Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penerimaan pajak tahun anggaran 2025 menghadapi tantangan yang cukup berat.

Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, dia menyebut Pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp256,9 triliun dari realisasi tahun 2024 untuk mencapai target penerimaan 2025 atau tumbuh 13,29 persen.

Sementara secara historis, tambahan penerimaan pajak rata-rata setiap tahun pada periode pra-pandemi (2014-2019) Rp68,62 triliun.

“Saat pandemi memang ada tambahan penerimaan pajak yang signifikan, tahun 2021 sebesar Rp205 triliun, tahun 2023 sebesar Rp152,54 triliun, dan untuk tahun 2022 sebesar Rp439,23 triliun. Namun banyak hal yang tak berulang,” ujar Fajry.

Hal yang tak berulang itu termasuk lonjakan harga komoditas atau commodity boom, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), hingga kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

“Tak heran di tahun 2024 kemarin, meski sudah ada extra effort dari otoritas pajak, pemerintah hanya mampu menghasilkan tambahan penerimaan sekitar Rp60 triliun,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia berpendapat untuk mencapai target penerimaan tahun 2025 bukanlah hal yang mudah. Terlebih, segi makroekonomi masih dihantui oleh isu penurunan daya beli.

Sementara dari segi politik, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah masih tinggi, sehingga sulit bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan.

Dia mengamini ada peluang dari mulai diterapkannya sistem Coretax yang mampu meningkatkan penerimaan pajak. Sebab, sistem ini menjadikan pengawasan terhadap wajib pajak menjadi lebih efisien.

Namun, menurutnya, untuk benar-benar menghasilkan penerimaan melalui Coretax, dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Sedangkan kendala pemerintah adalah kebutuhan penerimaan pajak dalam waktu singkat.

“Ini menjadi tantangan bagi pemerintah pada tahun 2025 ini,” tutur Fajry.

Diketahui, Kementerian Keuangan mencatat realisasi sementara penerimaan pajak sepanjang tahun 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun, tumbuh 3,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari realisasi tahun lalu sebesar Rp1.867,9 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui adanya tekanan terhadap penerimaan pajak tahun 2024 akibat koreksi harga komoditas dan tekanan bertubi-tubi lainnya.

Namun, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut terjadi turn around (berbalik arah) pada kinerja penerimaan pajak ketika memasuki kuartal III-2024.

Perubahan itu utamanya didorong oleh kinerja jenis pajak yang bersifat transaksional, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN), pajak penghasilan (PPh) 22 impor, dan PPN impor.

Pewarta: Imamatul Silfia

Editor : Astrid Faidlatul Habibah


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025