Wajah bangsa ini masih saja menampakkan kemuramdurjaannya. Berbagai persoalan terus mendera, khususnya terkait dengan perilaku korup yang ditunjukkan para pemimpin di berbagai lini. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera yang selama ini identik dengan "partai putih" (sikap bersih), ternyata tak luput dengan penyakit kronis yang sudah menjalar ke seluruh lini. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ditangkap KPK karena diduga terkait dengan korupsi impor daging sapi. Posisinya kemudian diganti oleh Anis Matta. Meski sudah dibentuk badan khusus untuk menangani penyakit rasuwah ini, namun tak membuat para pejabat takut untuk mencuri uang rakyat lewat kekuasaannya. Barangkali kalau lembaga penegak hukum lainnya sekencang KPK menangkapi para koruptor, bangsa ini akan menghadapi persoalan baru, yakni kurangnya sel tahanan untuk menampung para pencoleng. Tak hanya persoalan korupsi. Di bagian lain, bangsa ini juga dirongrong oleh satu penyakit yang tak kalah kronisnya, peredaran narkoba. Para aktivis yang peduli pada masalah ini berteriak-teriak bahwa narkoba lebih berbahaya dari korupsi. Atau setidaknya, narkoba tidak kalah mengerikannya dibanding korupsi. Masih ada lagi daftar masalah bangsa ini, yakni teroris. Penangkapan-penangkapan para pelaku yang dilakukan oleh Densus 88 Polri tampaknya tak juga membuat nyali "para pengkapling surga" itu ciut. Ditekan di satu tempat, muncul di tempat lain. Bahkan dalam pemahaman ideologi yang "lebih ringan" dari teroris, sebetulnya juga menjadi bibit persoalan di negeri pewaris Kerajaan Majapahit ini, yakni paham yang merasa paling benar. Mereka sering menuduh pihak lain sebagai ahli bid'ah. Jika munculnya kelompok ini tidak dikelola dengan baik oleh semua pemangku kepentingan, maka gesekan yang sudah ada, seperti dalam kasus Ahmadiyah atau Syiah, bukan tidak mungkin akan muncul juga. Belum lagi persoalan-persoalan sosial yang kini juga menggejala di masyarakat kita, khususnya di kalangan generasi muda, yakni hubungan tanpa nilai. Kemajuan teknologi informasi yang memudahkan kita, di sisi lain juga menyuguhkan kemudaratan yang luar biasa. Para orang tua yang masih mendidik dengan pola tradisional, terkaget-kaget dengan anaknya yang lebih banyak bertumbuh dengan ditemani televisi dan telepon seluler. Ternyata anaknya sudah jauh berguru bebas pada informasi yang disajikan oleh teknologi informasi. Orang tua terkaget-kaget menemukan anaknya melakukan hal-hal yang tidak patut, bahkan kemudian direkam lewat telepon seluler. Lalu, masih adakah harapan bangsa ini untuk bangkit? Masa depan adalah milik mereka yang memiliki harapan. Masa depan tidak pernah bertoleransi pada mereka atau suatu kelompok yang telah melepaskan harapan. Dan ketika kita membaca koran, media online atau mendengarkan televisi, rasanya berat untuk memanggul harapan itu di pundak ataupun dalam genggaman tangan. Namun kita mesti mempertebal rasa syukur bahwa Tuhan yang masih menyayangi bangsa ini. Tengoklah ketika Tuhan memberi kabar bahwa kehormatan bangsa yang dikotori oleh para pejabat atau politisi yang korupsi, masih bisa diharapkan dari mereka-mereka yang mampu menjaga hati. Mereka bukan orang besar. Mereka bukan kaum pemilik ilmu yang tahu banyak tentang halal haramnya sesuatu. Kita bisa berkaca pada perilaku seorang pemulung muda asal Kabupaten Situbondo, Ahmad Zaini (17), yang beberapa waktu lalu menemukan emas batangan ketika mengais rezeki di tumpukan sampah di Bali. Kemiskinan tak membuat Ahmad buta dan rakus. Ia mengembalikan emas itu kepada pemiliknya. Si anak itu barangkali "utusan Tuhan" untuk menyindir para pembesar, para pemilik ilmu, pemilik kekuasaan, untuk belajar dari mereka yang tidak punya apa-apa itu. Tentu masih banyak Ahmad-Ahmad lain di negeri ini yang belum diketahui oleh masyarakat. Mereka adalah emas yang tidak luntur, meskipun berada di lumpur kehidupan bangsa ini. Misalnya pengusaha-pengusaha yang kini banyak menggaungkan nilai yang dibawa Rasulullah dalam berbisnis. Mereka bukan pebisnis macam Ahmad Fathanah yang kini mendekam dalam sel KPK. Pengusaha-pengusaha yang berkesadaran bahwa keuntungan bukan tujuan utama, antara lain digelorakan oleh komunitas "Tangan di Atas" (TDA). Mereka selalu menggelorakan nilai-nilai kejujuran, etika dan sedekah yang tidak sekadar minimalis syar'i. Mereka tentu merupakan harapan-harapan karena pengaruhnya lebih besar dari pada Ahmad pemulung. Atau, masih ada pemuka agama yang tidak terkontaminasi oleh hiruk pikuk duniawi. Mereka masih teguh menjaga kebersihan nuraninya, sehingga mereka mampu menjaga umatnya untuk selalu lurus. Sudah sewajarnya jika media sebagai bagian dari elemen pembangun harapan bangsa ini untuk lebih banyak menggali berita-berita berpengharapan itu. Mereka yang bekerja dengan hati, dengan prinsip apa yang bisa saya berikan kepada bangsa ini, bukan sebaliknya, tentu masih bertebaran. Mereka adalah individu-individu yang kebal terhadap virus-virus membahayakan di sekelilingnya. (Barangkali hal inilah yang membuat negara ini memberikan "tugas" PSO kepada LKBN ANTARA untuk menyajikan peristiwa yang bernuansa 3E dan 1N atau enlightening, educating, empowering, dan nasionalism, tapi tentu saja tanpa meninggalkan jatidiri pers yang kritis terhadap kondisi sosial yang ada). Pada peringatan Kebangkitan Nasional kali ini, bukan sekadar menghibur diri jika dikatakan bahwa harapan itu masih ada. Mereka yang bekerja dalam diam, mereka yang bekerja dengan kekuatan nilai, mereka yang hidup tidak memperdagangkan agama atau hukum, akan terus meresonansikan semangat itu kepada seluruh negeri. Harapan bangkit itu masih ada. Tentu saja tugas mereka tidak ringan.... (*)
Kebangkitan Bangsa: Masihkah Ada Harapan?
Sabtu, 18 Mei 2013 7:45 WIB