananya diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional.
Kepastian tampilnya pasangan calon baru tersebut menyusul pernyataan Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan yang siap mengajukan Dhimam Abror sebagai Calon Wali Kota Surabaya setelah keduanya bertemu di kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Sabtu (1/8), tepat pada perpanjangan masa pendaftaran calon ke KPU.
Kehadiran Ketua MPR RI tersebut di Surabaya dan bertemu dengan Abror, tentu bukan sesuatu yang kebetulan. Bisa jadi, salah satu tokoh Koalisi Merah Putih yang kini sudah "cair" dengan Presiden Jokowi itu melihat gelagat kurang baik dari Koalisi Majapahit yang memberi sinyal akan menggagalkan Pilkada Kota Surabaya tahun ini.
Isyarat dari Koalisi Majapahit yang tidak menghendaki Pilkada Surabaya berlangsung tahun ini dengan tidak mengajukan calon ke KPU, mudah terbaca oleh rakyat sehingga menuai kecaman.
Dalih tidak adanya calon yang layak diajukan, tampaknya hanya sebagai alasan Koalisi Majapahit yang sulit diterima akal sehat, mengingat mereka sebenarnya memiliki kekuatan mayoritas di parlemen. Atau mereka ingin memberi pelajaran kepada PDI Perjuangan atas kecongkakannya sebagai pengusung tunggal Calon Wali Kota Tri Rismaharini dan wakilnya, Wishnu Sakti Buana, yang tidak memerlukan sokongan dari partai lain.
Apapun alasannya, sekelompok parpol yang tergabung dalam Koalisi Majapahit seharusnya tidak boleh memiliki rasa dendam atau sakit hati terhadap kesombongan PDIP. Mereka semestinya menghimpun optimisme memberikan perlawanan dengan mengajukan calon sembari memberdayakan mesin politiknya guna menghadang dominasi si petahana, Tri Rismaharini.
Bahwa, nantinya akan banyak tudingan terhadap pasangan calon susulan ini sebagai pasangan "boneka", itu sudah menjadi risiko bagi pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko. Untuk menepisnya, upayanya tidak sekadar menggerakkan mesin politik, tapi juga perlu menumbuhkan kreativitas politik.
Mungkin karena tidak melihat aksi apapun dari Koalisi Majapahit pasca pendaftaran 26-28 Juli lalu yang hanya menerima calon tunggal, Zulkifli Hasan memandang perlu terbang ke Surabaya untuk mendeklarasikan calon lain sekaligus menghindarkan keterancaman warga kota Surabaya yang tidak memiliki kepala daerah definitif hingga 2017.
Sampai di sini, dilema Pilkada Kota Surabaya boleh dikata untuk sementara teratasi. Namun, selesaikah persoalan serupa untuk lingkup nasional?
Problem lebih rumit terjadi di beberapa daerah. Selain Surabaya, sepuluh daerah juga mengalami masalah calon tunggal. Sementara itu KPU di 80 daerah hanya menerima dua pasangan calon, artinya jika salah satu pasangan calon tidak lolos verifikasi, pilkada di derah itu gagal terlaksana karena hanya memiliki satu pasangan calon.
Menghadapi kondisi seperti itu, jalan keluar paling efektif, baik dari pertimbangan aspek biaya, waktu maupun resistensi legalitas, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah kebijakan yang realistis.
Kompromi yang terimplementasi dari Perppu Pilkada adalah melegalkan bumbung kosong untuk melawan pasangan calon tunggal. Kita tidak perlu malu meniru tradisi demokrasi ala masyarakat desa di sebagian besar pulau Jawa dalam memilih Kepala Desa.
Selain tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan mana pun, penempatan bumbung kosong jelas lebih menghemat dana karena dia tidak memerlukan atribut, biaya kampanye serta yang lebih penting lagi tidak mengeluarkan mahar.(*)