Mengenakan pakaian putih, celana panjang hitam, tidak memakai peci, dan tanpa aksesoris mengawali langkah pertama Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) menyapa masyarakat Indonesia di Pesta Rakyat di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 20 Oktober 2014. Dengan semangat muda dan kesederhanaannya, pria yang gemar mendaki gunung dan musik rock and roll tersebut tampak berlari kecil dari belakang panggung menuju depan panggung sembari melambaikan tangan kepada rakyatnya, baru kemudian mengucapkan salam dan memulai Pidato Kerakyatan-nya. Pada detik-detik yang dinanti ratusan juta rakyat Indonesia itu, Presiden berusia 53 tahun tersebut menyatakan Indonesia adalah negara besar menjadi harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, pria yang saat berkampanye identik dengan baju kotak-kotak tersebut mengajak seluruh pemangku kepentingan bersama masyarakat untuk kerja, kerja, dan kerja, demi semua perubahan menuju Indonesia Hebat dan kesejahteraan rakyat. Menyikapi hal itu, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tersebut mengambil langkah cepat dan tepat dengan mengumumkan Kabinet Kerja pada tanggal 26 Oktober lalu di hadapan rakyat. Saat itu, Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan seluruh menterinya mengenakan pakaian putih. Ketika pengenalan menteri yang ditampilkan secara sederhana itu, Jokowi juga mengajak para menteri untuk berlari kecil guna menunjukkan semangatnya yang tinggi dalam melayani rakyat. Dari 34 kementerian yang dikenalkan ada beberapa mendapat sorotan utama masyarakat yakni yang bertugas sebagai menteri di bidang perekonomian. Contoh, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) serta Menteri Energi Sumber Daya Manusia. Bahkan, Menko Kemaritiman yang merupakan kementerian baru mengemban tanggung jawab besar dari rakyat termasuk guna membangun poros maritim dunia dan menggali potensi di Indonesia. Penyebabnya, mereka yang berpredikat sebagai menteri di bidang ekonomi dihadapkan pada permasalahan sangat kompleks di antaranya defisit neraca perdagangan dan subsidi BBM. Dari kondisi itu, kini Pemerintahan Jokowi akan melanjutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)-Perubahan 2014 warisan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana batas defisit anggaran di APBN-P 2014 adalah 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, ada ancaman defisit anggaran bisa melebihi jumlah tersebut. Penyebabnya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang bisa melebihi pagu Rp246,5 triliun karena pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara, penerimaan pajak diperkirakan tidak mencapai target, hanya 94 persen. Untuk mengatasi persoalan ini, mau tak mau, pemerintah harus menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga akan menekan konsumsi sehingga subsidi bisa dihemat. Sementara, September lalu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang akan menjadi acuan bagi satu tahun pertama pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. Pengesahan itu membuka jalan bagi rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang diproyeksi diberlakukan per 1 November 2014 dengan skema antara Rp1.000 hingga Rp3.000 per liter atau menjadi Rp7.500 hingga Rp9.500 per liter. Walau skenario penaikan harga BBM subsidi sering menimbulkan gejolak pasar, sejak pengesahan UU APBN 2015 pemerintah telah bersiap karena alokasi dana kompensasi sewaktu-waktu melalui porsi APBN tahun depan bisa digunakan untuk meminimalisir dampak kenaikan harga BBM. Alokasi dana cadangan perlindungan sosial yang bisa digunakan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM sebesar Rp5 triliun. Dana ini sekaligus menggenapi dana kompensasi menjadi Rp10 triliun, karena dalam APBN Perubahan 2014 pun sudah ada dana siaga Rp5 triliun. Melalui alokasi dana itu Pemerintahan Jokowi bisa menaikkan harga BBM pada awal periode pemerintahannya yang efektif mulai 20 Oktober 2014. Apalagi, undang-undang tidak mengharuskan presiden untuk meminta persetujuan DPR jika ingin menaikkan harga BBM subsidi. Jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah akan menanggung beban subsidi yang terlalu berat menyusul pemerintahan sebelumnya mewariskan beban subsidi BBM 2014 senilai Rp45 triliun dan harus dibayar pada 2015. Kalau harga BBM dinaikkan, pemerintahan saat ini punya lebih banyak anggaran untuk pembangunan. Bahkan, upaya itu ideal sebagai salah satu solusi defisit APBN dan kembali menguatkan posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Masalahnya, kenaikan harga BBM subsidi memang selalu memicu gejolak sosial dan ekonomi misalnya melonjaknya jumlah masyarakat miskin karena tingginya inflasi atau kenaikan harga bahan pangan. Oleh karena itu, saat menaikkan harga premium dan solar pada 2013, pemerintah telah menganggarkan dana kompensasi hingga Rp29,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp9,7 triliun diantaranya dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Ahmadi Noor Supit, mengatakan, kenaikan harga BBM tidak saja mengurangi beban subsidi dan memberikan anggaran pembangunan yang lebih besar bagi pemerintahan mendatang. Akan tetapi juga menjadi alat ampuh untuk mengerem konsumsi BBM subsidi