Politik kadang suka bikin bingung, bahkan tidak jarang membuat banyak orang terkecoh. Padahal, persepsi sebagian besar orang terhadap politik sangatlah negatif, dikesankan kotor dan jahat. Akibat pandangan seperti itu, nyaris membuat bangsa Indonesia terbelah dua, satu di kubu Koalisi Merah Putih dan lainnya di kubu Koalisi Indonesia Hebat. Momentum itu sangat terasa ketika negeri ini akan memilih pemimpin menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak masa kampanye, pemilihan Presiden hingga pascaPilpres, tampak jelas bahwa rakyat sudah terpolarisasi. Fakta lebih tegas dapat kita simak melalui berbagai media sosial. Kata-kata kotor, kalimat berbau fitnah, gambar dan foto tak senonoh, bahkan umpatan najis, menyeruak menghiasi facebook atau media semacamnya, yang dilancarkan pendukung masing-masing kubu. Sedikit sekali komentar yang bernada mengajak berdamai dan menciptakan suasana sejuk agar situasi menjadi kondusif. Yang terjadi malah sebaliknya, lebih banyak yang larut untuk saling ejek, saling fitnah dan ada pula yang berakhir dengan adu fisik. Ketegangan memuncak pasca Mahkamah Konstitusi menolak gugatan kubu KMP. Berbagai keputusan politik produksi DPR RI yang masih dikuasai kubu KMP, terus menohok kubu Koalisi Indonesia Hebat sehingga secara kalkulatif memunculkan skor akumulatif 5-0 untuk kemenangan KMP. Kekalahan telak KIH tak pelak memunculkan spekulasi bahwa sepak terjang pemerintahan Presiden terpilih Jokowi kelak akan selalu diganjal oleh lawan-lawan politiknya. Bahkan sempat beredar isu, prosesi pelantikan Jokowi saja akan diboikot oleh anggota MPR dari KMP dengan tidak menghadiri acara sehingga kalaupun pelantikan tetap dilaksanakan, akan terkesan ilegal. Meski kesan umum menyimpulkan bahwa politik itu kotor, tapi berkat politik pula demokrasi di Indonesia mencatat kemajuan luar biasa yang dimulai dari langkah Jokowi dengan mendatangi pesaing politik seperti Aburizal Bakrie dan puncaknya sowan kepada rivalnya, Prabowo Subianto. Peristiwa langka dan tidak diduga sebelumnya itu membalik perkiraan pengamat politik yang umumnya menyatakan bahwa "perang" kedua kubu bakal berlanjut di Senayan. Namun dengan adanya pernyataan Prabowo bahwa KMP diinstruksikan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK kendati pernyataan itu bersifat normatif, setidaknya membuat kebekuan yang selama ini menyelimuti kedua kubu telah mencair. Adalah Jokowi yang melakukan gerak cepat dengan merangkul para kompetitor. Tindakannya itu merupakan inisiatif pribadi tanpa dimusyawarahkan dulu dengan pimpinan partai pengusungnya, terbukti ia datang sendiri menemui lawan-lawan politik tanpa didampingi Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla maupun para petinggi PDIP. Jokowi agaknya sadar, kerja kerasnya sebagai presiden menjadi tidak ada artinya jika terus dirongrong oleh penghuni Senayan yang sebagian besar bukan pendukungnya. Karena itu, mau tidak mau, dia harus menemui semua yang dianggap sebagai kerikil pengganjal. Para pendukung Jokowi di media sosial pun menyambut gembira upaya presiden terpilih itu. Apalagi dia berhasil diterima oleh Prabowo, tidak sekadar berjumpa, tetapi disambut dengan hangat. Dampak dari silaturahmi tersebut, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan Ketua DPR RI Setyanto Novanto maupun Ketua DPD RI Irman Gusman menjamin bahwa anggotanya siap hadir pada upacara pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, artinya tidak ada lagi ganjal mengganjal. Untuk sementara, perang Bharata Yudha di Senayan berakhir damai. Biarkan pemerintah Jokowi menyelesaikan tugas besar yang mendesak saat ini, seperti menaikkan harga BBM, menghadapi demo buruh yang menuntut kenaikan upah maupun masalah krusial lainnya. Meski telah berbaikan, tidak ada jaminan bahwa pemerintahan baru tidak akan mendapatkan gangguan, sebab politik itu kerap bikin orang bingung. Memang, demokrasi itu masih mudah diucapkan, tapi menerima kekalahan itu bukan perkara mudah. (*)
Bharata Yudha Damai di Senayan
Minggu, 19 Oktober 2014 18:56 WIB