Ini bukan soal gerakan radikal, tapi sama-sama dianggap teror atau semacam momok. Ya, ini bukan soal ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), tapi soal UN atau ujian nasional yang selama ini juga menjadi "teror". Alhamdulillah, kini sudah ada dua "kelainan" (berbeda dengan sebelumnya) UN. "Kelainan" pertama adalah model UN bukan lagi cuma ujian di atas kertas tapi juga ada ujian berbasis komputer atau UN "computer base test" (CBT) alias UN CBT. Ini bukan daring (dalam jaringan internet/"online") tapi mirip "offline". Sebagai model yang baru pertama kali diperkenalkan, tentu evaluasi atas kelemahannya belum dapat dilakukan. Bisa saja, kelemahan "UN CBT" itu terjadi jika ada (aliran) listrik mati. Atau, bisa juga kelemahan yang lebih canggih lagi, misalnya upaya peretasan (hacker). "Sebagai teknologi, saya kira UN CBT itu merupakan harapan ke depan yang lebih baik, karena memang irit (hemat) dibandingkan dengan menggunakan kertas yang menghabiskan dana miliaran rupiah, tapi perlu dikaji lagi," ujar Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainuddin Maliki. Yang jelas, data terkini sesuai lampiran surat Puspendik Nomor 0327/H4/TU/2015 tercatat 585 lembaga pendidikan se-Indonesia akan mengikuti UN CBT (computer base test) pada tahun 2015. Tentu, jumlah itu sangat sedikit dibanding ribuan SMP/SMA di negeri ini dan ini pengalaman pertama. Dan, 164 dari 585 lembaga pendidikan(SMP/SMA) di antaranya berasal dari Jatim (28 persen). Sesungguhnya, Jatim mengusulkan 198 sekolah di Jatim yang dinyatakan siap untuk menggunakan CBT dalam UN 2015 yakni 57 SMP (56 SMP negeri dan satu SMP swasta), 70 SMA (62 SMA negeri dan delapan SMA swasta), dan 71 SMK (42 SMK negeri dan 29 SMK swasta). Namun, jumlah itu diverifikasi dan akhirnya hanya 164 sekolah yang dinyatakan benar-benar siap. "Kelainan" (perbedaan) kedua adalah UN bukan lagi menentukan "nasib" seseorang, lulus atau tidak. Nilai minimal memang dipatok 55, tapi kalau nilainya di bawah itu bukan berarti "wassalam" atau tamat riwayatnya (tidak lulus), karena boleh melakukan perbaikan pada mata pelajaran yang nilainya di bawah 55 itu saja pada tahun berikutnya. Kalau nilainya "lulus" maka mendapatkan sertifikat hasil UN (SHUN). Lantas apa penentu kelulusan siswa sekarang? Kalau dulu, nasib siswa ditentukan UN atau negara yang berperan, maka kini kelulusan siswa ditentukan US (ujian sekolah) atau sekolah yang berperan. Kalau US dinyatakan lulus, maka akan mendapatkan sertifikat tamat belajar (STB), tapi kalau tidak lulus maka mengulang kelas (tidak naik kelas). Kalau nilai UN dipatok 55 untuk menentukan perbaikan atau tidak, maka nilai US tidak dipatok untuk menyebut lulus atau tidak. Patokan nilai US untuk kelulusan bergantung kepada sekolah. walhasil, sekolah menerima "full mandatory" (kewenangan penuh) terkait kelulusan siswa (lewat US) itu. Jadi, kelulusan siswa sekarang tidak lagi ditentukan negara (UN), melainkan ditentukan sekolah (US). Namun, UN bukan berarti tidak ada artinya, karena nilai UN akan menjadi pertimbangan dalam SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri) bersama rapor (akademik selama tiga tahun, bukan sekadar STB) dan prestasi (non-akademik, seperti olimpiade dan sebagainya). Selain itu, UN akan menonjolkan fungsi pemetaan yang selama ini tidak diketahui banyak orang. Artinya, pemerintah selama ini menggunakan UN untuk memetakan SEKOLAH TERJELEK untuk dilakukan