Ponorogo - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian dr Hasil Sembiring mengakui target swasembada kedelai pada tahun 2014 sulit tercapai, karena tingginya ketergantungan pasar Indonesia terhadap kedelai impor. "Target (swasembada) selalu ada. Tapi dibanding dua target swasembada berkelanjutan lainnya (beras dan jagung), pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri memang agak susah mengingat besarnya ketergantungan pasar Indonesia terhadap produk impor," ujarnya saat menghadiri kegiatan panen raya kedelai di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Kamis. Ia menjelaskan, total jumlah kebutuhan kedelai nasional menurut data yang tercatat di Kementerian Pertanian tahun 2011 mencapai 1,8 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, lanjut dia, hasil pertanian kedelai dalam negeri baru mencapai sekitar 900 ton per tahun atau hanya mampu memenuhi 50 persen dari total kebutuhan kedelai di pasar domestik. Selebihnya, kebutuhan produk kedelai lebih banyak dipasok dari luar negeri (impor), terutama yang berasal dari Amerika Serikat. "Bagaimanapun, kami dari Kementerian Pertanian akan terus dorong supaya Indonesia mampu swasembada kedelai. Kalau dulu pernah bisa (swasembada), tentu sekarangpun kita bisa mengupayakannya meski tentu tidak bisa seketika, tapi bertahap," ucap ahli kesuburan tanah jebolan IPB tersebut. Saat menyampaikan kata sambutan mewakili Menteri Pertanian dalam acara panen raya dan pameran teknologi pertanian kedelai hasil penelitian tim litbang Kementerian Pertanian di Desa Sidoharjo, Kecamatan Pulung, Sembiring lebih banyak mengkampanyekan keuntungan ganda yang bisa dicapai petani saat menanam kedelai. Menurut dia, selain mendapat hasil bumi berupa kedelai, petani juga diuntungkan dengan terciptanya unsur hara baru dalam tanah serta terputusnya mata rantai organisme penyerang tanaman (OPT) yang selama ini menjadi musuh pertanian. "Hasil penelitian kami menemukan fakta menarik bahwa dari hasil panen kedelai antara 1,5 - 2 ton dalam satu lahan pertanian bisa menghasilkan unsur hara baru yang setara dengan 100 kilogram pupuk urea. Jadi kalau kedelai ditanam secara tumpang sari di antara tanaman kayu putih seperti di Ponorogo ini, pupuknya bermanfaat bagi tanaman tegakan di sekitarnya ataupun untuk kebutuhan pertanian/pertanaman berikutnya," terangnya. Dikatakan Sembiring, ada beberapa faktor yang menyebabkan produk kedelai impor bisa unggul dan harga nisbi lebih murah dibanding produk lokal, salah satunya adalah penggunaan teknologi trasngenik, sehingga hasil panen terlihat lebih besar dan berisi. Selain itu, sistem pertanian modern di luar negeri jauh lebih memadai karena satu petani bisa mengelola lahan untuk pertanian kedelai minimal sekitar 500 hektare. Penggunaan peralatan modern seperti traktor dan mesin pemanen menjadikan ongkos produksi juga lebih efisien. Kondisi tersebut berbeda dengan pertanian kedelai di Indonesia yang rata-rata satui petani hanya memiliki/mengelola lahan sekitar 0,02 hektare. "Dengan pola dan sistem pengelolaan yang masih tradisional, membandingkan produk pertanian (kedelai) di Amerika-Eropa dengan di Indonesia itu sama saja dengan membandingkan Elias Pikal dengan Mike Tyson. Gap (perbedaan)-nya terlalu jauh," ujarnya. Namun demikian, ia tetap berharap agar petani dan masyarakat Indonesia bisa melihat sisi positif dari pertanian kedelai dalam negeri. Selain bisa memanfaatkan keunggulan varietas lokal yang lebih tahan wereng dibanding varietas kedelai transgenik seperti di Amerika, potensi lahan yang tersedia masih bisa dimaksimalkan untuk mencapai swasembada kedelai sebagaimana target nasional. "Di area hutan perhutani yang ada di Jawa ini masih ada sekitar 290-an hektare lahan yang bisa ditanami kedelai dengan menggunakan pola PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) sebagaimana telah dilakukan di Ponorogo ini. Jadi tidak perlu pesimis, apalagi penanaman kedelai juga bisa dilakukan sebagai selingan pertanian murni di sawah maupun ladang/kebun," tandasnya.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012