Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menggelar hajatan akbar dalam waktu yang bersamaan.
Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar Ke-33 NU pada tanggal 1--5 Agustus 2015 di "kantong" NU, yakni Jombang, Jawa Timur, kemudian Muhammadiyah dengan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah pada tanggal 3--7 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan, yang diawali dengan Sidang Tanwir Muhammadiyah di tempat yang sama pada tanggal 1--2 Agustus 2015.
Agaknya kebersamaan NU-Muhammadiyah dalam muktamar itu sudah menjadi takdir bagi Muslim Indonesia untuk bersama-sama mengibarkan bendera "Islam Rahmatan Lil Alamin" ke seluruh dunia.
Betapa tidak, perhelatan akbar keduanya itu sesungguhnya sangat ditunggu dunia yang akhir-akhir ini mengalami islamofobia akibat cara-cara kekerasan yang dipertontonkan secara telanjang.
Ibarat gayung bersambut, Muktamar Ke-33 NU mengusung tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia", sedangkan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah mengangkat tema "Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan".
Jadi, NU dan Muhammadiyah ditakdirkan untuk saling mengisi (sinergi) dalam mengampanyekan Islam Nusantara ke seantero dunia dan Gerakan Pencerahan ke seluruh Indonesia.
"Muhammadiyah itu NU dan NU itu Muhammadiyah. Muhammadiyah itu pengikut karakter Muhammad, NU itu pengikut karakter ulama, sedangkan ulama itu pewaris Muhammad. Jadi, jangan mentang-mentang, karena sama saja," ucap budayawan Emha Ainun Nadjid (Cak Nun).
Ucapan Cak Nun dalam sebuah motivasi kepada ratusan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tanggal 6 Juli 2015 itu bisa mengisyaratkan bahwa "Islam Nusantara" yang menjadi tema Muktamar Ke-33 NU itu relatif cukup bagus.
Buktinya, Konsul Jenderal AS di Surabaya Joaquin Monserrate mengaku dirinya sangat mengagumi Islam di Indonesia karena Islam di Indonesia itu beda dengan di Timur Tengah. Islam di sini sangat menghormati agama minoritas.
Tidak hanya itu, dia juga mengaku terkesan dengan para tokoh lintas agama di Indonesia yang langsung berkumpul bila ada konflik antarumat beragama meski agama bukan pemicu sebenarnya.
"Lihat saja insiden di Tolikara (Papua), reaksi semua tokoh agama sangat menyejukkan dan tidak emosional," ucapnya di sela halalbihalal di rumah dinasnya di Surabaya, 23 Juli 2015.
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Sirodj menegaskan bahwa komitmen nasionalisme itulah yang membedakan Islam di Nusantara dengan di tempat lain.
"Pendiri NU Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari menyatakan Islam saja belum mampu menyatukan umat. Akan tetapi, nasionalisme saja akan kering. Oleh karena itu, Islam dan nasionalisme itu harus disatukan. Itulah Islam Nusantara," katanya.
Menurut dia, Islam di mana pun memang mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Akan tetapi, kekerasan dan peperangan di suatu negara Muslim tertentu bukan hanya dari konstelasi politik, melainkan ada problem ideologis dan teologis.
"Contohnya adalah Afghanistan yang 100 persen Muslim, tetapi perang terus dan PBNU sudah empat kali mendamaikan tetapi belum bisa. Jadi, Islam Nusantara adalah Islam dan nasionalisme yang menyatu. Itu mirip Piagam Madinah yang intinya pemeluk Islam yang melindungi dan mengayomi non-Islam," katanya.
Agaknya, Islam Nusantara yang punya komitmen nasional (nasionalisme) itulah yang membuat Afghanistan untuk mengirim mahasiswa ke Indonesia agar generasi muda mereka bisa damai antarsesama Muslim. Tidak hanya itu, Konsul Jenderal AS di Surabaya Joaquin Monserrate pun mengagumi.
Tiga Kebutuhan "Rakyat" NU
Namun, kebagusan "Islam Nusantara" itu belum menukik pada kebutuhan "rakyat" NU yang dicita-citakan para pendiri NU sebab para pendiri NU menyebut tiga "kebutuhan utama" nahdiyin.
Tiga "kebutuhan utama" nahdiyin dalam pandangan para pendiri NU adalah pendidikan (taswirul afkar), ekonomi (nahdlatut tujjar), dan nasionalisme atau dakwah (nahdlatul wathon). Jadi, Islam Nusantara itu masih sepertiga bagian dari "kebutuhan utama" itu.
