Meski memiliki dasar hukum yang jelas, tetap saja pelaksanaan eksekusi mati terhadap para pelaku kejahatan, terdengar sangat mengerikan. Sikap dan tanggapan tersebut mencuat menjelang pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua terhadap sejumlah terpidana mati kasus narkotika, baik untuk warga negara Indonesia maupun asing. Berbagai tanggapan muncul di masyarakat menyikapi perihal hukuman mati tersebut. Ada yang menolaknya karena dianggap pelanggaran HAM, namun tidak sedikit pula yang mendukungnya jika melihat dampak dari kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Di Indonesia, dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Tetapi, peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh atau pelaku kejahatan saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa, termasuk korban narkotika yang puluhan meninggal dunia per hari. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Hingga tahun 2006, tercatat ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati. Di antaranya, KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, serta UU Pengadilan HAM. Dan itu masih berlaku hingga saat ini. Mengutip pendapat Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Narotama (Unnar) Surabaya Rusdianto Sesung, bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM, bahkan hukuman mati itu juga merupakan bagian dari penegakan HAM. "Para pegiat HAM seringkali melihat hak hidup itu pada pelaku kejahatan, padahal korban kejahatan juga memiliki hak hidup," kata Rusdianto. Para pegiat HAM, katanya, hanya menafsirkan bahwa hak hidup adalah hak terhadap manusia "jahat" (terpidana) atau yang diduga jahat (tersangka atau terdakwa) yang hendak dieksekusi mati. Hampir tidak pernah dipikirkan bahwa "korban kejahatan" juga memiliki hak untuk hidup, namun oleh para "penjahat", hak hidup itu telah hilang dan tidak pernah diperhatikan. Buktinya, pro-kontra penghilangan hak hidup itu baru muncul jika negara akan menghukum mati seorang "penjahat" yang telah menghilangkan hak hidup orang lain. "Hampir tidak pernah diperdebatkan mengenai korban yang ditimbulkan oleh penjahat bersangkutan, sehingga penjahat tersebut juga layak dihilangkan nyawanya," ungkap kandidat doktor pada Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu. Dalam ketentuan Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan jelas disebutkan bahwa pelaksanaan hak asasi wajib menghormati hak asasi orang lain. Tujuan penghormatan atau kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain tersebut ialah untuk menciptakan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. "Dapat dibayangkan bagaimana keadaan ketertiban suatu negara jika dalam pelaksanaan hak asasi tidak dibatasi dengan adanya kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Oleh karena itu, penghormatan terhadap hak asasi orang lain merupakan bagian dari penegakan HAM itu sendiri," katanya. Tanggapan lain keluar dari pemikiran seorang terpidana mati kasus narkoba Raheem Agbaje Salami alias Stephanus Jamiu Owolabi Abashin. Dalam surat wasiatnya tertanggal 2 Maret, Raheem menyatakan soal hidup dan mati manusia adalah kewenangan Tuhan, sebab hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia. Meski berharap keajaiban, namun ia mengaku pasrah dengan pelaksanaan eksekusi mati tersebut. Setuju ataupun tidak setuju, ia harus menerima putusan hukuman tersebut. "Biarlah eksekusi (saya) ini menjadi yang terakhir di Indonesia," kata Raheem dalam surat itu. Menurut dia, eksekusi mati, bukan jalan utama memberantas narkoba di Indonesia. Yang perlu dibenahi adalah sistem peradilan di Indonesia. Karena justru bandar atau bos narkoba masih bebas berkeliaran karena memiliki daya untuk memainkan hukuman. "Selama mereka masih berkeliaran dan masih bisa memainkan praktik jual dan beli hukuman, maka pemberantasan narkoba sulit dilakukan. Jangan biarkan terjadi jual dan beli hukum di Indonesia. Saya tahu dan mengalami situasi di mana karena kemiskinan, saya tidak mampu melakukan praktik tersebut, sehingga saya menerima hukuman yang demikian berat," demikian ujar Raheem. Memang, sangat disayangkan seorang pelaku kejahatan tega melakukan tindakan kriminal hingga akhirnya divonis hukuman mati. Apapun yang dilakukannya, lembaga hukum tentunya memiliki pertimbangan kuat untuk memutuskan seorang pelaku kejahatan layak mendapat hukuman mati atau tidak. Suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung, hukuman mati tetap akan dilaksanakan untuk menjunjung tinggi kedaulatan hukum dan keadilan. Sikap setuju maupun tidak setuju pasti akan timbul dari sebuah konsekuensi dan keputusan yang diambil. Hal ini demi tegaknya hukum di Indonesia. Tentu, upaya lain yang mempersempit gerak mafia narkoba juga perlu dilakukan dan dilakukan. (*)
Pro-Kontra Eksekusi Mati
Minggu, 15 Maret 2015 20:29 WIB