sehingga kuota 46 juta kiloliter bisa dijaga. "Buktinya sudah ada, kalau harga naik, konsumsi pasti lebih rendah, karena masyarakat jadi lebih hemat," katanya. Mengenai porsi APBN 2015, dalam sidang paripurna DPR untuk pengesahan UU APBN 2015, Menteri Keuangan (Era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), Chatib Basri, menyebutkan, APBN 2015 disusun dengan asumsi makro pertumbuhan ekonomi 5,8 persen, inflasi 4,4 persen, nilai tukar rupiah Rp11.900 per dolar AS, tingkat suku bunga SPN (Surat Perbendaharaan Negara) 3 bulan sebesar 6 persen. Lalu, harga minyak mentah Indonesia rata-rata 105 dolar AS per barel, lifting minyak 900 ribu barel per hari, dan lifting gas 1.248 ribu barel setara minyak per hari. Asumsi makro tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan terkini dan prospek perekonomian 2014 dan 2015. Dari sisi belanja, APBN 2015 juga menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya menembus angka Rp2.000 triliun. Target pendapatan negara 2015 dipatok sebesar Rp1.793,6 triliun dan belanja negara mencapai Rp2.039,5 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran mencapai Rp245,9 triliun atau 2,21 persen terhadap Product Domestik Bruto (PDB) dinilai masih relevan karena batas maksimalnya 2,4 persen. Besaran pendapatan negara tersebut, mayoritas dari pendapatan dalam negeri Rp1.790,3 triliun yaitu penerimaan perpajakan sebesar Rp1.380 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp410,3 triliun serta hibah Rp3,3 triliun. Untuk belanja negara sebesar Rp2.039,5 triliun terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.392,4 triliun dan dana transfer ke daerah serta dana desa sebesar Rp647 triliun. Belanja pemerintah pusat terdiri atas belanja Kementerian Lembaga Rp647,3 triliun dan belanja non Kementerian Lembaga Rp745,1 triliun. Khusus subsidi energi dianggarkan sebesar Rp344,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM, BBN, LPG, dan LGV ditetapkan Rp276,01 triliun dan subsidi listrik Rp68,68 triliun. Lalu, penerimaan migas Rp312,97 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas Rp13,99 triliun dan cost recovery 16 miliar dolar AS, pendapatan mineral dan batu bara Rp24,599 triliun serta PNBP mineral dan batu bara Rp16,06 triliun. Untuk target dividen BUMN dalam draft tersebut disebutkan sebesar Rp44 trilun. Kemudian, pembiayaan anggaran yang ditetapkan untuk menambal defisit 2015 sebesar Rp245,89 triliun berasal dari pembiayaan utang Rp254,8 triliun dan pembiayaan non utang sebesar Rp8,96 triliun. Komposisi itu diyakini memang sedikit berbeda karena bersamaan dengan masa transisi sehingga penetapannya lebih awal atau pada September 2014 mengingat kebijakan itu bisa lebih luas untuk lima tahun ke depan (2014-2019). Meski begitu, ada beberapa kebijakan penting dalam belanja negara 2015 antara lain adanya efisiensi anggaran subsidi energi dengan didukung kebijakan alokasi subsidi yang lebih tepat sasaran, mengurangi konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap, serta mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan. Bahkan, mendukung pencapaian sasaran pembangunan yang berkelanjutan misalnya melalui dukungan pembangunan konektivitas nasional, percepatan penanggulangan kemiskinan, serta peningkatan daya saing ketenagakerjaan. Dari kondisi itu, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Adiningsih, mengemukakan, APBN 2015 senilai Rp2.039,5 triliun memang secara nominal bagus. Tapi hal yang perlu diantisipasi adalah masalah kebocoran dan korupsi yang bisa terjadi baik dalam kebijakan maupun mengambil sumber-sumber penerimaan negara. Untuk itu, pemerintahan saat ini diharapkan telah menyusun tim ekonominya yang punya sepak terjang terutama tidak menyalahgunakan jabatan dan tidak membuat kebocoran ekonomi. Mereka harus memiliki integritas, menjalankan amanah dengan jujur dan bersih serta bekerja pro-rakyat atau bukan pro-pasar. Padahal Desember tahun 2015 sudah diberlakukan kerja sama perdagangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Namun, kini secara umum, sumber daya manusia Indonesia masih kalah dengan Malaysia dan Singapura. Akibatnya, situasi ekonomi nasional sangat terbuka bagi siapa pun. Untuk mengantisipasinya, perlu andil pengambil kebijakan yang orangnya tepat dan didukung kondisi politik yang stabil supaya uang negara tetap digunakan untuk masyarakat dan meningkatkan daya saing Indonesia pada masa mendatang. Secara umum, visi misi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah bagus dan tinggal merealisasinya. Oleh sebab itu idealnya tidak meneruskan konsep yang sudah ada karena ekonomi Indonesia akan cenderung stagnan atau tidak ada perubahan apa pun. Apalagi, kini rakyat di penjuru Nusantara sudah cerdas dan mereka butuh bukti nyata bukan janji politik semata. "Walau proporsi APBN 2015 belum sesuai dengan sejumlah kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur dan akan direvisi melalui APBN-P 2015, sebaiknya pejabat yang terpilih tetap memberikan pelayanan publik dengan maksimal. Bukan menunggu turunnya anggaran baru menunjukkan aksi mereka atau hanya bekerja saat gunting pita di sejumlah acara peresmian tertentu," katanya. (*)
Menanti Bukti Kabinet "Berlari"
Minggu, 2 November 2014 5:30 WIB