Apalagi, tantangan era globalisasi sudah di depan mata yang akan diawali dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir Desember 2015 atau awal Januari 2016.
Tentunya hal itu tidak cukup hanya dijawab dengan nasionalisme (cinta bangsa/negara), tetapi perlu dijawab dengan kualitas sumber daya manusia (pendidikan) dan kualitas kesejahteraan masyarakat (ekonomi).
Oleh karena itu, muktamirin tidak cukup hanya membahas Islam Nusantara dalam muktamar, tetapi juga harus merumuskan kebangkitan pendidikan dan kebangkitan ekonomi dari warga NU yang justru lebih strategis.
Dengan begitu, regenerasi di lingkungan NU akan berkembang dengan baik karena NU akan memiliki kader-kader terdidik dan sejahtera. Dengan demikian, NU tidak justru merekrut kader-kader non-NU yang terdidik dan makmur, tetapi komitmen ke-NU-an terkait dengan nasionalismenya patut dipertanyakan.
Bahkan, kalau perlu, muktamirin langsung mendesak kerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenristekdikti sekaligus menjalin kerja sama dengan Kemenko Perekonomian dan kalangan swasta untuk mendirikan "mercusuar" dalam bidang pendidikan dan ekonomi di seluruh provinsi dalam kurun lima tahun ke depan.
Para saudagar NU pernah meluncurkan "Himpunan Pengusaha NU" (HPN). Namun, forum itu belum maksimal manfaatnya untuk warga NU, lalu LP Maarif NU Jatim juga sudah meluncurkan "Sekolah Unggulan" dan PBNU sudah mendirikan sejumlah Universitas Nahdlatul Ulama (UNU). Sekolah unggulan dan UNU itu perlu dilipatgandakan dan diratakan.
Dalam konteks pendidikan, NU bisa saling bersinergi dengan Muhammadiyah karena satunya unggul dalam model pesantren dan satunya unggul dalam model sekolah.
Yang tidak kalah pentingnya, muktamirin juga perlu mendesak Kemendikbud untuk merealisasikan Rekomendasi Musykerwil NU Jatim No: /MKW-NU/II/2014 tertanggal 27 Februari 2014 tentang perlunya pemerintah (Kemendikbud) memfasilitasi akses pendidikan tinggi bagi santri di lingkungan pondok pesantren salaf dengan membuka Fakultas/Prodi Agama Islam di Universitas Terbuka.
Alasannya, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengakui keberadaan pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Namun, kebijakan pendidikan nasional masih diskriminatif terhadap pesantren.
Walhasil, muktamirin tidak perlu terlalu menghabiskan energi untuk menyoal AHWA (ahlul halli wal aqdi atau sistem pemilihan rais/ketua lewat musyawarah), karena "kebutuhan utama" nahdliyin yang perlu dibahas setotal mungkin dalam muktamar adalah pendidikan, ekonomi, dan nasionalisme/dakwah dalam "satu paket".
Jadi, terlepas dari siapa "elite" yang memimpin NU ke depan, maka Muktamar Jombang harus menjadi Muktamar "Rakyat" NU dan bukan Muktamar "Elite" NU sebab apa artinya "elite" atau Islam Nusantara yang dipuji banyak pihak bila "rakyat" NU tidak diperhatikan?
Kesan itu bukan tanpa dasar, coba perhatian ucapan "Selamat Muktamar Ke-33 NU" di sejumlah daerah, misalnya Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi, atau di Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, tampak tidak ada satu pun dari warga NU, bahkan dari pengurus ranting dan kecamatan pun tidak.
Kalau demikian, apa bisa dibilang Muktamar Ke-33 NU di "Republik NU" Jombang itu Muktamar "Rakyat" NU (nahdiyin) bila nahdiyin tidak menyambut dengan gereget atau dengan partisipasi ala orang awam? Semoga saja tidak ada faktor politik yang menyertai hal itu.
Memang, di dunia jejaring media sosial cukup ramai, tetapi tidak ada efek bagi mayoritas umat NU yang awam. Oleh karena itu, muruah kehormatan) NU dan para kiai yang berorganisasi/bermuktamar untuk kepentingan masyarakat haruslah tumbuh kembali melalui semangat "taswirul afkar", "nahdlatut tujjar", dan "nahdlatul wathon". Selamat Bermuktamar..!(*).