intervensi, misalnya intervensi dalam perbaikan mata pelajaran tertentu (perbaikan mutu guru), perbaikan sarana dan prasarana (perbaikan gedung atau laboratorium), perbaikan... Fungsi pemetaan itu juga akan dipakai oleh perguruan tinggi, namun universitas justru akan menggunakan UN untuk memetakan SEKOLAH TERBAIK untuk mengetahui siswa yang berprestasi, meski perguruan tinggi juga tetap melihat rekam jejak siswa melalui rapor dan prestasi non-akademik serta rekam jejak alumni sekolah yang menempuh studi di universitas itu (sebagai pembanding), termasuk melalui seleksi universitas juga. Mantan Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan bahwa fungsi pemetaan inilah yang tidak diketahui oleh pihak-pihak yang menolak UN selama ini. "Mereka menilai UN itu diskriminatif, karena menyamakan kualitas siswa Jawa dengan luar Jawa, termasuk Papua," ucapnya. Isu diskriminatif itu menjadi amunisi untuk "menolak" UN yang saat itu menjadi penentu kelulusan, sehingga kritik yang bertubi-tubi pun mencecar UN, karena diskriminasi dan juga "menyederhanakan" kelulusan untuk belasan mata pelajaran hanya dalam 3-4 mata pelajaran yang diujikan melalui UN. Kini, UN yang tak lagi menjadi penentu kelulusan itu hanya menyisakan satu kritik saja terkait diskriminasi itu. agaknya, isu ini bisa dipatahkan dengan fungsi pemetaan itu tadi, apalagi negara lain juga menggunakan "ujian negara" untuk pemetaan itu, seperti Jepang, Malaysia, India, dan sebagainya. "Kalau kita mengukur suhu pada satu tempat dengan termometer (alat ukur suhu) yang berbeda, yakni Celsius, Fahrenheit, Reamur, tentu sulit diketahui berapa suhu sebenarnya, karena hasilnya berbeda, tapi kalau kita mengukur dengan satu alat ukur, maka kita akan tahu berapa suhu di sini dan berapa suhu di sana, sehingga diketahui berapa selisihnya dan apa kekurangannya," ucap Nuh ketika berdialog dengan para penolak UN. Jadi, UN kini lebih "fair", karena manfaatnya untuk pihak lain yakni negara/pemerintah dan universitas. Bukan seperti dulu yang terkesan untuk "mengadili" siswa, meski pihak lain (pemerintah dan universitas) juga mengambil manfaatnya, namun para siswa justru berontak. Kini, siswa lebih ditentukan "nasibnya" oleh pihak sekolah. "Mulai tahun ini, UN hanya alat untuk memotret capaian siswa, karena itu UN harus dilaksanakan dengan 100 persen jujur," kata Mendikbud Anies Baswedan dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, Jawa Barat (30/3). Bagaimana kalau diterima perguruan tinggi, lalu ada mata pelajaran tertentu dari UN yang nggak lulus? "Soal itu berpulang kepada perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalau di Australia, ada siswa yang memilih masuk jurusan komunikasi, tapi nilai UN atau rapor dalam bidang sains tidak lulus, maka hal itu tidak dipersoalkan, asalkan siswa itu memiliki nilai bahasa yang bagus. Jadi, melihat kesesuaian dengan jurusan yang dipilih," ujar Prof Zainuddin Maliki. Tentu, kepercayaan pemerintah/negara kepada sekolah (sebagai penentu kelulusan lewat US) itu harus diimbangi pihak sekolah untuk bersikap "fair" pula dalam "meluluskan" siswa melalui tiga kompetensi yang "fair" pula yakni pengetahuan, ketrampilan, dan sikap (sebagaimana target tiga kompetensi siswa dalam Kurikulum 2013). Sekolah jangan hanya meluluskan siswa yang bagus dalam pengetahuan tapi kompetensi sikap dan ketrampilannya justru bobrok, apa artinya?!. (*).
UN Kini Bukan "ISIS"
Minggu, 5 April 2015 7:15 WIB