Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadikan perayaan peringatan Hari Olahraga Nasional ke-30 yang jatuh pada 9 September 2013 sebagai momentum untuk mewujudkan jati diri bangsa. Harapan itu tidak berlebihan, mengingat olahraga juga bisa menjadi salah satu sarana penting dalam memupuk semangat nasionalisme. Budaya olahraga yang tumbuh dan berkembang dalam diri setiap lapisan masyarakat Indonesia dapat menjadi sarana untuk meningkatkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan olahraga, masyarakat dapat belajar banyak hal, antara lain kedisiplinan, sportivitas, sifat pantang menyerah, semangat kerja sama, saling menghargai, rasa kebanggaan, dan kehormatan. Semangat nasionalisme membuat seseorang merasa memiliki bangsa dan negara sehingga memotivasi setiap olahragawan untuk berjuang sekuat tenaga di arena pertandingan, bahkan hingga titik darah penghabisan demi kemajuan dan mengangkat martabat bangsa dan negaranya. Tingginya rasa nasionalisme masyarakat sudah terlihat di beberapa cabang olahraga, sebut saja sepak bola dan bulu tangkis. Kendati Timnas Indonesia prestasinya sedang menurun, dukungan masyarakat tidak pernah surut. Setiap kali timnas berlaga di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta--kecuali saat PSSI terpecah--puluhan ribu penggila bola berduyun-duyun memberikan dukungan. Mereka tidak lagi membawa bendera Persija, Persib, Persebaya, atau lainnya, tetapi satu misi mendukung Merah Putih. Kondisi hampir sama juga terlihat di cabang bulu tangkis. Olahraga teplok bulu yang sering mengharumkan bangsa dan negara Indonesia di kancah internasional ini juga menyedot animo masyarakat. Kecintaan dan tingginya rasa nasiolisme terhadap perjuangan duta olahraga di lapangan menjadi salah satu alasannya. Masyarakat Indonesia sejatinya sangat haus akan prestasi duta-duta di berbagai cabang olahraga. Dalam beberapa tahun terakhir atau sejak era reformasi, prestasi olahraga Indonesia mengalami kemerosotan. Julukan sebagai penguasa Asia Tenggara karena seringnya menjuarai SEA Games, seakan sirna. Indonesia kembali merebut juara umum SEA Games tahun 2011 saat menjadi tuan rumah, setelah terakhir sebelum reformasi 1997. Banyak faktor yang membuat prestasi olahraga Indonesia menurun di kancah internasional, khususnya Asia Tenggara. Salah satunya keributan politik dalam negeri pascareformasi yang berimbas kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembinaan olahraga. Akibatnya, budaya olahraga di masyarakat juga ikut terpengaruh. Semboyan mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga makin jarang terdengar. Rendahnya budaya berolahraga itu menunjukkan kurang pedulinya masyarakat terhadap olahraga dan akhirnya berimbas langsung kepada prestasi olahraga Indonesia di kancah regional maupun internasional. Dalam beberapa tahun terakhir seiring membaiknya kondisi politik dan ekonomi, pemerintah mulai serius membenahi sektor olahraga dengan menggelontorkan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Akan tetapi, gelontoran dana itu belum berdampak maksimal terhadap prestasi yang diharapkan. Bahkan, ada sebagian oknum yang justru menilep dana tersebut untuk kepentingan lain. Kalau sudah demikian, apa yang salah dari sektor olahraga kita? Apakah sistem pembinaan dan budaya olahraganya perlu dibenahi lagi? Kalau memang olahraga bisa membentuk jati diri bangsa dan negara, seharusnya semangat itu ditanamkan pada diri setiap masyarakat Indonesia. Jangan gunakan olahraga untuk kepentingan lain, karena sampai kapanpun tidak akan pernah ada keseriusan dalam mengurusnya sehingga ujung-ujungnya prestasi yang ditunggu juga sulit diwujudkan. Munculnya konflik di kepengurusan cabang olahraga juga tidak lepas dari adanya kepentingan lain di luar olahraga yang masuk. Mari kita dukung misi pemerintah untuk menjadikan Haornas tahun ini sebagai momentum mewujudkan jati diri bangsa dan negara, yakni dengan menempatkan olahraga sebagai budaya di kalangan masyarakat, terutama anak-anak dan generasi muda penerus bangsa. (*)
Budaya Olahraga dan Jati Diri Bangsa
Senin, 9 September 2013 13:02 WIB